TRIBUNKALTIM.CO - Dewan Pengupahan Kota Samarinda resmi menyepakati usulan besaran Upah Minimum Kota (UMK) Samarinda tahun 2026 dalam rapat pleno yang digelar di Kantor Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Samarinda, Senin (22/12/2025).
Kesepakatan tersebut diambil berdasarkan hasil perhitungan bersama yang melibatkan unsur pemerintah, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), serta serikat pekerja/buruh.
Penetapan UMK Samarinda 2026 mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2025 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
Dalam rapat tersebut, UMK Samarinda tahun 2026 diusulkan sebesar Rp3.983.881,50.
Angka ini mengalami kenaikan Rp259.444,30 atau sekitar 6,97 persen dibandingkan UMK tahun 2025 yang berada di angka Rp3.724.437,20.
Baca juga: UMK Berau 2026 Sebesar Rp4,39 Juta, Berikut Pandangan Apindo dan Buruh
Kepala Disnaker Kota Samarinda, Yuyum Puspitaningrum, mengungkapkan bahwa proses penetapan UMK tahun 2026 berlangsung cukup alot.
Ia menyebutkan, pada rapat sebelumnya yang digelar Jumat lalu, pembahasan sempat mengalami jalan buntu.
“Pihak Apindo awalnya bersikeras pada penggunaan indeks alfa 0,5 dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi tahun 2025 yang melambat.
Sementara itu, serikat pekerja menginginkan indeks alfa 0,9 yang berpotensi menghasilkan UMK di atas Rp4 juta,” ujar Yuyum usai memimpin rapat.
Melihat perbedaan pandangan tersebut, Pemerintah Kota Samarinda kemudian mengambil peran sebagai penengah.
Setelah melalui kajian realistis dan mempertimbangkan data Badan Pusat Statistik (BPS) serta pertumbuhan ekonomi tahun 2024 yang mencapai 8,66 persen, disepakati penggunaan indeks alfa sebesar 0,60.
Di tengah berlangsungnya rapat pleno, sejumlah perwakilan dari lima serikat pekerja, termasuk BMI dan Komura, mendatangi kantor Disnaker untuk menyampaikan aspirasi secara langsung.
Selain menuntut kenaikan upah, para buruh juga meminta agar sektor perkayuan dimasukkan dalam sektor Upah Minimum Sektoral Kota (UMSK) Samarinda.
“Kami menerima aspirasi tersebut. Selain UMK, tuntutan mengenai sektor perkayuan juga menjadi catatan penting untuk dibahas lebih lanjut,” tambah Yuyum.
Yuyum menjelaskan, rapat pleno yang digelar hari ini merupakan batas akhir bagi pemerintah kabupaten/kota untuk menyampaikan rekomendasi UMK kepada Gubernur Kalimantan Timur.
Keterbatasan waktu tersebut membuat Dewan Pengupahan harus segera mengambil keputusan agar rekomendasi Wali Kota Samarinda dapat segera dikirimkan.
“Hari ini merupakan hari terakhir pelaporan ke gubernur. Alhamdulillah, seluruh pihak akhirnya sepakat dengan angka Rp3,98 juta. Selanjutnya, keputusan akhir berada di tangan gubernur untuk ditetapkan secara resmi,” pungkasnya.
Sementara itu, ratusan buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja (FSP) Kahutindo Samarinda menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Disnaker Kota Samarinda pada hari yang sama.
Aksi tersebut membawa dua tuntutan utama menjelang penetapan UMK Samarinda 2026.
Pantauan di lapangan, para demonstran membawa spanduk, selebaran tuntutan, bendera serikat buruh, serta satu unit mobil komando yang dilengkapi pengeras suara.
Massa buruh juga memadati Jalan Basuki Rahmat di depan Kantor Disnakertrans Samarinda, sehingga menyebabkan kemacetan arus lalu lintas.
Ketua DPC FSP Kahutindo Samarinda, Sukarjo, menyatakan bahwa pihaknya menolak angka kenaikan UMK yang dinilai masih rendah.
Selain itu, buruh juga menuntut transparansi dan keadilan dalam penggunaan variabel indeks alfa dalam formula pengupahan.
