TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perkumpulan Organisasi Petani Sawit Indonesia (POPSI) menilai penertiban kawasan hutan sebagai langkah penting memperbaiki tata kelola sumber daya alam.
Namun, kebijakan tersebut diminta perlu dijalankan secara hati-hati agar tetap menghadirkan kepastian hukum, rasa keadilan, serta keberlanjutan usaha bagi petani sawit rakyat.
Ketua POPSI Mansuetus Darto mengatakan, selama ini Pasal 33 UUD 1945 kerap dijadikan rujukan utama dalam penertiban dan penyitaan kebun sawit, seolah menutup ruang diskusi hukum dan kebijakan yang lebih substantif.
Padahal, Mahkamah Konstitusi telah berulang kali menegaskan bahwa frasa ’’dikuasai oleh negara” tidak identik dengan negara menjadi pelaku usaha secara langsung.
“Negara seharusnya bertindak sebagai pengatur, pembuat kebijakan, pengawas, dan penjamin distribusi keadilan. Bukan serta-merta mengambil alih usaha produktif, apalagi ketika status hukumnya belum berkekuatan hukum tetap,” ujar Darto dalam keterangannya, dikutip Minggu (28/12/2025).
Data 1 Oktober 2025 menyebut Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) telah menyita sekitar 3,4 juta hektar lahan sawit yang dinilai masuk kawasan hutan.
Dari jumlah tersebut, 1,5 juta hektar lahan sawit telah diserahkan pengelolaannya kepada PT Agrinas Palma Nusantara. Adapun saat ini para petani sawit menguasai 6,94 juta hektar dari total 16,38 juta sawit di Indonesia.
Darto menjelaskan, hingga kini masih terdapat kebun sawit yang status lahannya belum ditetapkan secara definitif. Bahkan, pemerintah sendiri membuka ruang pemutihan, yang secara logika kebijakan menunjukkan bahwa keberadaan sawit di kawasan hutan tidak selalu serta-merta salah.
Baca juga: Rp6,6 Triliun Uang Sitaan Satgas PKH Dipakai untuk Tambal Defisit APBN
“Kalau memang salah, mengapa diputihkan? Ini menunjukkan negara masih mengoreksi kebijakannya sendiri. Maka tidak tepat jika di saat statusnya masih sengketa, negara langsung mengelola dan menikmati hasil kebun tersebut,” kata Darto.
Ketika kebun sawit sitaan tetap diproduksikan oleh BUMN, Darto menekankan pentingnya keberlanjutan hak petani sebagai pelaku ekonomi.
“Petani seharusnya tetap menjadi pengelola kebun, dengan kewajiban perizinan dan pemulihan lingkungan. Negara hadir memastikan tata kelola, bukan menggantikan petani sebagai pelaku usaha,” ujarnya.
Baca juga: Penampakan Tumpukan Uang Setinggi 2 Meter Senilai Rp 6,6 Triliun Hasil Sitaan Satgas PKH
Terkait Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor 20 Tahun 2025, Darto menilai regulasi tersebut hanya akan efektif jika disertai transparansi, partisipasi publik, serta mekanisme keberatan yang diakui negara. Menurutnya, data negara harus disandingkan secara setara dengan data masyarakat dan pelaku usaha.
“Harus ada ruang dialog dan banding administratif. Tanpa itu, regulasi berisiko menjadi alat legalisasi pengambilalihan kebun rakyat yang terjebak konflik status lahan,” tegasnya.
Darto menekankan, kebijakan pemutihan sawit di kawasan hutan seharusnya menjadi instrumen pemulihan tata kelola, bukan sarana pengelolaan sepihak oleh negara. Syarat utamanya adalah pengakuan petani sebagai subjek hukum dan subjek ekonomi yang sah.
Usulan POPSI
Agar penertiban sawit tidak memicu ketakutan hukum dan merusak iklim investasi, POPSI mengusulkan sejumlah langkah konkret.
Pertama, pemerintah diminta menetapkan moratorium penyitaan sawit sembari menyusun peta jalan hukum yang jelas dan berkeadilan. Kedua, pemerintah perlu memberikan jaminan hukum bahwa petani tidak disalahkan atas praktik yang pada masanya dianggap sah.
Ketiga, perlindungan khusus harus diberikan kepada petani kecil, masyarakat adat, dan petani yang menguasai lahan di bawah 5 hektare.
Selain itu, Darto mendorong penataan sawit di kawasan hutan dilakukan secara diferensial: kebun yang telah dikelola kurang dari 20 tahun diarahkan ke skema perhutanan sosial, sementara yang lebih dari 20 tahun ditangani melalui reforma agraria berbasis pendataan dan verifikasi lapangan yang ketat.
Menurut Darto, langkah paling mendesak adalah menjadikan petani sawit rakyat sebagai subjek utama Pasal 33 UUD 1945. Legalisasi berbasis reforma agraria harus diprioritaskan dibanding penyitaan, disertai pembangunan kemitraan yang adil, bukan pengambilalihan oleh negara.
“Hasil ekonomi sawit harus tetap dinikmati petani. Penyitaan sawit, hanya akan memperkuat ketimpangan nyata di lapangan,” paparnya.