Harmoko menjadi salah satu sosok penting dalam pemerintahan Orde Baru era Soeharto. Setelah Orde Baru tumbang, dia termasuk yang kehilangan jabatan.
Intisari-Online.com -Harmoko adalah salah satu sosok sentral dalam pemerintahan Orde Baru, terutama di satu dekade terakhir pemerintahan itu. Terhitung 14 tahun dia menjadi Menteri Penerangan.
Harmoko adalah Ketua DPR/MPR RI di pengujung rezim Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun. Harmoko dikenal sebagai sosok Orang Dekat sekaligus tokoh yang meminta Soeharto agar mundur dari jabatan presiden pada masa krisis moneter 1998.
Jejak karier Harmoko dimulai dari seorang jurnalis hingga menjadi politikus terkenal bangsa Indonesia. Jejak pergulatannya di dunia wartawan selama 23 tahun mengantarkannya menjadi Menteri Penerangan zaman Presiden Soeharto.
Tak hanya itu, Harmoko juga menjadi politikus dan Ketua MPR RI yang sekaligus meminta Soeharto mundur dari jabatan presiden karena desakan rakyat Indonesia kala krisis ekonomi moneter.
Harmoko menjadi Menteri Penerangan Republik Indonesia pada era Orde Baru selama 3 periode berturut-turut dari tahun 1983 hingga tahun 1997. Selain itu, pria kelahiran Nganjuk, Jawa Timur, itu pada tanggal 7 Februari 1939 itu juga pernah menjabat sebagai Ketua Umum Partai Golkar dari tahun 1993 selama 5 tahun.
Kariernya sebelum terjun di dunia politik adalah seorang wartawan dan kartunis di Harian Merdeka dan Majalah Merdeka setelah lulus dari sekolah menengah. Kemudian pada 1964 mantan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat ini juga pernah menjadi wartawan di Harian Angkatan Bersenjata.
Satu tahun berselang, kariernya semakin menanjak. Selain menjadi wartawan di Harian API, Harmoko juga dipercayakan sebagai Pemimpin Redaksi surat kabar berbahasa Jawa, Merdiko. Lalu, pada 1966 hingga 1968, dia menjadi penanggung jawab Harian Mimbar Kita.
Pada 16 April 1970 bersama rekan-rekannya, Harmoko mendirikan Harian Pos Kota. Dalam rezim kepemimpinannya, oplah Pos Kota meningkat hingga mencapai 200 ribu eksemplar pada tahun 1983.
Kredibilitas Harmoko membuatnya dilirik Presiden Soeharto hingga akhirnya dia berhasil menjabat sebagai Menteri Penerangan RI selama 14 tahun sejak 1983. Selama menjabat sebagai menteri, dapat dikatakan Harmoko menjadi salah satu orang kepercayaan ke-2 Presiden Soeharto.
Harmoko dianggap mampu menerjemahkan gagasan-gagasan Soeharto kala itu. Bahkan dia juga pencetus ide Kelompencapir (Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pemirsa) yang berfungsi untuk menyampaikan informasi dari pemerintah ke publik.
Mantan Ketua Umum Partai Golkar ini juga sosok di balik pembredelan Tempo, DeTik, dan Editor dengan tujuan demi kestabilan pemerintahan. Sebagai sosok yang bergelut dengan pers, sebetulnya ia paham pembredelan sangat menyakitkan. Namun, apa boleh buat itu adalah perintah.
Menjelan Pemilihan tahun 1998, Presiden Soeharto sebetulnya sudah berniat mundur. Tapi, Harmoko tetap mendukungnya untuk melanjutkan pemerintahan.
Setelah kembali terpilih, ternyata gejolak akibat krisis moneter semakin menjadi hingga terjadi kerusuhan Mei 1998. Hal tak terduga terjadi tanggal 18 Mei 1998. Harmoko mengeluarkan keterangan pers dan meminta supaya Presiden Soeharto mundur.
"Demi persatuan dan kesatuan Bangsa pimpinan DPR baik Ketua maupun Wakil Ketua, mengharapkan presiden Soeharto mengundurkan diri secara arif dan bijaksana,” ucap Harmoko.
Hal tersebut yang membuat ketegangan antara keluarga Cendana Soeharto dan Harmoko. Mereka pun tidak pernah bertatap muka lagi hingga tahun 2008, Harmoko menjenguk Soeharto di RSPP dan menjadi pertemuan yang terakhir sebelum Soeharto meninggal.
Desak Soeharto mundur
Pada 18 Mei 1998, terjadi aksi demonstrasi besar-besaran yang dilakukan mahasiswa hingga masuk ke Gedung DPR. Dengan lantang massa meminta Soeharto mundur.
