TRIBUNBATAM.id, BATAM –
Pembahasan dan penetapan Upah Minimum Kota (UMK) Batam tahun 2026 hingga kini masih belum menemui kejelasan. Pemerintah daerah bersama Dewan Pengupahan Kota masih menunggu regulasi teknis dari pemerintah pusat sebagai dasar penetapan.
Di tengah ketidakpastian tersebut, serikat buruh di Batam secara tegas menyuarakan tuntutan kenaikan UMK 2026 sebesar 8,5 hingga 10,5 persen, atau berada di kisaran Rp5,4 juta per bulan.
Ketua Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Kota Batam, Yafet Ramon, mengatakan tuntutan tersebut tetap konsisten disuarakan dalam setiap forum resmi pembahasan pengupahan.
“Untuk upah minimum 2026, sikap kami jelas, yakni kenaikan 8,5 persen sampai 10,5 persen. Ini masih menjadi tuntutan utama kami,” ujar Yafet, Senin (15/12/2025).
Selain UMK, serikat buruh juga mendorong penerapan Upah Minimum Sektoral (UMS) di Kota Batam.
Menurut Yafet, UMS merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pengupahan, terlebih setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168.
“Kami sudah membahas upah minimum sektoral bersama Dinas Tenaga Kerja Kota Batam dalam forum Dewan Pengupahan. Namun memang masih ada beberapa unsur yang belum sepakat,” jelasnya.
Alasan penolakan, lanjut Yafet, kerap dikaitkan dengan belum terbitnya regulasi teknis dari pemerintah pusat. Padahal, menurutnya, landasan hukum UMS sudah jelas melalui putusan MK tersebut.
“Yang seharusnya dibahas sekarang bukan menunggu regulasi, tetapi mempersiapkan konsep. Jadi ketika petunjuk pelaksanaan terbit, tidak lagi memakan waktu panjang,” tegas Yafet.
Yafet menilai penundaan pembahasan UMS menjadi penyebab utama tidak diterapkannya upah sektoral di Batam pada tahun 2025.
Hal ini dinilainya ironis, mengingat Batam dikenal sebagai kota industri.
“Batam ini kota industri, tapi tidak punya upah minimum sektoral. Sementara daerah lain seperti Tanjung Balai Karimun justru sudah menerapkannya, bahkan di tingkat provinsi juga telah ditetapkan UMS,” ujarnya.
Yafet mengungkapkan, dalam pembahasan terakhir, Dinas Tenaga Kerja Kota Batam sebenarnya telah menunjukkan sikap positif.
Namun masih terdapat unsur yang dinilai tidak menginginkan terwujudnya upah minimum sektoral, terutama dari kalangan asosiasi pengusaha.
“Alasannya klasik, katanya kenaikan UMK saja sudah berat, apalagi ditambah sektoral,” kata Yafet.
Sebagai solusi, FSPMI Batam telah menyiapkan konsep penghitungan UMS berdasarkan tingkat risiko kerja industri. Industri dibagi menjadi tiga kategori, yakni risiko tinggi, menengah, dan rendah.
“Industri berisiko tinggi kami usulkan tambahan 1 persen dari UMK, menengah 0,9 persen, dan rendah 0,8 persen,” jelasnya.
Sebagai contoh, jika UMK Batam 2026 ditetapkan sebesar Rp5.400.000, maka sektor industri berisiko tinggi akan menerima tambahan Rp54.000, sehingga total upah menjadi Rp5.454.000.
Sementara sektor menengah dan rendah disesuaikan dengan persentase masing-masing.
Menurut Yafet, konsep ini dinilai realistis dan pernah diterapkan di Batam pada periode sebelumnya, meski sempat terhenti akibat gugatan dan pandemi Covid-19.
“Pengalaman tahun-tahun lalu sudah cukup. Sekarang dengan adanya putusan MK, seharusnya upah minimum sektoral ini bisa direalisasikan,” kata Yafet.
Serikat pekerja pun menegaskan akan menyiapkan langkah lanjutan, termasuk aksi, apabila tuntutan kenaikan UMK dan penerapan upah minimum sektoral kembali diabaikan. (Ian)