Oleh: Umbu TW Pariangu
Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana Kupang, Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) baru memperingati HUT-nya ke-67. Waktu yang tak sedikit dalam pengarungan pembangunan NTT.
Gubernur NTT Melki Lakalena adalah tangan yang kesembilan mengemudi NTT, sekaligus melanjutkan warisan berat mencapai kesejahteraan yang kian rumit dan kompleks.
Kalau menyitir data BPS (2025) Negeri Flobamora ini masih bergulat dengan besarnya angka kemiskinan (misalnya rilis BPS NTT menyebut 19,02 persen atau kurang lebih 1,11 juta orang miskin) pada September 2024, di mana kemiskinan perdesaan 23,02 persen sedangkan di perkotaan 8,11 persen.
Baca juga: Opini: Kelahiran Yesus Menyelamatkan Keluarga
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTT 2024 masih di level menengah dan belum merata: 69,14 (naik dari 68,40), umur harapan hidup 71,83 tahun, Gini Ratio NTT September 2024 = 0,3155 (kategori rendah).
Prevalensi stunting 2024 sebanyak 17,07 persen, menunjukkan masih rapuhnya kesejahteraan antar-generasi.
Sedangkan tingkat pengangguran terbuka (TPT) per-Agustus 2025 sebanyak 3,31 persen (naik 0,29 poin dibandingkan 2024).
Tantangan ekstraktif pembangunan NTT bukan soal langkanya pekerjaan semata, tapi juga perihal keterbatasan penciptaan kerja produktif dan upah layak untuk menstimulus pendapatan rumah tangga dan menurunkan angka kemiskinan.
Hampir setahun kepemimpinan Melki-Johni mengerjakan sekaligus berupaya menyembuhkan narasi patologis tersebut. Tentu butuh strategi kemudi dengan energi yang kuat dan visioner.
Namun visi yang kuat hanya akan aplikatif jika mampu diterjemahkan dalam kerja berbasis pada pemenuhan ruang-ruang paling riil kehidupan warga.
Karenanya orientasi kepemimpinan paling kontekstual untuk NTT bukan sebatas bagaimana menginspirasi perubahan, melainkan bagaimana mengkontekstualisasi perubahan itu pada level praksis yang dekat dengan masyarakat: menjawab kebutuhan layanan publik, perlindungan dan pemberdayaan khususnya kelompok masyarakat rentan.
Sejak 2000-awal saya selalu menekankan dibutuhkannya kepemimpinan melayani (servant leadership) untuk NTT.
Secara evolutif-teoritif, gagasan ini sudah lahir pra-1970 oleh Greenleaf, di mana kempemimpinan jenis ini bukan sekadar gaya personal tapi harus menjadi etos kelembagaan.
Tahun 1990-an Larry C Spears mengoperasionalisasi konsep tersebut menjadi: mendengar, empati, peka, persuasif, berpikir jauh ke depan, membangun komunitas, yang oleh Laub dikembangkan menjadi model teoritik.
Tak hanya itu, Liden dkk mengembangkan gaya kepemimpinan ini --di luar kepemimpinan transformatif—yang membakukan aspek perilaku dan kinerja.
Muncullah konsep seperti Servant Leadership behaviour Scale yang antara lain menekankan moralitas serta orientasi pelayanan yang holistik. Kemudian di era mutakhir diekstrapolasi sebagai gaya kepemimpinan berbasis kebutuhan pengikut hingga kolaboratif antar-pemangku kepentingan (Canavesi & Minelli, 2022).
Intinya, kepemimpinan melayani prioritasnya menjangkau kelompok lemah (pemenuhan air bersih, kesehatan, pendidikan, akses paangan, sarana produksi). Bukan proyek tangible yang nampak tapi tidak berdampak pada rakyat miskin.
Karenanya, kepemimpinan demikian selalu menafikan model-model patronase dengan berorientasi pada produk program yang lebih tepat sasaran.
Ini penting untuk membangun kepercayaan publik dan membangun kemelekatan emosi dan tanggung jawab (rasa memiliki) antar warga dan berbagai program pembangunan daerah.
Daya ungkitnya ada pada kerja lintas-aktor (kolaborasi desa-kabupaten-provinsi-gereja/LSM-komunitas).
Dengan kata lain, kepemimpinan melayani langsung menyentuh jantung persoalan masyarakat dan memproduksi manfaat pada pengentasan kemiskinan.
Kepemimpinan ini bisa mengatasi kemiskinan --bahkan pada konteks birokrasi yang belum transformatif sekalipun-- karena model kepemimpinan ini beroperasi langsung pada ruag-ruang persoalan yang terdekat dan konkret dengan warga, misalnya menekan beban administrasi, memperbaiki ketepatan sasaran program, menutup kebocoran layanan, dll sehingga implikasi kebijakan pro-poor bisa langsung nyata, bahkan sebelum reformasi struktural diungkit.
Di sini kepemimpinan melayani bisa memakai jalur pendek (short route to impact): tanpa menunggu kelembagaannya berubah secara besar-besaran.
Salah satu strategi yang bisa diterapkan, gubernur melakukan kontrak kinerja pro-poor dengan kepala dinas/camat dalam cakupan waktu tertentu (mis: 6 bulan) dengan indikator kinerja misalnya: berapa KK miskin sudah bisa mengakses air bersih, berapa keluarga miskin terverifikasi mendapatkan bantuan sosial, percepatan kaulitas layanan ibu hamil, imunisasi, gizi, operasi pasar murah berbasis data desa rawan.
Perlu diperkuat efektivitas kanal pengaduan resmi satu pintu, di mana berbagai keluhan warga (soal layanan kesehatan, bansos, air bersih, jalan) terintegrasi dan harus direspons oleh pemerintah paling lambat 72 jam sejak aduan diterima, dan disertai dengan publikasi statistik: data rinci waktu-respons per aduan, berapa persen yang selesai kurang dari 72 jam, bukti output per kasus.
Intinya ada target terukur sebagai acuan evaluasi sekaligus memotong kebiasaan birokrasi yang doyan bekerja berbasis output dokumen, bukan dampak nyata.
Untuk konteks NTT yang masih diselimuti kemiskinan struktural, kepemimpinan transformatif yang berorientasi visi makro kurang kontekstual --karena bisa berhenti pada retorika dan dokumen kebijakan-- manakala tidak dibarengi orientasi pelayanan lewat kecepatan pemerintah memberikan layanan dasar untuk masyarakat paling rentan: mendengarkan warga, memotong beban administrasi, memastikan bantuan tepat sasaran, memperluas akses air bersih dan layanan kesehatan, pendidikan.
Sekali lagi, dirgahayu NTT ke-67! (*)