BANJIR bandang dan longsor di Pulau Sumatera di penghujung tahun 2025 ini, bukan sekedar sebagai tragedi lokal karena telah menarik perhatian dunia internasional.
Menurut laporan resmi yang dikutip beberapa media, bencana ini telah menelan ratusan bahkan ribuan korban jiwa, memaksa ratusan ribu orang mengungsi, dan menimbulkan kerusakan berat pada infrastruktur, permukiman, serta lanskap alam.
Puing kayu hanyut yang menumpuk, jembatan ambruk, dan sungai meluap dianggap sebagai manifestasi nyata dari rusaknya ekosistem dan hilangnya fungsi alami penahan banjir seperti hutan dan lahan basah.
Dalam publikasinya, Reuters menyebut bahwa Pulau Sumatera membutuhkan sekitar US$ 3,11 miliar untuk rekonstruksi dan pemulihan — angka ini mencerminkan skala kerusakan yang meluas, dari rumah rusak, jembatan terputus, hingga akses dasar seperti air bersih dan layanan medis.
Sementara itu, Associated Press (AP) dalam salah satu laporannya memperingatkan bahwa bencana ini tidak bisa dilepaskan dari jejak panjang deforestasi massif, alih fungsi lahan yang tak terkendali, pertambangan tanpa rehabilitasi dan pembangunan kota yang mengabaikan daya dukung lingkungan.
Faktor-faktor tersebut telah “memperparah dampak” banjir dan longsor, sehingga menjadikannya bukan sekadar bencana alam, tapi menjadi cerminan krisis ekologis dan kemanusiaan global.
Dengan demikian banjir bandang bukan sekadar air meluap dari sungai, namun akumulasi dari kekeliruan cara pandang manusia terhadap alam akibat praktik pembangunan yang hanya mengejar angka pertumbuhan tanpa memperhitungkan keberlanjutan jangka panjang.
Krisis ekologis selalu menampilkan wajahnya dalam bentuk kerusakan pembangunan, yang dalam perspektif Islam krisis seperti ini juga merupakan krisis spiritualitas.
Oleh karena itu, bencana di Sumatera menjadi lebih dari sekadar tragedi namun juga merupakan “alarm ekologis dan sosial”. Fakta bahwa kerusakan begitu besar dan korban berjatuhan menunjukkan bahwa pembangunan tanpa memperhatikan keseimbangan lingkungan akan berujung fatal.
Dengan demikian, tragedi ini merupakan tantangan global yang membutuhkan pemikiran mendalam, kebijakan tegas, dan kesadaran kolektif, karena kerusakan lingkungan bukan lagi sekadar isu teknis atau bencana alam biasa namun telah menjadi krisis moral, krisis nilai, dan krisis peradaban.
Dalam konteks inilah, konsep Ekoteologi Islam dihadirkan sebagai tawaran solusi etis dan filosofis yang sangat relevan.
Konsep ini disintesiskan dengan konsep Ekonomi pembangunan syariah yang berbasis pada prinsip keadilan, keberlanjutan, dan kemaslahatan.
Tulisan ini mengkaji bagaimana dua pendekatan yaitu ekoteologi dan Ekonomi Pembangunan syariah—disintesiskan menjadi paradigma baru yang lebih kokoh untuk menghadapi krisis ekologis modern.
Ekoteologi Islam: Nilai yang Terlupakan dalam Pembangunan
Ekoteologi Islam adalah cara pandang yang menekankan bahwa hubungan manusia–alam–Tuhan tidak dapat dipisah-pisahkan.
Alam adalah: 1) tanda-tanda (ayat) Tuhan, 2) amanah yang wajib dijaga,3) ruang ibadah bagi manusia, 4) makhluk Tuhan yang memiliki hak untuk hidup.
