TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Kota Surakarta atau Solo, Jawa Tengah, kembali menegaskan posisinya sebagai pusat pelestarian budaya Jawa.
Pada tahun 2025, Kementerian Kebudayaan menetapkan sebanyak 14 karya budaya asal Solo sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia (WBTbI).
Karya-karya tersebut mencakup adat istiadat, kuliner, seni pertunjukan, hingga pengetahuan tradisional yang telah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat.
Baca juga: Sejarah Warung HIK Solo yang jadi Warisan Budaya Tak Benda, Sudah Ada Sejak Penjajahan Belanda
Salah satu tradisi yang mendapat pengakuan tersebut adalah kembar mayang Surakarta.
Kembar mayang ini adalah elemen penting dalam pernikahan adat Jawa yang sarat makna filosofis.
Dalam pernikahan adat Jawa, dekorasi bukan sekadar pelengkap visual, tetapi mengandung simbol dan doa.
Beberapa unsur yang lazim digunakan antara lain bleketepe, tarub, aneka tuwuhan, dan kembar mayang.
Kembar mayang kerap diletakkan di sisi kanan dan kiri pelaminan pengantin sebagai simbol keseimbangan dan kesatuan.
Secara umum, kembar mayang merupakan sepasang hiasan yang dirangkai dari janur atau daun kelapa muda, dedaunan, bunga, dan buah tertentu.
Baca juga: Sejarah Sego Gablok, Kuliner Legendaris Pasar Tawangmangu Karanganyar : Dulu Santapan Para Kuli
Menurut Gondowasito, kembar mayang adalah buket janur yang dilengkapi bunga mayang atau bunga pudak dengan jumlah dua dan bentuk yang sama persis.
Kesamaan bentuk tersebut melambangkan keselarasan hidup yang diharapkan tercapai dalam rumah tangga.
Selain dikenal dengan sebutan kembar mayang, dekorasi ini juga disebut megar mayang atau gagar mayang.
Megar mayang bermakna mekarnya bunga pinang, simbol kehidupan baru seseorang yang telah memasuki fase dewasa.
Sementara itu, gagar mayang diartikan sebagai gugurnya masa kanak-kanak. Karena makna “gugur” dianggap kurang baik, masyarakat kini lebih akrab menggunakan istilah kembar mayang.
Keberadaan kembar mayang telah dikenal sejak lama.
Bentuknya bahkan disebut memiliki kemiripan dengan pohon kalpataru yang terukir di relief Candi Prambanan.
Kalpataru dalam kepercayaan Jawa merupakan simbol kehidupan, kesejahteraan, dan harapan.
Catatan sejarah menyebutkan bahwa kembar mayang pernah dibuat secara resmi pada tahun 1906 di lingkungan Keraton Yogyakarta, pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VII.
Baca juga: Makna Pakaian Adat Jawa yang Dipakai Ilyas dan Putri : Paes Solo Putri hingga Sanggul Cunduk Mentul
Susunan kembar mayang kala itu sangat kompleks, terdiri dari berbagai jenis daun seperti beringin, alang-alang, puring, hingga daun udan emas, serta unsur janur berbentuk untiran, pecut-pecutan, kupat luar, dan walang-walangan.
Di bagian tengah terdapat bunga pudak yang dikelilingi bunga potro menggolo berwarna merah.
Seiring perkembangan zaman, bentuk dan komposisi kembar mayang mengalami penyesuaian.
Meski demikian, masyarakat Jawa hingga kini masih menjadikan pakem Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta sebagai rujukan utama dalam pembuatannya.
Tradisi kembar mayang juga hidup dalam cerita pewayangan.
Dalam kisah pernikahan Dewi Sembadra dan Harjuna, Dewi Sembadra bersedia menikah dengan syarat Pandawa mampu menghadirkan pohon kalpataru.
Pohon tersebut dianggap membawa pengaruh baik bagi kehidupan.
Baca juga: Di Balik Kain Putih dan Telanjang Dada Empu Keris Museum Brojobuwono Karanganyar : Bukan Soal Klenik
Para Pandawa kemudian meminjam kembar mayang dari Batara Guru.
Setelah prosesi pernikahan selesai, kembar mayang tersebut harus dikembalikan ke alam dengan cara dilarung ke air atau dikembalikan ke tanah.
Hal ini melambangkan bahwa kembar mayang hanyalah titipan dari para Dewa dan tidak boleh dimiliki secara permanen.
Setiap unsur dalam kembar mayang memiliki makna simbolik yang mendalam.
(*)