TRIBUNMANADO.COM, Manado - Angka partisipasi kasar (APK) anak yang mengikuti Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Sulawesi Utara ternyata masih di bawah rata-rata nasional.
Hal itu dikatakan Benedicta Mokalu, konsultan PAUD Sulawesi Utara, dalam kegiatan bertajuk ‘Kampanye Wajib Belajar dan Penanganan ATS dalam rangka Pelaksanaan Wajib Belajar 13 Tahun’ di Ruang Rapat Balai Penjamin Mutu Pendidikan (BPMP) Provinsi Sulawesi Utara, Desa Pineleng Dua, Kecamatan Pineleng, Kabupaten Minahasa, Jumat (12/12/2025).
Dalam kegiatan yang dihadiri Kepala BPMP Sulut Febry Dien dan Pokja PAUD se-Sulawesi Utara itu, Mokalu membeberkan fakta.
Ia menyebut Yogyakarta ada di APK tertinggi senilai 67,63 (tertinggi). Sementara Sulut ada di posisi 33,32.
"Gorontalo ada di posisi 48,72 dan Papua Pegunungan 3,10 sebagai yang terendah. Sementara rata-rata nasional 36,10," ujarnya.
Ia menjelaskan, PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 6 (enam) tahun.
Pada masa itu, anak-anak diberi rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
PAUD dapat dilakukan secara formal, non-formal dan informal.
"Untuk yang formal Taman Kanak-kanak (TK) dan Taman Kanak-kanak Luar Biasa (TKLB), usia 4-6 tahun, dengan prioritas usia 5 dan 6 tahun. Sementara non-formal Kelompok Bermain (KB) usia 2-6 tahun dengan prioritas usia 3 dan 4 tahun. Juga Taman Penitipan Anak (TPA) sejak lahir sampai 6 tahun, dengan prioritas sejak lahir sampai usia 4 tahun. Untuk informal, keluarga dan masyarakat," jelas dia.
Ia menekankan bahwa PAUD memperoleh perhatian di tingkat global maupun nasional. Menurutnya dalam Sustainable Development Goals (SDGs) terdapat 17 tema sasaran. Akses dan kualitas pendidikan dan perkembangan anak usia dini menjadi salah satu target prioritas dari tema ke-4 tentang pendidikan yang berkualitas.
"PAUD dipandang penting sebagai persiapan anak sebelum ke jenjang pendidikan berikutnya. Pada Poin 4.2 disebutkan pada tahun 2030, harus ada jaminan bahwa semua anak perempuan dan laki-laki memiliki akses terhadap perkembangan dan pengasuhan anak usia dini, pengasuhan, pendidikan pra-sekolah dasar yang berkualitas, sehingga mereka siap untuk menempuh pendidikan," jelas dia.
Ia mengatakan, perhatian di tingkat nasional diberikan melalui salah satu agenda pemerintah ke depan yaitu program wajib belajar 13 tahun dengan PAUD 1 tahun (usia 5-6 tahun) sebelum Sekolah Dasar (SD)
"Program ini tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. Rencana mulai ditargetkan pada tahun ajaran 2025/2026. Program ini diharapkan dapat meningkatkan sumber daya manusia yang mumpuni (generasi emas) untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045," ujarnya.
Ia menjelaskan alasan PAUD begitu penting. Menurutnya, periode emas otak anak terjadi pada usia 0-5 tahun atau lima tahun pertama kehidupan anak). Pada usia ini, otak anak berkembang dengan sangat cepat. Lebih dari 90 persen bentuk dasar otak terbentuk di masa ini, masa sebelum mereka memasuki SD. Otaknya akan sibuk dengan membangun neuron baru (sel saraf) antara 1.000 hingga 1 juta per detik.
Aktivitas otak yang sangat aktif ini memungkinkan anak untuk belajar dengan cepat, termasuk mengingat dan memahami. Sehingga apa yang anak dengar, lihat, rasakan dapat sangat memengaruhi cara mereka berkomunikasi, berpikir, berinteraksi.
"Respons orangtua ketika anak sedang kesal memengaruhi cara anak mengelola emosi di kemudian hari, apakah anak bisa berempati, apakah anak mudah tantrum," jelas dia.
Baginya, PAUD pada periode ini menjadi wadah bermain dan belajar untuk mengoptimalkan pertumbuhan anak di masa emas otaknya. PAUD memberikan berbagai bekal keterampilan kognitif, motorik dan sosial-emosional pada anak.
Kognitif (kemampuan berpikir) dikembangkan melalui belajar mengenal warna, benda dan huruf, menyusun puzzle sederhana, dan sebagainya. Motorik dikembangkan melalui aktivitas yang melibatkan gerakan berlari, memasukkan balok ke lubang sesuai bentuknya, menempelkan kertas, bertepuk tangan, dan mengangkat tangan. Sosial-emosional dikembangkan melalui belajar berteman, belajar mengungkapkan apa yang dirasakan, dan belajar merespons teman yang dalam kondisi emosional tertentu.
"Dengan demikian, PAUD memperkuat fondasi untuk pembelajaran dan kesuksesan anak ke depan, termasuk meningkatkan kesiapan anak untuk memasuki sekolah dasar," ujarnya.
Ia memaparkan risiko bagi anak yang tidak ikut PAUD. Menurutnya, hasil studi Longitudinal Perry Preschool hingga usia 40 tahun menunjukkan bahwa PAUD memberi manfaat bagi anak hingga dewasa.
Ada manfaat dalam berbagai aspek seperti pendidikan, ekonomi, mencegah kriminalitas, hubungan keluarga, dan kesehatan.
Dalam aspek pendidikan, PAUD dapat meningkatkan berbagai indikator pendidikan dari usia dini hingga dewasa muda seperti tingkat kelulusan SMA yang lebih tinggi, mengurangi potensi pengulangan kelas dan gangguan mental, kemampuan bahasa, kognitif, literasi dan prestasi belajar yang lebih baik, sikap yang lebih positif terhadap sekolah.
Dalam aspek ekonomi, PAUD dapat memperbaiki kondisi ekonomi anak saat sudah dewasa, anak yang mengikuti PAUD memiliki penghasilan yang lebih tinggi (manfaat ekonomi kelak ketika anak masuk dunia kerja), tingkat pengangguran yang lebih rendah, aset yang lebih banyak (punya rumah sendiri, memiliki mobil, memiliki tabungan), memiliki ketergantungan terhadap bantuan pemerintah yang lebih rendah.
Dalam aspek kriminalitas, anak yang mengikuti PAUD memiliki tingkat kriminalitas yang lebih rendah seperti kejahatan properti, kejahatan kekerasan, penangkapan narkoba.
Dalam aspek keluarga dan kesehatan, anak yang mengikuti PAUD memiliki hubungan yang lebih baik dengan keluarga dan memiliki tingkat penggunaan zat terlarang lebih rendah.
"Manfaat PAUD baik jangka pendek maupun jangka panjang bagi anak dan masyarakat atau negara di kemudian hari inilah yang memperkuat alasan kenapa wajib belajar 13 tahun (1 tahun PAUD) penting untuk direalisasikan," ujarnya.
Meskipun begitu, baginya terdapat salah satu tantangan yang perlu ditangani dalam rangka mewujudkan wajib belajar 13 tahun (satu tahun PAUD) yaitu tingkat partisipasi anak di PAUD dan peran orang tua
"Langkah Bunda dan Pokja PAUD dalam isu ini adalah membuat program penguatan peran orang tua yang akan atau sedang memiliki anak usia dini," ujarnya. (*)