Opini: Adven dan Pertobatan Ekologis
December 18, 2025 07:39 AM

Oleh: Albertus Muda
Guru SMAS Keberbakatan Olahraga San Bernardino Lembata, Nusa Tenggara Timur

POS-KUPANG.COM - Masa Adven adalah masa penantian tetapi sekaligus masa pertobatan. 

Adven tidak hanya mengajak kita menyiapkan hati untuk menyambut kedatangan Tuhan, melainkan juga membuka mata terhadap jeritan bumi, rumah bersama yang terus terluka oleh keserakahan dan ketidakadilan manusia. 

Karena itu, Adven dewasa ini menjadi panggilan mendesak untuk bertobat dari perilaku yang merusak bumi, menaruh harapan pada pemulihan seluruh ciptaan, bertindak tegas menjaga kelestarian alam, serta memandang bumi sebagai ruang kehadiran Allah.

Baca juga: Berpestasi Beri Kontribusi PAD, PT Jamkrida NTT Terima Pos Kupang Award 2025

Sebagai umat beragama sekaligus warga negara, kita sesungguhnya berutang budi kepada alam, rahim yang menumbuhkan kehidupan dan kesejahteraan. 

Kita sering lupa bahwa keberlangsungan hidup manusia bertumpu pada udara yang dihirup setiap hari, pada tumbuh-tumbuhan, bunga-bunga, satwa, dan seluruh unsur alam yang dengan setia menyediakan diri sebagai sumber yang memberi daya hidup.

Pertanyaannya, sudahkah kita menggunakan dan memanfaatkan alam dengan hemat, bijaksana, efisien, dan penuh kasih? 

Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si’ (2015) mengingatkan bahwa alam semesta adalah saudari sekaligus ibu bagi umat manusia. 

Namun kini, ibu yang lembut itu menjerit, terluka oleh kerakusan manusia yang menjarah dan merusaknya tanpa ampun.

Kenyataan itu terpapar dengan gamblang di hadapan kita dimana kayu-kayu gelondongan yang dihanyutkan banjir bandang akibat pembalakan liar, hilangnya daerah resapan air, sampah yang dibuang sembarangan, pembabatan hutan mangrove, kebakaran hutan yang memicu kabut asap, hingga rusaknya terumbu karang akibat praktik penangkapan ikan dengan bom. 

Semua ini merupakan potret buram relasi manusia dengan alam.
Senada dengan Paus, Abdurrahman Wahid (2020) juga menegaskan bahwa bumi tengah berada dalam krisis multidimensi yang serius. 

Polusi, kerusakan ekologis, dan degradasi lingkungan telah mencapai titik yang mengkhawatirkan. 

Perusakan dan pencemaran terus berlangsung, sementara kepedulian masyarakat masih jauh dari memadai. 

Predikat manusia sebagai citra dan wakil Allah kerap disalahpahami, sehingga manusia merasa berhak menguasai alam dengan cara-cara egoistik dan manipulatif.

Pertobatan Ekologis

Perilaku merusak alam adalah habitus lama yang mesti segera diminimalisir. 

Sebaliknya, kesadaran memulihkan alam yang terluka agar layak dihuni kembali harus menjadi habitus baru. 

Maka, diperlukan perubahan paradigma dari manusia sebagai penguasa atas dunia, menuju manusia sebagai pemelihara ciptaan.

Pemahaman tentang menguasai bumi perlu ditafsir ulang secara kritis agar tidak terjerumus dalam pemaknaan egoistik individualistik. 

Menguasai bukan berarti menaklukkan secara eksploitatif, melainkan menjaga, merawat, melindungi, memperbaiki, dan memulihkan. 

Melalui sikap itu, manusia menghidupi imannya secara nyata, yakni bertobat dari kebiasaan merusak alam.

Sebagai warga negara dan umat beragama, sikap kita terhadap alam harus berdasar pada nilai keadilan, kesejahteraan, dan keselamatan seluruh ciptaan. 

Kita dipanggil menjaga keutuhan karya Tuhan, memanfaatkan alam secara bijaksana, serta mengecam segala tindakan yang merusak atau mengeksploitasi secara berlebihan.

Karena itu, pastoral ekologi sangat dibutuhkan di tengah krisis pemahaman tentang alam. 

