TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Kepala Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PSAD) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof. Masduki, menilai tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) terhadap Laras Faizati mencerminkan adanya persoalan serius dalam cara berpikir aparat penegak hukum.
Laras Faizati sebelumnya dituntut pidana penjara selama satu tahun atas tuduhan menghasut massa untuk melakukan tindakan anarkistis.
Usai sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (24/12/2025), Laras menyatakan tuntutan tersebut tidak adil dan menegaskan bahwa apa yang ia lakukan merupakan bentuk ungkapan kemarahan, kekecewaan, dan kesedihannya atas meninggalnya Affan Kurniawan.
“Aku telah direncana untuk dituntut selama satu tahun. Rasanya sangat amat tidak adil, hanya karena saya seorang masyarakat, seorang perempuan yang mengekspresikan, bersuara tentang kekecewaan saya dan kemarahan dan juga kesedihan yang saya rasakan melihat peristiwa yang sangat nahas, yaitu meninggalnya almarhum Affan Kurniawan di tangan kepolisian, yaitu instansi yang seharusnya melindungi kita,” tutur Laras.
Menanggapi hal tersebut, Prof Masduki mengatakan bahwa perkara Laras kini telah memasuki tahap proses peradilan, namun justru memperlihatkan problem mendasar di kalangan aparat penegak hukum.
“Pertama ini kan berarti sudah masuk tahap di proses peradilan ya. Nah jadi ada persoalan serius di sini ya, yaitu yang kita bisa sebut sebagai sesat pikir itu,” kata Prof. Masduki saat dihubungi Tribun Jogja, Kamis (25/12/2025).
Baca juga: PSAD UII Sebut Pembubaran Diskusi dan Bedah Buku di Madiun Berlawanan dengan Konstitusi
Ia menilai terdapat kesalahan cara berpikir dari aparat peradilan dalam memahami kasus ini.
Sesat pikir tersebut telah lama menggejala karena aparat tidak sepenuhnya independen.
“Nah sesat pikir ini kan sudah lama nih mengejala di aparat penegak hukum karena mereka mengikuti atau mengalami ya penormalan dari kekuasaan yang di atasnya. Jadi artinya kan mereka tidak independen sebetulnya dari apa yang menjadi kehendak Presiden, atau dalam hal ini juga Kapolri,” katanya.
Ia menegaskan, jika aparat berpikir secara rasional, maka kasus Laras seharusnya tidak dibawa ke ranah pidana.
Sebab kasus ini bermula dari warga negara yang menyampaikan kebebasan berekspresi dengan mengkritik kinerja polisi, yang itu harusnya bukan dituntut.
Prof Masduki juga menyinggung wacana restorative justice terhadap Laras, namun menyatakan ketidaksetujuannya.
“Kan restorative justice itu kan artinya ada pengakuan kesalahan dulu dari Larasati gitu. Yang kemudian nanti polisi memberikan atau dalam hal ini pihak-pihak yang dirugikan dipertemukan lalu dinyatakan ada perdamaian kasusnya selesai,” katanya.
Menurut dia, langkah yang lebih tepat adalah penghentian proses hukum.
Ia juga menolak anggapan bahwa unggahan di media sosial Laras berkaitan langsung dengan terjadinya kerusuhan.
Kemudian, kerusuhan merupakan peristiwa yang kompleks. Prof. Masduki menyimpulkan, terdapat dua bentuk sesat pikir dalam kasus ini.
“Jadi jadi kira-kira begini ada dua sesat pikir dalam hal ini yaitu penggunaan instrumen hukumnya atau penggunaan KUHP-nya itu sendiri yang harusnya adalah bukan melakukan kriminalisasi tapi melakukan apa proteksi dan pembebasan,” katanya.
“Yang kedua sesat pikir dari analisa yang melompat, yang menghubungkan antara postingan di medsos dengan kerusuhan itu nggak ada hubungannya,” lanjutnya.
Ia pun menyatakan keprihatinannya atas tuntutan yang diajukan jaksa.
“Nah sehingga menurut saya ketika ada tuntutan ini kita prihatin artinya problem sesat pikir di aparat penegak hukum khususnya kejaksaan itu ternyata masih belum sembuh dan kalau ini kita khawatir kalau ini juga kemudian direspon oleh hakim dengan logika yang sama maka peradilan ini namanya peradilan sesat gitu loh,” tukasnya. (*)