TRIBUN-MEDAN.com - Seorang perempuan mengurungkan niatnya untuk rujuk dengan mantan suami sesaat sebelum menandatangani dokumen pernikahan ulang di kantor kelurahan.
Keputusan itu diambil setelah ia menerima panggilan telepon yang mengungkap fakta mengejutkan mengenai kondisi mantan suaminya.
Dikutip dari Eva.vn Jumat (26/12/2025), peristiwa tersebut terjadi ketika perempuan itu sudah berdiri di kantor kelurahan dan hampir membubuhkan tanda tangan pada berkas administrasi rujuk.
Ia mengaku tidak pernah menyangka akan kembali berada di tempat yang sama untuk kedua kalinya bersama pria yang sama, namun dengan perasaan yang sudah jauh berbeda.
Jika pada kunjungan pertama ia datang dengan harapan dan rasa gugup, kali ini yang tersisa hanyalah kelelahan dan keraguan.
Perempuan itu menceritakan bahwa ia mengenal mantan suaminya melalui perkenalan dari orang lain. Hubungan mereka bukanlah kisah cinta yang penuh gairah, melainkan didasari pertimbangan logis.
Ia menilai pria tersebut sebagai sosok yang lembut, memiliki pekerjaan tetap, bersikap sopan, dan memperlakukannya dengan baik. Dengan dorongan usia, desakan orang tua, serta keinginan untuk memiliki kehidupan yang stabil, mereka akhirnya memutuskan menikah.
Pada awal pernikahan, kehidupan rumah tangga berjalan relatif tenang. Pasangan itu tinggal bersama ibu sang suami yang telah pensiun dan dikenal berkepribadian baik serta mudah bergaul.
Selama bekerja, urusan rumah tangga sebagian besar ditangani oleh ibu mertua. Ketika perempuan itu hamil, perhatian yang diberikan justru semakin besar demi menjaga kondisi kehamilan. Ia bahkan merasa beruntung memiliki ibu mertua yang perhatian dan penuh kasih.
Saat melahirkan anak laki-laki, seluruh proses perawatan dilakukan oleh ibu mertua, mulai dari persiapan hingga masa pemulihan pascapersalinan.
Selama sebulan penuh, kebutuhan makan dan istirahatnya diperhatikan dengan saksama. Kedekatan tersebut membuatnya menganggap ibu mertua sebagai ibu kandung sendiri.
Namun keharmonisan itu tidak bertahan lama. Suaminya mulai terlibat dalam perjudian. Awalnya hanya sesekali, namun lama-kelamaan kebiasaan tersebut semakin parah. Ia sering pulang larut malam dan kondisi keuangan keluarga pun memburuk tanpa penjelasan yang jelas.
Setiap kali ditanya, sang suami bersikap emosional, sementara janji untuk berubah tidak pernah terealisasi.
Pertengkaran dalam rumah tangga pun semakin sering terjadi. Perempuan itu mengaku kerap menangis di malam hari sambil memeluk anaknya, mempertanyakan kesalahan yang mungkin telah ia perbuat.
Meski sempat bertahan demi anak dan ibu mertua, situasi semakin tidak terkendali ketika utang sang suami menumpuk dan ketenangan keluarga hilang sepenuhnya. Akhirnya, ia memutuskan untuk bercerai.
Saat menandatangani surat perceraian di kantor kelurahan, perempuan tersebut tidak menerima nafkah anak maupun permintaan maaf dari mantan suaminya. Ibu mertua menjadi pihak yang paling terpukul dan menyampaikan permintaan maaf karena merasa gagal mendidik anaknya.
Pasca perceraian, perempuan itu membesarkan anaknya seorang diri. Ia bekerja di siang hari dan mengurus anak pada malam hari. Meski melelahkan, kehidupan terasa lebih tenang.
Hubungan dengan ibu mertua tetap terjaga, bahkan mantan ibu mertuanya masih rutin mengunjungi cucunya dan memperlakukannya seperti anak sendiri.
Sementara itu, mantan suaminya sesekali datang menjenguk anak. Seiring waktu, pria tersebut mengaku telah menyadari kesalahannya dan ingin memperbaiki keadaan demi memberikan keluarga yang utuh bagi anak mereka.
Dorongan dari orang tua perempuan itu pun membuatnya mempertimbangkan rujuk kembali.
Setelah melalui pertimbangan panjang, ia akhirnya setuju mengurus proses rujuk. Namun tepat saat hendak menandatangani dokumen, ia menerima telepon dari ibu mertua yang mengungkap bahwa mantan suaminya masih memiliki banyak utang akibat perjudian dan bahkan didatangi penagih utang.
Mendengar hal itu, perempuan tersebut terdiam. Mantan suaminya berusaha meyakinkan dan meminta kepercayaan sekali lagi, namun kelelahan emosional membuatnya mengambil keputusan berbeda. Ia meletakkan pena, meninggalkan kantor kelurahan, dan membatalkan niat rujuk.
Ia menyadari bahwa keluarga yang utuh bukan sekadar kehadiran ayah dan ibu, melainkan rasa aman dan ketenangan.
Ia memilih membesarkan anak dalam kondisi sederhana namun stabil, daripada kembali pada kehidupan yang dipenuhi utang, kebohongan, dan ketidakpastian. Keputusan itu diambil bukan karena hilangnya cinta semata, melainkan demi mencintai diri sendiri dan anaknya dengan lebih bijak.
(cr31/tribun-medan.com)