Hal itu dipicu oleh peristiwa penembakan di Universitas Trisakti yang menewaskan empat mahasiswa kampus itu. Tak hanya itu, selama pertengahan Mei 1998 situasi politik begitu pelik dengan adanya kerusuhan yang disertai kekerasan berbasis prasangka rasial.
Kerusuhan tersebut bahkan menimbulkan korban tewas dengan jumlah tidak sedikit. Gentingnya situasi itulah yang membuat Harmoko beserta pimpinan DPR/MPR lainnya mendorong Soeharto mundur.
Sebagaimana dikutip dari arsip Kompas yang terbit pada 19 Mei 1998, permintaan itu disampaikan Harmoko didampingi pimpinan lain yaitu Ismail Hasan Metareum, Abdul Gafur, Fatimah Achmad, dan Syarwan Hamid, pada 18 Mei 1998. "Dalam menanggapi situasi seperti tersebut di atas, pimpinan Dewan, baik ketua maupun wakil-wakil ketua, mengharapkan, demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri," kata Harmoko.
Selain itu, Harmoko mewakili pimpinan dewan juga meminta masyarakat untuk tetap tenang dan menahan diri. "Pimpinan Dewan menyerukan kepada seluruh masyarakat agar tetap tenang, menahan diri, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mewujudkan keamanan ketertiban supaya segala sesuatunya dapat berjalan secara konstitusional," lanjutnya.
Pernyataan Harmoko dan pimpinan dewan tersebut sempat disanggah oleh Panglima ABRI yang kala itu dijabat Jenderal TNI Wiranto. Oleh Wiranto, pernyataan pimpinan DPR/MPR dinilai sebagai pendapat pribadi. Sebab, pendapat DPR/MPR semestinya ditentukan dalam sidang paripurna.
"Sesuai dengan konstitusi, pendapat seperti itu tidak memiliki ketetapan hukum. Pendapat DPR harus diambil oleh semua anggota Dewan melalui Sidang Paripurna DPR," kata Wiranto.
Ketika itu Wiranto menyebut bahwa tanggung jawab Presiden Soeharto yakni melakukan perombakan kabinet. Dia tak menyinggung ihwal kemungkinan Soeharto untuk mundur.
"ABRI masih berpendapat bahwa tugas dan kewajiban mendesak pemerintah yang menjadi tanggung jawab Presiden adalah melaksanakan reshuffle kabinet, melaksanakan reformasi secara menyeluruh, dan mengatasi krisis. Ini penting dilakukan agar bangsa Indonesia segera dapat keluar dari masa krisis ini," ujar Wiranto.
Selain itu, pernyataan Harmoko dan pimpinan DPR juga dianggap tidak mewakili suara fraksi-fraksi yang ada di DPR/MPR. Setidaknya, sanggahan dinyatakan oleh dua fraksi yang menjadi mesin politik Orde Baru, Fraksi Karya Pembangunan atau F-KP (Golkar).
Ketika itu pimpinan F-KP menyerahkan pernyataan kepada Sekjen DPP Golongan Karya Arry Mardjono. Arry lalu menyatakan, pernyataan tersebut bukan pendapat F-KP ataupun DPP Golkar.
"Sikap DPP Golkar kita serahkan pada rapat besok (hari ini) bersama-sama fraksi lain. Itu jangan diartikan DPP Golkar belum memiliki sikap," ucap Arry.
Tapi di sisi lain ada 20 anggota F-KP yang mendesak pimpinan DPR agar segera menyiapkan Sidang Istimewa MPR untuk membahas kepemimpinan nasional. Kala itu, Ketua F-KP Irsyad Sudiro mengatakan, sikap apakah F-KP terhadap Presiden Soeharto baru akan ditentukan pada 19 Mei.
"F-KP secara konstitusional akan mencermati bagaimana mekanisme lengser keprabon dan pelaksanaan Sidang Istimewa," kata dia.
Tapi polemik itu tak berlangsung lama. Tepat 21 Mei 1998, Soeharto mengumumkan bahwa dirinya mundur dari jabatan. Publik pun bersorak sorai atas peristiwa runtuhnya rezim Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun itu.
Harmoko satu di antara segelintir tokoh yang tahu betul detik-detik jatuhnya kekuasaan Soeharto
Setelah tumbangnya Orde Baru (Orba) dan lahirnya Era Reformasi nama Harmoko tak muncul lagi dalam aktivitas politik. Tak lama muncul, Harmoko mulai aktif kembali dengan dunia lamanya yakni tulis menulis.
Harmoko sesekali menulis di kolom Ngopi Pos Kota. Pada tahun 2016, Harmoko mengalami penurunan kesehatan karena kerusakan saraf motorik otak belakang. Harmoko berjuang untuk memulihkan kesehatannya yang memasuki usianya ke-77 tahun.
Harmoko meninggal dunia pada 4 Juli 2021 di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta, sekitar pukul 20.22.