Dalam hal ini Ekoteologi Islam bertumpu pada lima prinsip utama: 1) Tauhid: artinya alam bukan komoditas, namun bagian dari kesatuan ciptaan Allah SWT yang suci; 2) Khalifah: yang berarti manusia bukan pemilik bumi, hanya wakil atau penjaga (stewards) yang diberi tanggung jawab moral; 3) Amanah: di mana Pembangunan adalah mandat spiritual, bukan izin eksploitasi; 4. Mizan (keseimbangan): bahwa Alam bekerja dengan keseimbangan, dan kerusakan mulai terjadi ketika manusia melampaui batas tertentu; serta 5) Larangan Fasad: atau larangan untuk melakukan Tindakan yang merusak bumi karena dianggap sebagai pelanggaran moral dan pelanggaran syariat.
Dalam perspektif ekoteologi Islam tersebut, banjir bandang di Sumatera bisa dianggap sebagai “fasad fi al-ardh” (kerusakan di bumi) yang tidak hanya akibat curah hujan ekstrem, tetapi juga—meminjam istilah al-Qur’an—akibat “apa yang diperbuat tangan manusia” (QS. Ar-Rum: 41).
Banjir bandang tidak boleh lagi dipahami hanya sebagai luapan sungai, curah hujan ekstrem, atau fenomena meteorologis biasa.
Ia harus dibaca sebagai sinyal serius runtuhnya relasi manusia dengan alam. Dalam perspektif ekoteologi Islam, bencana seperti banjir adalah cerminan bahwa amanah pengelolaan bumi telah dilanggar, keseimbangan alam (mizan) dirusak, fasad—kerusakan ekologis—dibiarkan tumbuh menjadi sistemik, dan tata kelola pembangunan berjalan tanpa mempedulikan maqasid syariah yang menekankan perlindungan terhadap jiwa, keturunan, harta, serta lingkungan.
Jika pembangunan modern terus mengabaikan dimensi teologi dan etika, maka bencana bukan hanya akan berulang, tetapi juga akan semakin intens dan mematikan.
Dengan demikian, banjir bukan hanya bencana alam; ia adalah bencana peradaban—hasil dari paradigma pembangunan yang memisahkan manusia dari kosmosnya.
Ekonomi Pembangunan Syariah: Pembangunan Yang Tidak Mengorbankan Alam
Walaupun dalam pemahaman umum ekonomi syariah sering dipersempit hanya seolah terdiri dari pengembangan bank syariah, pembiayaan syariah, atau penguatan UMKM, namun perlu dipahami bahwa ekonomi syariah sejatinya adalah sistem Pembangunan yang komprehensif.
Ekonomi pembangunan syariah memiliki karakteristik yang sejalan dengan ekoteologi: dengan beberapa indikatornya antara lain: 1) kesejahteraan yang merata; 2) keberlanjutan generasi; 3) pelindungan terhadap lingkungan; 4) penggunaan sumber daya secara moderat (wasatiyyah); 4) pembangunan sebagai ibadah dan amanah.
Dalam kerangka ekoteologi Islam, sebuah tata kelola pembangunan yang benar seharusnya melarang pembukaan lahan secara merusak, menolak industrialisasi yang tidak disertai AMDAL berkeadilan, mencegah eksploitasi sumber daya alam yang melampaui daya dukung lingkungan, serta menghentikan proyek-proyek pembangunan yang mengorbankan masyarakat adat maupun ekosistem yang menjadi penyangga kehidupan.
Prinsip-prinsip ini bukan sekadar tuntutan ekologis modern, tetapi merupakan inti dari ajaran syariah tentang mīzān (keseimbangan), amanah, dan istidām (keberlanjutan).
Banjir bandang yang meluluhlantakkan wilayah Sumatera menjadi bukti paling telanjang bahwa arah pembangunan kita telah jauh menyimpang dari nilai-nilai dasar tersebut.
Ketika hutan dibuka tanpa kontrol, lembah dipaksa menerima beban industri, dan aliran air kehilangan penyangganya, maka bencana bukan lagi sekadar fenomena alam, tetapi akibat dari pilihan-pilihan kebijakan yang mengabaikan etika kosmik dalam Islam.
Dengan kata lain, banjir bandang itu bukan hanya tragedi ekologis, melainkan juga peringatan teologis bahwa keseimbangan yang diamanahkan Allah SWT telah kita runtuhkan dengan tangan kita sendiri atas nama Pembangunan.
