Oleh: Konrad Sandur
Angota KPU Kabupaten Manggarai Timur
POS-KUPANG.COM - Keberagamaan suku, agama, ras, warna kulit, adat istiadat dan budaya merupakan sebuah fakta yang tidak dapat dipungkiri dalam kehidupan bersama.
Ia menjadi berkat yang patut disyukuri sebagai sebuah bangsa karena walaupun berbeda-beda tetapi, kita masih tetap satu, yakni sebagai warga negara Indonesia.
Namun di sisi lain, keberagamaan tersebut penting untuk dijaga dengan kejernihan berpikir agar ia tidak menjadi buas dan menghancurkan ciri harmoni sebagai warga negara terutama dalam konteks politik.
Idealnya politik adalah panggung untuk menata hidup bersama secara adil, merata dan sejahtera.
Baca juga: Opini: Antara Diskon, Promosi dan Ilusi Hemat
Politik dalam hal ini merupakan instrumen yang paling masuk akal dalam menjaga agar warisan perbedaan tersebut tetap utuh dan berkelanjutan.
Setidaknya desain politik dalam keberagamaan membantu agar setiap orang hidup seturut konteks dan nilai-nilai luhurnya serta berada secara harmoni dengan faktum perbedaan yang lainnya.
Pertanyaannya bagaimana hal itu mungkin bertahan dan terus berlanjut dalam tatanan berdemokrasi?
Kita dapat memulainya dengan menelusuri pertanyaan-pertanyaan sederhana “Siapakah nama Anda?,” “Dari mana Anda berasal?” atau “Tolong identitas penduduk (KTP)!” dapat dijumpai dalam hidup harian.
Pertanyaan ini sederhana tetapi ia menyentuh bagian penting hidup sosial, yaitu identitas.
Nama, tanggal lahir, alamat, agama, status, suku, adat, bangsa, bahasa, agama dan budaya menjadi tanda yang melekat dalam diri sesorang.
Namun, jalannya peradapan dengan fakta kemajemukan identitas ternyata tidak berjalan mulus. Dunia pernah mengalami pergolakan atas nama identitas.
Orang Katolik Fleming dan Walloon atau Muslim Turki, Kurdi dan Arab memiliki agama yang sama tetapi terlibat dalam pertikaian.
Umat Ortodoks Serbia, umat Katolik Kroasia dan Umat Muslim di Bosnia memiliki bahasa yang sama tetapi terpecah-pecah.
Demikian Amin Maalouf dalam bukunya, In the Name of Identity (2004), mengisahkan sisi lain tentang identitas.
Lalu bagaimana kita dapat menjadikannya sebagai modal sosial untuk membangun hidup bersama yang lebih baik?
“Identitas merupakan pertalian kisah hidup,” jelas Amin Maalouf. Ia tidak dibentuk oleh sebuah pengalaman tunggal.
Identitas merupakan pertautan peristiwa majemuk. Ia berkelindan sepanjang hidup manusia.
Sebagai jalinan kisah, ia tidak ditenun dengan sebuah benang tunggal, tetapi ia dirajut dari pelbagai bentuk jenis benang, hingga membentuk pribadi sesorang.
Amin Maalouf menjelaskan bahwa ketika sebuah identitas tunggal menjadi dominan, maka ia akan menjadi binatang buas yang memangsa sesamanya.
Jika sebuah bahasa, budaya, agama, suku, dan ras menjadi satu-satunya rujukan atau rujukan tunggal dalam sebuah perjalanan hidup, maka ia menjadi macan yang mencabik kebersamaan.
Sebaliknya, jika jenis-jenis identitas tersebut dilihat sebagai jalinan pembentuk jati diri, maka ia akan menjadi lebih terbuka (open minded)
Perkembangan teknologi di era ketiga, seperti yang digagaskan oleh Arnold Toynbee Tahun 1973, menunjukkan bagaimana identitas mengalami persilangan yang sangat signifikan.
Identitas bertukar dengan cepat dan melampaui batasan wilayah, negara, dan regional.
Dilampuinya batasan geografi melahirkan sebuah era baru tentang pertemuan suku-suku global. Globalisasi telah mengubah segalanya.
“Manusia lebih merupakan anak zamannya, ketimbang anak bapaknya,” demikian Amin Maalouf mengutip ucapan sejarawan March Bloch dalam melihat identitas dalam pertautan global.
