TRIBUN-BALI.COM, NEGARA - Perwakilan masyarakat Gilimanuk serta Anggota DPRD Jembrana mengecek langsung dugaan kondisi hutan gundul oleh investor di kawasan Taman Nasional Bali Barat (TNBB) di wilayah Kelurahan Gilimanuk, Kecamatan Melaya, Jembrana, Rabu (17/12) siang.
Ternyata, pembabatan hutan yang terjadi memang benar adanya.
Terlihat, sebagian ruas sudah tak ditumbuhi pohon besar, terlihat sisa penataan tanah serta jalur dari alat berat yang sudah mulai ditumbuhi rumput.
Baca juga: GUNDUL Hutan Kawasan TNBB Jembrana Ulah Investor? Warga Minta Pansus TRAP Tengok Hutan Bali Barat!
Menurut pantauan Tribun Bali di lokasi, jika masuk dari jalur nasional Jalan Raya Denpasar-Gilimanuk, butuh waktu sekitar 5-10 menit atau dengan jarak sekitar 100 meter untuk tiba di kawasan hutan yang sudah jarang tumbuh kayu besar.
Bersama anggota DPRD dan perwakilan masyarakat Gilimanuk, Tribun Bali mencoba masuk dari kawasan lahan yang dikelola oleh PT Wira Dharma Bhakti.
Sebelum masuk, di pinggir jalan raya terpampang plank besar yang bertuliskan kawasan wisata minat khusus ini dikelola dan dikembangkan oleh PT Wira Dharma Bhakti berdasarkan SK Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) Nomor: 28012200358210019, Tanggal: 07 AGUSTUS 2023.
Kemudian juga bertuliskan dilarang memasuki, menduduki dan/atau memanfaatkan, menebang, merambah, melakukan perburuan satwa liar, memasang jerat, membakar hutan dan membuka lakan di dalam areal PT Wira Dharma Bhakti.
Sementara itu, menurut informasi yang diperoleh kawasan Hutan Bali Barat yang belakangan ini jadi sorotan masyarakat diduga telah dikuasasi sedikitnya 5-6 investor dengan luasan lahan yang dikelola hingga ratusan hektare.
Bahkan, satu investor disebut mengelola mulai 30 hektare hingga 250 hektare.
Dia menuturkan, pembabatan hutan diduga telah berlangsung sejak akhir tahun lalu hingga sekitar April 2025.
Aktivitas pembukaan lahan tersebut disebut dimulai dari akses jalan raya hingga ke bagian tengah hutan.
"Intinya kami tidak ingin ada investasi apapun di hutan Bali barat yang jadi paru-paru Bali secara umum.
Hutan ini sudah kecil, dan sekarang posisinya hanya tinggal 20 persen saja. Ini sangat mengkhawatirkan kita, karena kita tak tahu bisa saja memicu warga merambah hutan lebih luas lagi nantinya," ungkapnya dengan nada tegas.
"Orang akan bilang, investor aja boleh masuk kok, tak tahu darimana datangnya.
Baca juga: Pelaku Ilegal Logging Diamankan Polisi Di Bali, Cegah Penyelewengan Hutan Yang Sebabkan Banjir
Kenapa saya saja yang disuruh menjaga hutan agar tetap lestari sementara mereka kok boleh bahkan puluhan bahkan ratusan hektare," imbuhnya.
Gede Bangun juga meminta jajaran pemerintah dan legislatif seperti DPRD Provinsi Bali Pansus Trap dengan DPRD Kabupaten Jembrana untuk memoratorium semua izin yang ada. Dari memperingatkan, jangan sampai malapetaka yang terjadi di daerah lain baru kemudian pemerintah mencabut semua izinnya (pengelolaan hutan).
"Kita ingin hutan Bali Barat yang lestari untuk Bali bukan hanya untuk Bali Barat saja," tegasnya.
Dia juga mengaku heran dan merasa aneh bahwa petugas penjaga hutan yang sebelumnya berkantor di kawasan Cekik Hutan Bali Barat justru dipindah ke wilayah Kota Negara, Jembrana.
Padahal hutan membutuhkan sekali penjaga hutan yang sebenarnya.
Terpisah, Ketua Komisi II DPRD Jembrana, Ketut Suastika yang akrab disapa Cuhok, menyatakan keprihatinannya terhadap kondisi hutan Bali Barat saat ini.
Ia mengaku dari hasil peninjauan, kerusakan hutan terlihat cukup luas, mulai dari bagian selatan hingga ke tengah kawasan.
"Kami melihat banyak sekali luasan hutan yang sudah hilang. Ada beberapa investor yang kami tidak tahu rencana pembangunannya, tetapi mereka sudah melakukan aktivitas di kawasan hutan Bali Barat," katanya.
Menurutnya, masyarakat Jembrana sangat keberatan karena di tengah dampak cuaca ekstrem belakangan ini seperti peningkatan suhu, potensi kekeringan, banjir, hingga tanah longsor akan langsung dirasakan atau berdampak kepada warga, khususnya di Gilimanuk dan Jembrana, hutan justru hendak dibabat habis.
"Meski kewenangan kawasan berada di tingkat provinsi, kami meminta agar ada tim terpadu yang turun langsung dan berkomunikasi dengan pihak-pihak yang telah membabat hutan Bali barat ini," jelasnya.
Cuhok juga menegaskan Pemerintah Kabupaten juga memiliki kewenangan, terutama dalam hal perlindungan masyarakat. Ia menolak alasan berlindung di balik sistem perizinan OSS tanpa koordinasi dengan pemerintah daerah.
"Kalau terjadi kekeringan, banjir, atau longsor, yang terdampak adalah masyarakat kami. Jadi kami punya kewenangan untuk menghentikan kegiatan di wilayah Kabupaten Jembrana. Jangan semua berlindung di balik kewenangan pusat," tegasnya. (mpa)
Baca juga: Update Normalisasi Pasca Banjir, Sisa Hutan Gundul Sejumlah 7 Persen di Bali
Khawatirkan Dampak Lingkungan
Anggota Komisi I DPRD Jembrana, I Kade Joni Asmara Putra juga menegaskan hal senada.
Ia menyebut meski secara kewenangan Hutan Bali Barat berada di bawah Pemerintah Provinsi Bali, DPRD kabupaten tetap berkewajiban mengambil langkah sebagai bentuk tanggung jawab kepada masyarakat.
“Hari ini kami turun bersama tokoh masyarakat untuk melihat langsung sejauh mana kerusakan yang terjadi. Ini langkah awal meskipun langkah kecil agar pembabatan hutan tidak terus berlanjut,” ujarnya.
Dia mengungkapkan, lahan hutan yang sudah terbuka alias dibabat dan dialihfungsikan menjadi bangunan berpotensi menyebabkan aliran air hujan menjadi deras dan tidak terkendali.
"Jika pembabatan terus berlanjut dan dialihfungsikan menjadi bangunan, dampak lingkungan yang lebih besar dikhawatirkan akan terjadi, tidak hanya bagi Jembrana tetapi juga bagi Bali secara keseluruhan," tandasnya. (mpa)