Padahal ketika keseimbangan alam dirusak demi ekspansi ekonomi jangka pendek, maka syariah—sebagai sistem yang mengatur harmoni manusia dengan lingkungan—pada dasarnya sedang diabaikan.
Tragedi yang terjadi bukan sekadar fenomena alam, tetapi isyarat bahwa prinsip mizan dan istidam telah ditinggalkan dalam praktik pembangunan kita.
Sintesis: Ekoteologi sebagai Fondasi Ekonomi Pembangunan Syariah Baru
Setelah menelaah banjir bandang di Sumatera sebagai bencana ekologis sekaligus bencana peradaban, jelas bahwa paradigma pembangunan yang selama ini dianut tidak lagi memadai.
Krisis lingkungan yang berulang menuntut kita untuk menempatkan kembali nilai-nilai ketuhanan, etika, dan keseimbangan sebagai fondasi pembangunan.
Ekoteologi Islam—yang memadukan tauhid, amanah, mizan, dan larangan fasad—memberikan kerangka filosofis dan moral yang dapat menuntun arah baru pembangunan syariah yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan.
Sudah saatnya maqasid syariah diperluas untuk memasukkan hifz al-bī’ah (perlindungan lingkungan) sebagai tujuan syariah yang berdiri sendiri.
Selama ini, maqasid klasik berkutat pada penjagaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Namun dalam konteks krisis iklim dan kerusakan ekologis, menjaga lingkungan adalah prasyarat bagi tegaknya seluruh maqasid lainnya.
Tidak mungkin menjaga jiwa jika bencana ekologis terus menghancurkan kehidupan.
Tidak mungkin menjaga harta jika tanah, air, dan sumber daya tidak lagi memberikan manfaat.
Dengan memasukkan hifz al-bī’ah, ekonomi pembangunan syariah dapat bergerak menuju visi yang lebih holistik: menjaga keberlanjutan kehidupan secara keseluruhan.
Paradigma pembangunan nasional juga perlu ditopang oleh kebijakan publik yang sejalan dengan etika ekologi Islam.
Prinsip larangan fasad (kerusakan) bukan hanya ajaran moral, tetapi harus diterjemahkan ke dalam regulasi tegas terhadap pembukaan lahan, penebangan hutan, dan industrialisasi yang mengabaikan daya dukung lingkungan.
Setiap proyek pembangunan harus taat pada carrying capacity ekologis, bukan sekadar pada analisis investasi ekonomi.
Dalam konteks ini, Islamic Green Development Framework layak dijadikan kerangka strategis, di mana setiap kebijakan wajib menimbang keselarasan antara tujuan ekonomi, keseimbangan lingkungan, dan keberlanjutan sosial.
Pembangunan tidak boleh lagi dipahami sebagai “menaklukkan alam”, melainkan menciptakan harmoni antara manusia dan ciptaan Tuhan.
Masjid, sebagai pusat peradaban dan ruang produksi nilai-nilai moral, memiliki potensi besar untuk menjadi laboratorium kesadaran ekologis.
Melalui konsep Masjid Hijau, masjid dapat menjadi pusat edukasi mitigasi lingkungan, gerakan tanam pohon, pelatihan manajemen sampah, hingga model penggunaan energi bersih di tingkat komunitas.
Bila setiap khutbah Jumat menyelipkan edukasi lingkungan dan setiap kegiatan masjid memprioritaskan praktik ramah lingkungan, maka transformasi kesadaran ekologis akan mengakar kuat pada kehidupan umat.
Perubahan budaya yang dibutuhkan untuk menghadapi krisis ekologi sebenarnya dapat dimulai dari ruang spiritual yang paling dekat dengan masyarakat.
Ekonomi pembangunan syariah juga perlu memperluas skema pembiayaan agar mendukung proyek-proyek yang ramah lingkungan.
Indonesia telah menjadi pelopor melalui penerbitan green sukuk, tetapi potensinya masih jauh lebih besar.
