Laporan Reporter Tribun Jogja Christi Mahatma Wardhani
TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Guru Besar Teknik Geologi dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dwikorita Karnawati mendorong kebijakan hunian sementara (huntara) dan hunian tetap (huntap) bagi korban bencana di Sumatra. Menurutnya, hunian tersebut juga harus berada di zona aman.
Dwikorita mengatakan wilayah bencana berada di kawasan kipas aluvial, yaitu bentang alam hasil endapan banjir bandang di masa lalu.
Secara geologi, kawasan ini merupakan zona aktif yang menyimpan memori bencana dan tetap berpotensi terlanda kembali dalam rentang waktu puluhan tahun.
Menurut dia, wilayah yang pernah terlanda banjir bandang seharusnya ditetapkan sebagai zona merah, yang kemudian difungsikan untuk konservasi dan rehabilitasi lingkungan.
"Jika kawasan ini kembali dijadikan hunian tetap, maka risiko bencana tidak dihilangkan, melainkan diwariskan kepada generasi berikutnya," katanya, Selasa (16/12/2025).
Ia menilai kebijkan hunian pascabencana harus terintegrasi dalam rehabilitasi dan rekonstruksi jangka panjang, termasuk pemulihan lingkungan secara menyeluruh.
Pembangunan huntap harus diarahkan secara tegas ke zona aman yang ditetapkan berdasarkan pemetaan risiko geologi lingkungan.
Zona aman tersebut harus berada di luar bantaran sungai aktif, memiliki jarak aman dari lereng curam, serta tetap mempertimbangkan akses air baku, dan layanan dasar lainnya.
Tak hanya itu, harus disertai pemulihan kerusakan lingkungan, terutama di wilayah hulu DAS, sebagai prasyarat utama agar potensi bencana serupa tidak terulang.
Namun, kawasan rawan masih dapat dimanfaatkan sebagai hunian sementara (Huntara) dengan batas waktu maksimal tiga tahun, dan disertai persyaratan ketat.
Sebagai huntara, kawasan tersebut harus dilengkapi sistem peringatan dini yang andal, penyusunan dan pengujian rencana kedaruratan, penguatan kapasitas pemerintah daerah dan masyarakat, pembersihan material rombakan di wilayah hulu, penetapan zona penyangga berupa jalur hijau, serta pembangunan tanggul sungai yang memadai dan berkelanjutan.
"Kebijakan huntara dan huntap harus berpijak pada ilmu kebencanaan, mitigasi risiko, pemulihan lingkungan, dan tanggung jawab antargenerasi, agar pemulihan tidak hanya cepat, tetapi juga aman dan berkelanjutan," ujarnya.
Eks Kepala BMKG itu menekankan penataan hunian pascabencana merupakan keputusan strategis jangka panjang yang menentukan keselamatan masyarakat.
“Jika pembangunan pascabencana mengabaikan karakter geologi dan memori bencana, maka pemulihan justru berpotensi menciptakan bencana baru di masa depan,” pungkasnya. (maw)