Sebagai anak bapak, kita hidup atas dasar warisan vertikal oleh leluhur, komunitas dan tradisi rakyat.
Sebagai anak zaman, kita menghidupi cara berpikir, gaya bersikap dan kepercayaan anak-anak sezaman.
Esensi anak zaman adalah bagaimana kita mengupayakan sebuah tujuan hidup yang lebih baik sedangkan esensi anak bapak adalah bagaimana kita hidup dari bayangan-bayangan masa lalu dan klaim-klaim sempit terhadap identitas (narrow minded).
Mengkaji fenomena identitas dan perkembangan dunia, Amin Maalouf sampai pada sebuah kesimpulan mendasar tentang konsep hidup bersama, universalitas hak-hak asasi manusia.
Hidup manusia di mana pun memiliki kesamaan tentang hak-hak bawaan, yakni martabat manusia.
Hak asasi manusia tidak dapat disangkal karena jenis kelamin, agama, warna, suku dan budaya. Hukum dasar hidup bersama yang lebih baik adalah hak asasi manusia.
“Bila Anda menghormati sesorang dan menghormati sejarahnya, ini karena Anda percaya ia sesama umat manusia seperti Anda, bukan versi yang lebih inferior,” ungkap Amin Maalouf.
Ciri khas unversalitas hak asasi manusia menurutnya antara lain hak untuk hidup sebagai warga negara penuh di tanah bapaknya, bebas dari aniaya dan diskriminasi; hak untuk hidup bermartabat di manapun; hak untuk memilih secara bebas, hidup, cinta dan percayaan, sembari menghormati kebebasan orang lain; hak akan akses gratis pada ilmu pengetahuan, kesehatan, hidup layak dan terhormat.
Tidak boleh satu pun dari hak-hak ini yang dirampas dari sesama manusia dengan dalih melestarikan kepercayaan, praktik leluhur atau tradisi.
Di sadari atau tidak setiap pilihan dibayangi oleh peristiwa, ingatan dan bahkan perasaan. Setiap pilihan tidak ada yang bebas dari nilai.
Justru nilai-nilai yang mempengaruhi setiap keputusan sesorang. Makna berasal dari setiap interaksi, melalui norma-norma dalam sejarah dan hubungan sosial kehidupan seharian.
Demikian konstruktivisme mendasarkan asumsinya pada pemaknaan individu-individu terhadap dunia di mana mereka hidup dan bekerja (John W. Creswell, 2009).
Crotty (1998) berpendapat bahwa manusia menciptakan makna dalam berelasi.
Tanpa makna yang dikonstruksi oleh manusia dalam hidup bersama, maka ia tidak dapat memahami dunia sekitarnya.
Lampu merah adalah tanda yang dikonstruksi oleh manusia. Artinya setiap melihat tanda lampu merah, maka orang sepakat untuk berhenti. Itulah makna bertansportasi di tempat umum.
Makna pun memiliki konteks ruang dan waktu. Ia tidak dapat dilepaspisahkan dari konteks sejarah sebagai perjalanan waktu dan relasi sosial sebagai ruang atau tempat untuk berinteraksi.
Dalamnya bersemai nilai-nilai budaya yang menjadi pegangan bersama. Budaya menjadi rujukan dalam berpikir dan bertindak oleh komunitas-komunitas tertentu.
Sudut pandang konstruktivisme berimplikasi bahwa seorang individu terikat dengan tatanan historis, sosial dan lingkungannya.
Dalam hal ini setiap keputusan individu ditentukan oleh struktur lingkungan dan sosialnya.
Oleh karena itu, kita dapat membaca perilaku sosial sebuah komunitas dari perilaku individu-individunya. Individu-individu ditentukan oleh lingkungan sosialnya.
Sementara itu, individu mempunyai keunikanny tersendiri. Karenannya tidak tepat kalau setiap keputusan individu dipengaruhi oleh lingkungannya.
Individu mempunyai kebebasan dan keunikannya tersendiri dalam mengambil sikap terhadap setiap keputusannya.
Ciri ini disebut sebagai paradigma free choice (bebas memilih). Hidup dipengaruhi oleh lingkungannya, tetapi setiap individu mempunyai pilihan bebas dalam menentukan keputusannya.
Strukutur lingkungan berupa budaya, adat, bahasa, agama, etnis, suku dan bangsa serta nilai-nilai tradisional atau warisan bapak seperti dikatakan oleh Amin Maalouf berbenturan dengan sudut pandang kebebasan individu dalam memilih.