Wakaf lingkungan dapat diarahkan pada rehabilitasi hutan, restorasi daerah aliran sungai (DAS), dan penguatan ketahanan ekosistem.
Dana zakat dapat dimanfaatkan untuk program yang membantu masyarakat rentan beradaptasi terhadap perubahan iklim.
Sementara itu, bank syariah dapat memprioritaskan pembiayaan energi terbarukan, pertanian organik, dan UMKM hijau.
Dengan demikian, instrumen-instrumen ekonomi syariah tidak hanya berfungsi secara finansial, tetapi juga ekologis.
Pendidikan tinggi, terutama program studi ekonomi syariah, memiliki peran kunci dalam membentuk paradigma baru ini.
Kurikulum harus mulai memasukkan mata kuliah yang membahas etika ekologi, pembangunan hijau, analisis dampak ekologis berbasis syariah, dan studi kasus bencana lingkungan.
Mahasiswa perlu dibekali kemampuan membaca persoalan lingkungan secara sistematis, mengintegrasikannya dengan prinsip maqasid, dan merancang solusi berbasis kebijakan publik syariah.
Dengan demikian, lulusan ekonomi syariah tidak hanya menjadi analis keuangan atau perencana ekonomi, tetapi juga penjaga bumi yang memiliki kesadaran spiritual dan ekologis.
Bencana di Sumatera: Cermin Retak Pembangunan Kita
Kasus banjir bandang di Sumatera memberikan gambaran jelas tentang bagaimana kerusakan ekologis menghadirkan konsekuensi langsung bagi manusia.
Setidaknya ada tiga faktor utama yang menjelaskan tragedi ini. Pertama, deforestasi dan pembukaan lahan besar-besaran telah mengubah hutan lindung menjadi kebun sawit, tambang terbuka, permukiman baru, dan kawasan industri.
Hilangnya tutupan hutan membuat tanah kehilangan daya serap, dan air hujan yang seharusnya tertahan justru mengalir bebas menuju permukiman.
Kedua, alih fungsi bantaran sungai membuat “ruang gerak” sungai menyempit; sungai kehilangan rekahan alami tempat ia meresapkan air.
Ketiga, kota-kota di Sumatera berkembang melampaui daya dukung lingkungan—melahirkan fenomena “urbanisasi basah” melalui betonisasi, hilangnya daerah resapan, dan sistem drainase yang tidak memadai.
Hutan sejatinya adalah pelindung manusia; ia meresap, menahan, dan menata aliran air. Namun ketika hutan dirusak, air tidak lagi memiliki penjaga dan mencari jalannya sendiri: meruntuhkan tebing, membawa kayu, dan menerjang rumah-rumah penduduk.
Dalam perspektif ekoteologi, tragedi ini bukan hanya masalah teknis, tetapi konsekuensi moral dari perilaku manusia yang mengkhianati amanah penjagaan bumi.
Bumi Indonesia tidak sedang marah—ia hanya merespons perilaku yang diberikan kepadanya.
Dari banjir bandang di Sumatera, kitab bisa merefleksikan bahwa bencana tersebut bukan semata-mata peristiwa alam, namun cerminan bagi bangsa ini, bahwa pembangunan yang telah secara nyata mengabaikan nilai-nilai spiritualitas ekologis akan selalu berujung pada kerusakan dan penderitaan.
Ekoteologi Islam mengingatkan bahwa relasi manusia dengan alam bukan relasi produksi dan eksploitasi, melainkan relasi Amanah sebagai khalifatullah fil ardh.
Jika prinsip-prinsip ekonomi pembangunan syariah dipedomani, maka setiap program Pembangunan harus kembali memuliakan alam sebagai subjek moral yang wajib dijaga.
Oleh karena itu, sudah waktunya membangun paradigma pembangunan baru: paradigma yang berakar pada nilai Islam, berorientasi keberlanjutan, dan menjadikan bumi sebagai titipan Tuhan yang harus dijaga bersama. Wallahu ‘a’lamu bi ashowwab. (*)