Laporan Wartawan Serambi Indonesia Rianza Alfandi | Banda Aceh
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH – Tiga pekan pascabencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Aceh, ratusan ribu warga terdampak masih bertahan dalam kondisi darurat berkepanjangan. Hingga hari ke-22, persoalan mendasar seperti hunian, listrik, dan distribusi gas elpiji belum tertangani secara menyeluruh.
Di sejumlah wilayah terdampak, rumah warga hanyut dan rusak berat. Namun alih-alih mendapat kepastian tempat tinggal, pengungsian darurat di aula serbaguna pemerintah justru mulai digusur dengan alasan keterbatasan fasilitas dan ketidaklayakan.
Sementara itu, hunian sementara hingga kini belum belum satu pun tersedia. Kondisi ini membuat banyak keluarga kehilangan tempat berlindung.
Lebih parahnya, krisis juga menjalar ke layanan publik dasar. Di beberapa wilayah seperti Aceh Besar dan Kota Banda Aceh, listrik masih kerap padam. Kelangkaan gas elpiji memaksa warga mengantre berhari-hari, mengganggu aktivitas rumah tangga, UMKM, hingga layanan sosial dasar. Kondisi ini memperlihatkan lemahnya respons negara dalam fase pascabencana.
Direktur Eksekutif Katahati Institute, Raihal Fajri, menilai situasi tersebut mencerminkan kegagalan kebijakan pimpinan negara dan lemahnya komando penanganan bencana. Padahal, kerangka hukum penanggulangan bencana telah tersedia.
“Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 sudah mengatur penanggulangan bencana sebagai manajemen risiko, mulai dari kesiapsiagaan, tanggap darurat, hingga pemulihan. Data BPBA sejak 2020 bahkan telah menyebut banjir sebagai ancaman utama di Aceh. Artinya, ini bukan semata bencana alam, tetapi kegagalan kesiapsiagaan,” ujar Raihal, Rabu (17/12/2025).
Ia juga menanggapi pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyebut tidak memiliki “Tongkat Musa”. Menurut Raihal, pernyataan tersebut semestinya dimaknai sebagai dorongan untuk memperkuat kepemimpinan kebijakan, bukan pembenaran atas lambannya respons negara.
“Tongkat Musa dalam konteks kebencanaan adalah tongkat komando kebijakan. Itu berarti keputusan tegas untuk memulihkan listrik, menjamin distribusi LPG, menyediakan hunian layak, dan menyatukan semua institusi dalam satu garis komando darurat,” tegasnya.
Selain itu, kata Raihal, sejuah ini penanganan bencana dinilai belum berpihak pada kelompok rentan. Hingga hari ke-22, belum tersedia data terbuka mengenai kondisi ibu hamil, lansia, anak-anak, dan penyandang disabilitas di lokasi terdampak, padahal regulasi BNPB mewajibkan perlindungan khusus bagi kelompok tersebut.
Baca juga: BPJS Kesehatan Serahkan Bantuan OSR ke Wilayah Bencana, Diterima Wali Kota Banda Aceh
Menurut Raihal, Aceh memiliki kekhususan melalui pengakuan struktur mukim dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Untuk itu, ia mendorong mitigasi berbasis mukim dan penyusunan rencana kontigensi di wilayah rawan sebagai langkah pencegahan jangka panjang.
“Banjir dan longsor ini bukan peristiwa tunggal. Ia mencerminkan kerusakan ekologis dan buruknya tata kelola sumber daya alam. Jika akar persoalan tidak disentuh, bencana serupa hanya tinggal menunggu waktu,” jelasnya.
Katahati Institute, tambah Raihal, menegaskan bahwa setelah tiga pekan berlalu, warga Aceh tidak membutuhkan narasi mukjizat, melainkan kebijakan yang cepat, tegas, dan berpihak pada keselamatan rakyat.(*)