Pastoral tidak berhenti pada konsep, tetapi mengantar umat memasuki pertobatan ekologis. 

Seluruh ciptaan baik yang ada secara langsung maupun tidak langsung merupakan satu kesatuan yang saling menopang. 

Sebab alam bukan hanya milik satu generasi, tetapi milik seluruh generasi sepanjang masa.

Uskup Agung Jakarta, Ignatius Suharyo, dalam The Catholic Way (2009) menegaskan bahwa setiap orang, apa pun perannya, dipanggil menjaga keutuhan ciptaan. 

Karena itu, dibutuhkan pertobatan ekologis dari paradigma antroposentris menuju paradigma biosentris atau ekosentris. 

Paradigma antroposentris menempatkan manusia sebagai pusat segalanya, sementara paradigma biosentris mengakui bahwa seluruh makhluk hidup memiliki peran dan martabat yang penting.

Berbagai tindakan yang mengarah pada paradigma ekosentris sebenarnya telah dilakukan secara personal maupun kolektif. Namun, semua upaya ini tidak boleh hanya menjadi aksi sesaat. 

Ia harus menjadi gerakan bersama yang berkelanjutan, sebab menata keutuhan ciptaan adalah panggilan sekaligus tuntutan moral.

Menjaga keutuhan ciptaan juga merupakan wujud cinta kepada Tuhan. Cinta kepada Tuhan menjadi fondasi bagi cinta kepada manusia, hewan, tumbuhan, dan seluruh alam. 

Menteri Agama RI, Prof. Nasaruddin Umar, menegaskan bahwa cinta kepada Tuhan harus diiringi lima asas cinta lainnya termasuk cinta kepada sesama makhluk dan alam semesta.

Dengan pemahaman demikian, upaya pelestarian ciptaan akan lebih mudah diterima. 

Kerusakan yang disebabkan oleh penambangan, perkebunan skala besar, pencemaran tanah, air, dan udara, serta perubahan iklim menandakan bahwa keharmonisan ciptaan telah terganggu.

Kita tahu bahwa Allah menciptakan manusia dan alam dalam relasi yang harmonis sebagai rantai kehidupan yang saling menopang. 

Maka, alam semesta bukan milik segelintir orang yang memegang kuasa, melainkan milik seluruh generasi. 

Generasi kini wajib memikirkan generasi mendatang yang berhak atas alam yang sama yang sehat, lestari, dan bermartabat.

Karena itu, kepedulian ekologis merupakan tanggung jawab bersama. Kita dipanggil memulihkan relasi yang rusak dan membangun habitus baru yang berkeadaban. 

Kita harus meninggalkan pola pikir lama dan menyambut pola baru yang memulihkan harmoni antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.

Memulihkan keutuhan ciptaan berarti memulihkan hubungan kita dengan seluruh makhluk secara horizontal dengan ciptaan, dan secara vertikal dengan Allah. 

Kita dipanggil menjadikan alam sebagai investasi kehidupan bagi generasi berikutnya. Ini menuntut kepekaan terhadap sampah, pencemaran udara, dan bahaya pembakaran hutan. 

Kita harus menumbuhkan mentalitas ugahari yakni nmengambil secukupnya dan melestarikan selebihnya bagi generasi mendatang.

Kita pun perlu bersikap hemat dalam menggunakan energi tak terbarukan, menyadari bahwa manusialah penyebab utama kerusakan lingkungan. 

Oleh karena itu, kita dipanggil menjadi manusia baru yang setia kepada Sang Pencipta melalui praktik pertobatan ekologis.

Petrus Selestinus Mite dalam tulisannya, Alarm dari Alam yang Terluka (PK, 8 Oktober 2025), mengajak kita mendengarkan jeritan alam. 

Tragedi ekologis di Bali, Mauponggo–Flores, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh harus menjadi momentum untuk berbalik arah dari memerangi alam menjadi berdamai dan merawatnya. 

Keselamatan masa depan bergantung pada cara kita memperlakukan alam hari ini. Kita tidak hanya boleh mengambil dari alam, tetapi harus belajar memberi dengan segenap hati. 

Mari meluruskan relasi dengan bumi. Adven mengajak kita untuk bangkit, bertobat, berharap dan bertindak dengan menyelamatkan bumi yang semakin terluka. (*)

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.