Nakita.id -Moms dan Dads, perjalanan di dunia seni sering kali berawal dari ketertarikan sederhana yang tumbuh perlahan hingga menjadi bagian penting dalam kehidupan.
Musik, sebagai bahasa universal, bukan hanya sarana ekspresi, tetapi juga ruang belajar yang membentuk kedisiplinan, kepekaan, serta karakter sejak usia dini.
Banyak pendidik dan pelaku seni menemukan jati dirinya melalui proses panjang yang berawal dari lingkungan terdekat, dukungan keluarga, serta kesempatan belajar sejak usia muda.
Pengalaman awal inilah yang kemudian menjadi fondasi kuat untuk melangkah ke masa depan. Kisah tersebut juga dialami oleh Veny Lie.
Sejak usia sekitar 3,5 tahun, Veny telah dikenalkan pada musik oleh keluarga yang mencintai seni. Organ elektronik menjadi instrumen pertamanya, dipelajari secara privat dan melalui sekolah musik Yamaha hingga jenjang akhir, sebelum akhirnya berlanjut ke piano.
Bahkan sebelum menyelesaikan pendidikan formal, Veny sudah mulai mengajar sejak duduk di bangku SMP kelas 2. Ia mengajar dari rumah ke rumah di Pematang Siantar, sebuah pengalaman yang membentuknya sebagai pendidik musik sejak usia sangat muda.
“Waktu itu saya masih sangat muda dan bangga bisa jadi guru. Muridnya tetangga sendiri, semuanya mengalir begitu saja,” kenangnya.
Hingga akhir 1990-an, Veny mengajar murid-murid reguler. Titik balik terjadi pada 2003 ketika seorang ibu memintanya mengajar anak dengan spektrum autisme atas rekomendasi dokter. Pengalaman tersebut benar-benar baru baginya.
“Saya sama sekali tidak tahu seperti apa anak autisme. Saya pikir, ya sudah, kita coba dulu,” ujarnya.
Pertemuan pertama penuh tantangan. Anak tersebut belum mampu duduk tenang dan mudah terdistraksi. “Saya bingung, dalam kondisi seperti ini, apa yang bisa dipelajari?” tuturnya.
Pada pertemuan berikutnya, Veny mencoba pendekatan intuitif dengan memberikan pelukan dari belakang untuk menciptakan rasa aman.
“Bukan untuk menahan, tapi supaya dia merasa aman. Saat itu, untuk pertama kalinya, dia bisa duduk diam,” katanya.
Pendekatan yang dilakukan secara konsisten mulai menunjukkan hasil. Beberapa bulan kemudian, dokter menyampaikan adanya peningkatan fokus pada anak tersebut.
“Awalnya hanya lima menit, lalu meningkat jadi sepuluh menit dan mulai merespons. Buat saya itu luar biasa,” ungkapnya.
Sejak saat itu, semakin banyak anak dengan kebutuhan belajar beragam mengikuti kelas musiknya, mulai dari autisme, ADHD, cerebral palsy, dispraksia, disleksia, hingga Down syndrome. Dari pengalaman tersebut, Veny menyadari bahwa setiap anak memerlukan pendekatan yang berbeda. “Satu anak, satu cara. Tidak bisa disamaratakan,” tegasnya.
Seiring bertambahnya murid, Veny mendirikan sekolah musik Ven’s Club di Kelapa Gading. Tempat ini menjadi ruang belajar musik yang inklusif untuk berbagai usia dan kebutuhan. Menurutnya, piano juga bermanfaat bagi lansia karena membantu menjaga fungsi kognitif. “Main piano membuat otak kiri dan kanan tetap aktif. Itu penting untuk usia lanjut,” jelasnya.
Mengajar tentu tidak selalu berjalan mulus. Ada banyak situasi di kelas yang menuntut kesiapan fisik dan mental. Namun, Veny menjalaninya dengan ketulusan dan kesabaran. Perkembangan murid sering kali pertama kali disadari oleh orang tua. Ada yang melihat anaknya kini mampu menulis dengan lebih terkontrol. Bagi Veny, piano bukan hanya melatih kemampuan musikal, tetapi juga fokus, emosi, serta fleksibilitas berpikir.
Pengalaman tampil di panggung juga menjadi bagian penting dalam proses belajar. Meski menantang, panggung dipandang sebagai latihan mental dan keberanian. “Panggung bukan soal sempurna, tapi soal keberanian,”cerita Veny.
Keberhasilan, menurut Veny, bukan diukur dari tepuk tangan, melainkan dari kesadaran anak terhadap situasi. “Kalau sudah bisa gugup dan berdebar, itu tanda mereka paham. Itu kemajuan,” tambahnya.
Dedikasi Veny Lie mendapat pengakuan luas ketika pada 2009 ia bersama murid-muridnya mencatatkan rekor MURI melalui konser piano yang melibatkan anak-anak berkebutuhan khusus. Sejak itu, murid-murid binaannya kerap tampil dalam berbagai konser inklusif di dalam dan luar negeri bersama musisi anak reguler.
Bagi Veny, keberhasilan terbesar adalah keberlanjutan proses belajar.
“Selama anak masih mau datang, duduk, dan mencoba, itu tanda mereka bertumbuh,” paparnya.
Baginya, musik adalah bahasa universal. “Musik tidak mengenal batas apa pun. Semua berhak berdiri di panggung dunia,” tutupnya.