Laporan Wartawan TribunPriangan.com, Ai Sani Nuraini
TRIBUNPRIANGAN.COM, CIAMIS – Isu bencana alam tak bisa lagi dipahami semata sebagai peristiwa alamiah, dalam perspektif kebudayaan, bencana justru merupakan akumulasi dari ulah manusia yang mengabaikan keseimbangan dengan alam.
Pandangan tersebut mengemuka dalam diskusi budaya bertema "Menggali Kembali Kearifan Lokal Sunda Sebagai Solusi Krisis Lingkungan Global" yang digelar dalam rangkaian Pameran Foto Sakakala oleh LKBN Antara, di Situs Budaya Karangkamulyan, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis, Kamis (25/12/2025).
Salah satu narasumber, seorang penulis sekaligus akademisi di Universitas Siliwangi, Bode Riswandi menegaskan, kearifan lokal yang hidup di berbagai wilayah Nusantara sejatinya merupakan panduan etis yang diwariskan para leluhur untuk menjaga harmoni antara manusia dan alam.
“Bencana hari ini sering disebut bencana alam, padahal kalau ditelusuri, itu lebih banyak akibat dari perbuatan manusia. Misalnya gelondongan kayu yang bisa menutup satu kabupaten, itu tidak mungkin terjadi tanpa ada campur tangan manusia,” ujar Bode dalam sesi wawancara.
Baca juga: Libur Nataru, Pameran Foto Sakakala Hadir di Karangkamulyan Ciamis, Suguhkan Jejak Budaya Sunda
Menurutnya, bencana yang terjadi di suatu daerah tidak bisa lagi dilihat sebagai persoalan lokal semata.
Kerusakan alam di satu wilayah pada akhirnya berdampak luas dan menjadi bencana umat manusia.
Ia menjelaskan bahwa mitos, legenda, hingga ajaran adat yang kerap dianggap kuno justru lahir sebagai bentuk komunikasi ekologis antara manusia dan alam.
Ketika nilai-nilai tersebut diabaikan, maka ketidakseimbangan akan bermuara pada bencana.
“Hari ini kita bicara bagaimana membangun kesadaran kolektif. Politikus dengan kebijakan yang melindungi alam dan budayawan dengan perspektif kebudayaan. Alam jangan terus-menerus dijadikan objek eksploitasi,” katanya.
Baca juga: BREAKING NEWS! Tebing di Jalur Cadas Pangeran Sumedang Longsor, Kamsi Sore, Ada Videonya
Bode juga menekankan pentingnya pendidikan berbasis kearifan lokal, khususnya bagi generasi muda di era digital.
“Generasi hari ini (generasi alpha) cepat menyerap informasi, tapi kalau tidak dibekali nilai kearifan, itu bisa menjadi bahaya laten. Kurikulum harus menjadi pintu awal untuk mengenalkan alam sebagai penopang kehidupan manusia,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Dewan Kebudayaan Kabupaten Ciamis, Yat Rospia Brata yang juga menjadi narasumber dalam acara tersebut menyampaikan bahwa diskusi tersebut merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Pameran Sakakala yang tidak hanya menampilkan karya fotografi, tetapi juga menghadirkan ruang dialog lintas disiplin.
“Rangkaian Sakakala ini bukan hanya pameran foto, tapi juga ada helaran budaya, pertunjukan seni tradisi seperti lais dan debus, serta diskusi yang mengaitkan budaya dengan fenomena aktual, termasuk bencana,” katanya.
Ia menambahkan, leluhur Sunda sejatinya telah meninggalkan banyak rambu-rambu ekologis dalam bentuk naskah, prasasti, dan aturan adat mengenai tata kelola alam.
“Dalam tradisi Sunda dikenal konsep leuweung larangan, leuweung tutupan, hingga leuweung baladahan. Itu semua mengatur bagaimana manusia memperlakukan hutan, tanah, dan air secara bijak,” ujarnya.
Menurutnya, pengabaian terhadap nilai-nilai tersebut membuat manusia menjauh dari prinsip keseimbangan alam.
Padahal, semangat menjaga harmoni dengan alam sudah lama tertanam dalam kebudayaan Sunda.
“Sekarang orang bicara back to nature. Padahal leluhur kita sejak dulu sudah mengajarkannya. Tinggal bagaimana kita mau kembali belajar dan menghargainya,” pungkasnya.(*)