TRIBUNPAPUABARAT.COM, MANOKWARI - Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Wilayah Mnukwar menggelar diskusi reflektif memperingati 19 Desember 1961 yang dikenal sebagai Hari Tri Komando Rakyat (Trikora).
Diskusi tersebut digelar di Sekretariat KNPB Mnukwar, kawasan Marina, Manokwari, Papua Barat, Jumat (19/12/2025) malam.
Ketua KNPB Mnukwar, Alexsander Nekenem, menyatakan bahwa diskusi tersebut bertujuan meninjau kembali dan menyikapi Trikora yang menurut KNPB menjadi awal masuknya penindasan terhadap rakyat Papua Barat.
“Tri Komando Rakyat (Trikora) yang dikumandangkan Presiden Soekarno di Alun-alun Yogyakarta pada 19 Desember 1961 memuat tiga poin utama,” ujar Alexsander kepada media di Manokwari.
Ia menjelaskan, tiga poin Trikkta yang dimaksud yakni menggagalkan negara boneka buatan kolonial Belanda, mengibarkan Bendera Merah Putih di Irian Barat (Papua sekarang) sebagai bagian dari Indonesia, serta menyerukan mobilisasi umum untuk mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air.
Baca juga: KNPB Mnukwar Gelar Ibadah dan Diskusi Refleksi 64 Tahun Manifesto Politik Papua
Menurut KNPB, sejak dikumandangkannya Trikora, militer Indonesia mulai masuk ke tanah Papua dan memicu berbagai operasi yang berdampak pada masyarakat sipil.
Alexsander menyebutkan bahwa KNPB mencatat sedikitnya 16 operasi militer terjadi di tanah Papua sejak 1962 hingga 2004.
“Sejak itu, rakyat Papua hidup dalam ketegangan akibat operasi militer, termasuk penyiksaan hingga pembunuhan terhadap warga sipil,” katanya.
Ia juga menyinggung Perjanjian New York atau New York Agreement yang ditandatangani pada 15 Agustus 1962.
Menurut KNPB, perjanjian tersebut tidak melibatkan orang asli Papua sebagai pemilik wilayah dalam proses pengambilan keputusan.
KNPB menilai peristiwa 1 Mei 1963 sebagai bentuk aneksasi yang memaksa Papua bergabung dengan Indonesia, sehingga memicu perlawanan dan gerakan sipil yang menolak integrasi tersebut.
Dalam diskusi itu, KNPB juga mengkritisi pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969.
Alexsander menyatakan bahwa Pepera tidak dilaksanakan secara demokratis karena tidak menggunakan prinsip “satu orang, satu suara”.
“Dari total populasi sekitar 809.337 orang Papua saat itu, hanya 1.025 orang yang dilibatkan dan hanya 175 orang yang menyampaikan pendapat. Proses ini menurut kami sarat intimidasi, teror, dan manipulasi,” ujarnya.
KNPB menilai bahwa pelanggaran hak asasi manusia terhadap rakyat Papua terus berlanjut hingga era reformasi, termasuk penangkapan, kriminalisasi, intimidasi, serta eksploitasi sumber daya alam dan kebijakan transmigrasi yang dinilai memarginalkan Orang Asli Papua (OAP).
Baca juga: KNPB Mnukwar Gelar Konvoi Peringati Hari Manifesto Politik Papua
Sebagai penutup diskusi, KNPB Wilayah Mnukwar menyampaikan lima pernyataan sikap, yakni:
1. Mendesak Negara Indonesia meninjau kembali status politik Papua dan membuka jalan dekolonisasi melalui referendum atau penentuan nasib sendiri secara damai dan demokratis.
2. Menuntut penarikan militer, baik organik maupun nonorganik, dari tanah Papua karena dinilai menimbulkan ketakutan dan mengancam keselamatan warga sipil.
3. Menolak kebijakan transmigrasi yang dinilai mempercepat marginalisasi Orang Asli Papua dan mengancam identitas serta budaya masyarakat adat.
4. Menuntut pembebasan seluruh tahanan politik Papua, termasuk massa aksi yang ditahan di Makassar pada 19 Desember 2025.
5. Menyatakan Pepera 1969 ilegal dan mendesak pelaksanaan referendum di Papua Barat sebagai solusi demokratis.