TRIBUNBATAM.id, JAKARTA – Pascabencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Sumatera Barat pada akhir November 2025, kondisi kesehatan mental anak-anak terdampak menjadi perhatian serius para tenaga medis.
Anak-anak yang selamat dari bencana tidak hanya kehilangan rumah dan lingkungan bermain, tetapi juga harus menghadapi trauma mendalam akibat pengalaman mengerikan yang mereka alami.
Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Sumatera Barat, dr Asrawati, mengungkapkan bahwa banyak anak korban bencana mengalami gangguan psikososial, mulai dari kecemasan hingga gangguan tidur.
Hal tersebut disampaikannya dalam konferensi pers secara daring dari kantor IDAI Jakarta, Senin (22/12/2025).
“Bencana ini membuat anak-anak kehilangan banyak hal, mulai dari rumah, teman, bahkan orang tua. Dampaknya tidak hanya secara fisik, tetapi juga mental,” ujar dr Asrawati.
Ia memaparkan, gangguan tidur menjadi salah satu masalah paling menonjol yang ditemukan di lapangan.
Dari hasil simulasi yang dilakukan terhadap 61 anak terdampak bencana, sebanyak 40 anak mengalami gangguan tidur, sementara hanya 21 anak yang tidak mengalaminya.
“Gangguan tidur ini menjadi sinyal awal adanya trauma yang belum tertangani,” jelasnya.
Selain gangguan tidur, tingkat kecemasan pada anak-anak juga terbilang tinggi, meskipun belum dirinci secara kuantitatif.
Menyikapi kondisi tersebut, para dokter spesialis anak di sejumlah RSUD di Sumatera Barat menggandeng psikolog anak untuk melakukan trauma healing secara terpadu.
Upaya pemulihan juga melibatkan kolaborasi dengan berbagai lembaga, komunitas, hingga organisasi non-pemerintah (NGO). Anak-anak diajak bermain, berinteraksi, dan melakukan aktivitas menyenangkan agar kembali merasakan ketenangan dan rasa aman.
Ketua IDAI, dr Piprim Basarah Yanuarso, menegaskan bahwa penanganan trauma pada anak tidak bisa disamakan dengan orang dewasa. Anak-anak membutuhkan pendekatan khusus yang sesuai dengan dunia mereka.
“Penanganan mental anak-anak ini sangat penting karena kedalaman trauma dan tingkat kematangan psikologis setiap anak berbeda-beda. Pendekatannya harus sesuai dengan usia dan kesenangan mereka,” ujar dr Piprim.
Ia menjelaskan, anak dengan kematangan psikologis yang baik cenderung lebih cepat pulih. Sebaliknya, anak yang belum matang secara psikologis membutuhkan pendampingan yang lebih intensif karena trauma yang dirasakan lebih mendalam.
Aktivitas bermain sederhana dinilai menjadi terapi efektif untuk membantu anak mengurangi rasa takut dan cemas. Bermain juga dapat memulihkan rasa aman, kepercayaan diri, serta menjadi sarana mengekspresikan emosi yang sulit diungkapkan secara verbal.
“Relawan dan tenaga kesehatan harus kreatif. Mengajak anak melipat kertas atau memberikan mainan kesukaan seperti tokoh superhero bisa memberi dampak positif,” tambahnya.
Selain bermain, aspek spiritual juga dinilai memiliki peran penting dalam proses pemulihan mental anak pascabencana. Menurut dr Piprim, pemulihan trauma anak membutuhkan kerja sama semua pihak, mulai dari tenaga kesehatan, relawan, keluarga, hingga masyarakat.
Dengan pendekatan yang tepat, penuh empati, dan berkelanjutan, diharapkan anak-anak korban bencana dapat kembali tumbuh sehat, baik secara fisik maupun mental.