Benar bahwa sesorang hidup dari warisan bayang-bayang identitas sebagai sebuah warisan vertikal.
Namun ia pun memiliki kebebasan individual dalam memutuskan apa yang terbaik dalam hidupnya.
Sudut pandang modern memberikan kebebasan bagi individu untuk berpikir, berpendapat dan berekspresi.
Hal ini menggambarkan bahwa seseorang mempunyai kehendak bebas dalam memilih, yakni akal budi. Akal budi merupakan ruang otonom.
Ia tidak ditentukan oleh pengaruh eksternal. Rene Descartes mengatakan “cogito ergo sum” (saya berpikir, saya ada).
Saya mengetahui dunia bukan dari tradisi atau wahyu tetapi dari pikiranku sendiri.
Pikiran manusia merupakan keyakinan mendasar dan bukan berdasarkan tafsiran dogmatis (Budi Hardiman, 2003).
Tindakan rasional berarti sebuah putusan yang sesuai dengan akal budi dan pertimbangan logis.
Ciri rasional memiliki sasaran pragmatis tertentu. Ia mempunyai nilai guna atau manfaat.
Hasil-hasilnya pun dapat diprediksi dari tindakannya. Dalam konteks politik, rasionalitas berpolitik sama artinya dengan rasionalitas tindakan dalam memilih.
Di balik sebuah pilihan terdapat alasan-alasan yang masuk akal terhadap pilihannya.
Sejauh ia konsisten dengan tujuan dan metode, maka ia rasional sekalipun itu tidak sesuai dengan standar normatif dalam masyarakat.
Standar normatif masyarakat diasumsikan sebagai akumulasi dari standar-standar pribadi.
Dengan demikian, perubahan pada standar-standar individu akan meruntuhkan standar masyarakat (Syafhendri, 2016).
Memilih adalah kehendak pribadi yang sesuai dengan orientasinya. Cukup beralasan jika seorang memilih seuai dengan motivasi dan intuisi yang dianutnya sekaligus berbeda dari pilihan-pilihan yang lainnya.
Hal ini sesuai dengan prinsip rahasia dalam konteks pemilihan di bilik suara. Setiap orang bebas memilih sesuai dengan nuraninya.
Seorang yang membantu pemilih oleh karena tidak bisa memberikan suara secara mandiri oleh karena kondisi fisik tertentu seperti disabilitas fisik, disabilitas sensorik dan lanjut usia atau kondisi lain yang mengharuskan pendampingan tidak boleh membocorkan pilihan dari pemilih (UU No. 7 Tahun 2017, Pasal 2 jo Pasal 356 jo Pasal 364 jo Pasal 500).
Tidak seorang pun dipaksakan untuk memilih sesorang oleh karena tekanan politik, ekonomi, adat, agama, bahasa dan suku tertentu.
Jadi, kerahasian menjadi benteng pertahanan terhadap kebebasan individu dari tekanan standar-standar umum.
Memaksakann kehendak identitas pribadi kepada orang lain apalagi disertai dengan label identitas merupakan pembangkangan terhadap prinsip non diskriminasi.
Pertalian identitas merupakan hal yang lumrah dalam tahapan hidup setiap orang. Ia merupakan faktum dalam sejarah dan perkembangan hidup manusia di manapun.
Setiap orang hidup sesuai dengan konteksnya. Sehingga beralasan bagi setiap orang yang hidup dalam konteks tersebut untuk mendeklarasikan tentang keunikannya.
Namun di pihak lain, faktum identitas sebagai kekayaan antropologis manusia tidak boleh dipaksakan dan mengekang otonomi individu.
Identitas budaya, adat, bahasa, agama, suku, ras dan suku sesorang adalah pertalian kisah hidup yang unik.
Berhadapan dengan faktum yang sama dalam pribadi orang lain, identitas tidak boleh dipaksakan apalagi menjadi sebuah doktrin dan dicangkokan guna bertumbuh dengan cara yang sama.
Satu-satunya paksaan untuk bersatu adalah kenyataan sebagai manusia; tersusun dari darah dan daging yang sama; mendapatkan keadilan yang sama; hidup damai dan menghargai hak-hak asasi manusia.
Identitas adalah kisah yang ditenun sepanjang hidup, namun kebebasan individu dalam memilih adalah ruang di mana kisah itu terus ditulis tanpa harus melukai yang lainnya. (*)