BANGKAPOS.COM--Perjalanan hukum Amrina Rachmi Warham, mantan staf Distributor Pupuk PT Koperasi Perdagangan Indonesia (KPI), menjadi sorotan setelah dirinya mengajukan gugatan rehabilitasi nama baik dan ganti rugi senilai Rp2 miliar terhadap Kejaksaan Negeri Jeneponto dan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan.
Langkah hukum tersebut ditempuh Amrina usai dinyatakan bebas murni oleh pengadilan dalam perkara dugaan korupsi pupuk subsidi tahun 2021, yang sempat membuatnya mendekam di penjara selama sekitar 10 bulan.
Kasus ini bermula pada tahun 2022, saat Kejaksaan Negeri Jeneponto melakukan penyelidikan terhadap dugaan penyimpangan distribusi pupuk subsidi.
Pemeriksaan dilakukan terhadap sejumlah pihak, mulai dari distributor pupuk, pengecer, hingga pejabat Dinas Pertanian Kabupaten Jeneponto dan Provinsi Sulawesi Selatan.
Namun, dari sekian banyak saksi yang diperiksa, hanya Amrina Rachmi Warham yang akhirnya ditetapkan sebagai tersangka.
Penetapan itu dilakukan pada 25 April 2024, dan Amrina langsung ditahan di Rutan Jeneponto.
“Saya satu-satunya yang ditetapkan sebagai tersangka, padahal ada banyak pihak lain yang diperiksa,” ujar Amrina.
Selama proses hukum berjalan, Amrina menjalani masa penahanan hampir 10 bulan.
Ia mengaku telah enam kali mengajukan permohonan penangguhan penahanan, namun seluruhnya ditolak.
Ia mengungkapkan penahanannya membawa dampak besar bagi kehidupannya dan keluarga.
“Saya ditahan 10 bulan. Anak-anak saya dibully di sekolah, suami saya stres, dan saya kehilangan pekerjaan. Bahkan saya ditangkap tengah malam tanpa dijelaskan apa kesalahan saya,” tuturnya.
Amrina juga mengaku proses penetapan tersangkanya penuh kejanggalan.
Ia dituduh menjual pupuk subsidi ke luar daerah dan menjual di atas Harga Eceran Tertinggi (HET), namun menurutnya tuduhan itu tidak pernah disertai bukti yang jelas.
Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Makassar, 17 Februari 2025, majelis hakim memutuskan Amrina tidak bersalah.
Hakim menyatakan tidak terdapat kerugian negara dalam perkara tersebut.
Kerugian yang sebelumnya dihitung oleh Inspektorat disebut hanya berdasarkan selisih stok akhir tahun.
“Padahal stok itu memang ada karena untuk kebutuhan tahun berikutnya. Hakim juga menyatakan tidak ada kerugian negara,” jelas Amrina.
Ia juga menyoroti fakta bahwa audit Inspektorat sebenarnya ditujukan kepada direktur perusahaan, bukan dirinya.
Namun, justru dirinya yang dijadikan tersangka.
“Inspektorat tidak bisa menunjukkan bukti kerugian negara. Bahkan hasil audit dan BAP tidak diserahkan ke kejaksaan,” katanya.
Putusan bebas tersebut sempat dilawan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Jeneponto melalui upaya kasasi ke Mahkamah Agung.
Namun, kasasi itu akhirnya ditolak.
“Jaksa mengajukan kasasi, tapi Mahkamah Agung menolak. Alhamdulillah saya tetap bebas,” kata Amrina.
Meski bebas, Amrina mengaku telah menanggung kerugian besar, baik secara materiil maupun moril.
Ia kehilangan pekerjaan dan harus mengubur mimpinya menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), setelah sebelumnya mengabdi sebagai honorer selama 20 tahun di salah satu puskesmas.
Merasa dikriminalisasi, Amrina kemudian menempuh langkah hukum balik.
Gugatan Berlanjut Secara Perdata
Meski praperadilannya dinyatakan tidak dapat diterima, Amrina menegaskan perjuangan hukumnya belum berakhir. Ia kini menggugat Kejati Sulawesi Selatan dan Kejari Jeneponto secara perdata, dengan dalil mengalami kriminalisasi aparat penegak hukum.
Gugatan tersebut telah teregister di PN Makassar dengan nomor perkara 43/Pid.Pra/2025/PN Mks, dengan tuntutan rehabilitasi nama baik dan ganti rugi sebesar Rp2 miliar.
“Saya hanya ingin keadilan dan pemulihan nama baik saya. Saya satu-satunya yang ditahan, padahal ada banyak pihak lain dalam perkara ini,” tegasnya.
Namun, dalam sidang praperadilan yang digelar Kamis (18/12/2025), hakim menyatakan permohonan Amrina tidak dapat diterima atau niet ontvankelijk verklaard (N.O.).
Kepala Kejaksaan Negeri Jeneponto, Akhmad Heru Prasetyo, menjelaskan putusan tersebut dijatuhkan karena Pengadilan Negeri Makassar dinilai tidak berwenang secara relatif untuk memeriksa permohonan praperadilan itu.
“Hakim menilai PN Makassar tidak berwenang secara relatif untuk memeriksa dan mengadili permohonan praperadilan tersebut,” kata Heru.
Heru menegaskan Kejaksaan menghormati putusan hakim dan menyebut praperadilan sebagai bagian sah dari sistem hukum.
“Kami menghormati putusan hakim sebagai bagian dari independensi kekuasaan kehakiman,” ujarnya.
Ia juga menyatakan bahwa perbedaan putusan tidak bisa langsung diartikan sebagai kesalahan jaksa, karena merupakan konsekuensi dari perbedaan sudut pandang hukum.
Heru mengungkapkan bahwa dalam putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor 6322 K/Pid.Sus/2025, terdapat dissenting opinion, di mana salah satu hakim berpendapat Amrina terbukti bersalah sesuai dakwaan jaksa.
Selain itu, Kejari Jeneponto menyebut Amrina sebelumnya telah dua kali mengajukan praperadilan dengan materi yang sama, dan seluruhnya telah ditolak.
“Kejaksaan Negeri Jeneponto tetap berkomitmen menjalankan tugas penegakan hukum secara transparan, objektif, dan akuntabel,” tutup Heru.
(Bangkapos.com/Tribun Timur/Tribunnews)