Tuntutan pertama yang disuarakan adalah penggunaan indeks alfa 0,7 sebagai titik keseimbangan antara kepentingan buruh dan pengusaha.
Sukarjo menilai, sesuai PP Nomor 49 Tahun 2025, rentang indeks alfa berada pada angka 0,50 hingga 0,90.
“Jika ingin bersikap adil dan moderat, maka angka tengahnya adalah 0,7. Kami meminta agar pembahasan UMK 2026 tidak terpaku pada indeks alfa minimal 0,50,” tegas Sukarjo.
Tuntutan kedua adalah pengaktifan kembali Upah Minimum Sektoral (UMS) untuk industri kayu lapis.
Menurut Sukarjo, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168 Tahun 2023 dan PP Nomor 49 Tahun 2025, upah sektoral wajib dihidupkan kembali.
Ia menjelaskan, sektor industri kayu lapis di Samarinda telah memenuhi empat syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 35B ayat (2) PP Nomor 49 Tahun 2025.
Sektor tersebut masuk dalam klasifikasi KBLI lima digit, yakni KBLI 16211, memiliki lebih dari satu perusahaan besar, tergolong industri menengah hingga besar, serta memiliki tingkat risiko kerja yang tinggi.
“Perusahaan kayu lapis di Samarinda antara lain PT Orimba Alam Kreasi di Loa Janan dan PT Kelamur di Loa Buah. Kami memprotes keras jika upah sektoral kayu lapis tidak dimasukkan, karena aturan lama sudah tidak relevan dan tidak lagi berlaku,” tandasnya.
Pengamat ekonomi Universitas Mulawarman, Purwadi Purwoharsojo menilai penetapan Upah Minimum Kota (UMK) Samarinda tahun 2026 masih belum layak dengan kondisi ekonomi saat ini.
Dia menyoroti hasil kesepakatan UMK Kota Tepian hari ini yang menunjukkan kenaikan sebesar Rp259.444,30 atau sekitar 6,97 persen.
UMK 2026 mencapai Rp3.983.881,50, naik dari UMK 2025 yang sebesar Rp3.724.437,20.
Meski ada kenaikan, Purwadi menilai angka tersebut masih belum cukup mengimbangi tingginya biaya hidup di Kalimantan Timur saat ini.
"Kalau Rp3 juta atau di bawah Rp4 juta di Kaltim itu tidak cukup untuk hidup layak," ujar Purwadi, kepada Tribun Kaltim, Senin (22/12/2025) malam.
Menurut dia, kondisi UMK yang masih belum memadai ini memunculkan fenomena terkurasnya tabungan masyarakat. Bahkan kelas menengah sudah mulai merasakan dampaknya.
Dalam kondisi seperti ini, masyarakat dihadapkan pada pilihan sulit untuk mengencangkan ikat pinggang dan memetakan ulang skala prioritas dalam kehidupan sehari-hari.
"Masyarakat tidak punya pilihan, mereka harus mengatur skala prioritas ke depan dengan nominal UMK yang segitu. Yang penting-penting saja dibelanjakan, dan kalau bisa perkuat tabungan," ujarnya.
Purwadi memperingatkan, jika kenaikan UMK tidak mampu mengejar laju kenaikan biaya hidup, tekanan finansial terhadap pekerja akan terus berlanjut dan berisiko menurunkan daya beli masyarakat secara keseluruhan.
Oleh karena itu, Purwadi menekankan pentingnya penetapan upah minimum yang berbasis pada kebutuhan riil masyarakat, bukan sekadar perhitungan persentase kenaikan.
Menurutnya, ada tiga komponen dasar yang harus menjadi patokan, ditambah akses terhadap kesehatan dan pendidikan yang memadai, agar upah benar-benar bisa menjamin kehidupan yang layak.
"Upah layak harusnya terukur dengan terpenuhinya hidup layak dengan 3 hal dasar papan (rumah), sandang (pakaian), pangan (makanan), plus dengan kesehatan, pendidikan semuanya harusnya layak sesuai dengan kondisi daerah masing-masing di Indonesia," pungkasnya.
(TribunKaltim.co gre/ray)