Jakarta VS Palembang : Membandingkan Tata Kota Jakarta yang Padat dan Palembang yang Terbelah Sungai
December 25, 2025 06:27 PM

SRIPOKU.COM - Meski terpisah jarak ratusan kilometer, Jakarta dan Palembang memiliki satu kesamaan fundamental: keduanya adalah kota yang tumbuh dari air. 

Namun, jika kita melihat lebih dalam dari sisi geografis dan perencanaan kota, keduanya menghadapi realitas yang sangat berbeda.

Perbedaan ini pada akhirnya memaksa kedua kota untuk mengambil langkah perencanaan yang berbeda dalam mengelola ruang publik dan mobilitasnya.

Baca juga: Adu Macet Palembang vs Jakarta: Mengapa Infrastruktur Canggih Belum Jadi Solusi Ampuh?

Jakarta kini berfokus pada upaya penyelamatan daratan dari ancaman tenggelam sekaligus mengurai kemacetan melalui integrasi transportasi yang sangat masif. 

Di sisi lain, Palembang menghadapi tantangan besar dalam menghubungkan dua wilayah utamanya, Seberang Ulu dan Seberang Ilir, guna memastikan pertumbuhan ekonomi tidak hanya terkonsentrasi di satu sisi sungai saja. 

Strategi tata kota yang diambil pun menjadi cermin dari upaya masing-masing kota untuk beradaptasi dengan kondisi alamnya.

Baca juga: Bedah Strategi Palembang vs Makassar Menggerakkan Ekonomi Lewat Aset Publik dan Infrastruktur Modern

Tantangan Geografis: Penurunan Tanah vs Ekosistem Rawa

Jakarta kini berada dalam bayang-bayang krisis ruang.

Berdasarkan laporan Badan Geologi Kementerian ESDM, Jakarta mengalami land subsidence atau penurunan muka tanah yang ekstrem, terutama di wilayah Utara.

Hal ini diperparah dengan kondisi topografi Jakarta yang berupa dataran aluvial dengan 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta.

Di sisi lain, Palembang memiliki tantangan unik sebagai "Kota Rawa".

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Palembang mencatat bahwa sebagian besar wilayahnya berada di ketinggian rata-rata 8 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Jika Jakarta berjuang melawan penurunan tanah, Palembang berjuang mempertahankan daerah resapan air.

Alih fungsi rawa menjadi pemukiman, menurut studi dari Universitas Sriwijaya, menjadi faktor utama mengapa banjir sering terjadi meski Sungai Musi sedang tidak meluap.

Tata Kota: Integrasi TOD vs Konektivitas Sungai

Dari aspek tata kota, Jakarta kini bertransformasi menjadi metropolitan yang berorientasi pada angkutan umum.

Merujuk pada strategi Kementerian ATR/BPN dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Jakarta sangat gencar mengadopsi konsep Transit Oriented Development (TOD).

Kehadiran MRT, LRT, dan TransJakarta yang terintegrasi di titik-titik pusat pertumbuhan menjadi bukti nyata upaya memecah kepadatan penduduk.

Palembang sebaliknya, adalah kota yang strukturnya dibelah oleh kemegahan Sungai Musi.

Secara tata ruang, Palembang memiliki karakter linear city yang mengikuti aliran sungai.

Namun, tantangan terbesarnya adalah bottleneck atau penyempitan arus lalu lintas.

Berbeda dengan Jakarta yang memiliki banyak jaringan jalan tikus, mobilitas Palembang sangat bergantung pada jembatan.

Laporan TomTom Traffic Index pernah menyoroti bagaimana ketergantungan pada titik-titik penyeberangan ini membuat indeks kemacetan Palembang di jam sibuk bisa sangat tinggi.

Transportasi Publik: Pionir LRT di Indonesia

Menariknya, Palembang sempat mengungguli Jakarta dalam hal transportasi modern dengan mengoperasikan LRT pertama di Indonesia pada 2018.

Menurut laporan Kementerian Perhubungan, LRT Sumsel bertujuan menjadi tulang punggung transportasi massa. Namun, tantangan di Palembang lebih pada last mile connectivity, bagaimana warga mencapai stasiun dari rumah mereka, masalah yang juga dihadapi Jakarta namun dengan solusi integrasi mikrotrans yang lebih mapan.

Menuju Masa Depan Berkelanjutan

Masa depan kedua kota ini bergantung pada bagaimana mereka berdamai dengan air.

Jakarta dengan proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) atau tanggul laut raksasa, dan Palembang dengan upaya revitalisasi fungsi rawa dan waterfront city di pinggiran Musi.

Keduanya menunjukkan bahwa pembangunan perkotaan di Indonesia tidak bisa menggunakan satu cetakan yang sama.

Geografi lokal tetap menjadi penentu utama bagaimana sebuah kota seharusnya dibangun dan dikelola.***

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.