Reorientasi Reformasi Kejaksaan
December 28, 2025 02:03 PM


Oleh: Dr. I Wayan Sudirta, SH, MH

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI Perjuangan

Pengajar di Universitas Negeri Gusti Bagus Sugriwa Denpasar 

Hal ini sungguh mengkhawatirkan di tengah tingginya harapan dan kepercayaan publik pada Kejaksaan.

Prestasi Kejaksaan terutama dalam kurun waktu satu hingga dua tahun ini menunjukkan harapan besar untuk merealisasikan komitmen Presiden dan pemerintah dalam pemberantasan korupsi. 

Sebut saja penanganan Kejaksaan di sejumlah kasus mega-korupsi di Pertamina, PT. Timah, Kementerian Pendidikan atau kasus penanganan perkara di MA yang kerugian dan pencucian uangnya hingga triliunan rupiah. 

Tren tingkat kepercayaan publik pada Kejaksaan sebenarnya relatif menunjukkan peningkatan. 

Sebagaimana studi tingkat kepercayaan yang dilakukan oleh sejumlah institusi survei, kejaksaan pada 2020-2025 menunjukkan peningkatan daripada KPK maupun Polri.

Pada awal 2020-2021, tren tingkat kepercayaan publik kepada Kejaksaan berada pada kurang lebih 70 persen (Puslitbang Polri) dan meningkat pada tahun 2023 secara signifikan hingga 77-81 persen (Indikator Politik).

Angka ini memang sempat menurun hingga 75-76 persen pada 2024 (LSI dan Indikator Politik), namun mengalami kenaikan kecil pada 2025 yakni 76-77 persen (LSI atau Indikator Politik).

Namun begitu angka ini boleh jadi menurun di penghujung 2025 akibat beberapa insiden seperti OTT KPK pada Kajari di Banten dan Kalsel, serta beberapa permasalahan lainnya. 

Meski begitu, masyarakat tentu masih percaya dan berharap bahwa Kejaksaan menjadi salah satu institusi yang mampu tampil dalam pemberantasan Korupsi.

Masyarakat tentu mengingat bahwa dalam pidato atau pernyataan Presiden, terlihat bahwa Presiden juga mengapresiasi sejumlah prestasi pengungkapan kasus korupsi oleh Kejaksaan. 

Demikian pula, Komisi III DPR juga terus memberikan apresiasi kepada Kejaksaan yang telah secara responsif mengungkap kasus-kasus besar yang merugikan negara.

Komisi III DPR tidak gentar dalam memberi penguatan terhadap Kejaksaan di sejumlah legislasi atau kebijakan seperti UU Kejaksaan atau KUHAP guna mendorong Kejaksaan yang semakin profesional dan berkualitas.

Dalam UU Kejaksaan, kewenangan kejaksaan semakin diperluas dan didukung dengan intelijen penegakan hukum.

Dalam KUHAP yang baru saja disahkan, sejumlah permasalahan yang dihadapi Kejaksaan dalam praktik seperti bolak-balik perkara dengan penyidik Polri/PPNS, penerapan Restorative Justice yang belum memiliki aturan yang tegas dan terukur, dan berbagai pelaksanaan tugas dalam pemulihan aset, diberikan penguatan.

KUHAP juga memperkuat fungsi penuntutan termasuk memberi penegasan kewenangan pemberlakuan denda damai, pengakuan bersalah, dan perjanjian penundaan penuntutan. 

Dengan demikian seharusnya Kejaksaan memiliki senjata kuat dalam meningkatkan prestasi.

Namun setelah beberapa permasalahan yang mencuat terhadap institusi Kejaksaan, Jaksa Agung mencoba melakukan sejumlah perombakan melalui mutasi. 

Hal ini diyakini sebagai salah satu strategi untuk menunjukkan respon terhadap kekhawatiran publik terhadap Jaksa.

Akhir Desember 2025, Jaksa Agung ST Burhanuddin melaksanakan mutasi besar-besaran terhadap 68 pejabat Kejaksaan, termasuk 43 Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) di berbagai daerah. 

Mutasi ini ditegaskan sebagai bagian dari penyegaran organisasi dan pembinaan karier untuk meningkatkan kinerja dan profesionalisme aparatur penegak hukum.

Hal ini juga berkaitan dengan perubahan sebelumnya, pada Oktober 2025, yakni adanya rotasi besar dengan 73 pejabat di lingkungan Kejaksaan Agung dan Kejati termasuk 17 Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati).

Mutasi pada hakikatnya tidak semata perpindahan jabatan administratif, tetapi dimaknai sebagai upaya memperkuat institusi melalui regenerasi pimpinan di daerah dan sinergi antara pusat-daerah untuk mendukung agenda reformasi secara lebih merata.

Peta Jalan Kebijakan Reformasi Kejaksaan

Kita tentu masih mengingat beberapa langkah nyata untuk mengubah citra Kejaksaan. 

Dari pembentukan Tim Percepatan Reformasi Kejaksaan atau pembentukan program Jaksa Menyapa dan berbagai tim khusus untuk meningkatkan respon cepat hingga peningkatan kualitas dan integritas Jaksa.

Masyarakat harus mengakui bahwa Kejaksaan pada realitanya mampu mengubah citranya. 

Sistem penegakan hukum-pun mendapat dampak positif, meskipun sejumlah insiden dan pelanggaran oleh oknum Kejaksaan masih terjadi. Namun Kejaksaan terus menampilkan keseriusan dalam upaya reformasi.

Komitmen tersebut semakin terlihat ketika Kejaksaan menjadi salah satu insitusi utama yang mendapat perhatian.

Paparan komitmen Pemerintah pada RPJPN RPJMN 2025–2045 memasukkan transformasi sistem penuntutan yang mencakup: penerapan Single Prosecution System agar penanganan perkara pidana menjadi efisien dan terpadu.

Selain itu, penguatan peran Kejaksaan sebagai Advocaat Generaal yang menjalankan fungsi penuntutan dan peran strategisnya terhadap penegakan hukum nasional. 

Upaya ini dipandang sebagai titik transformasi struktural yang menempatkan Kejaksaan tidak hanya sebagai penuntut umum tetapi sebagai pilar utama dalam sistem hukum pidana yang modern dan terkoordinasi.

Demikian pula pada paparan tentang Visi dan Misi Kejaksaan RI 2025–2029. Dalam Rakernas Kejaksaan RI 2025, Jaksa Agung menggaungkan transformasi Kejaksaan yang berkeadilan, humanis, akuntabel, transparan, dan modern.

Visi ini dijabarkan dalam lima misi strategis yang meliputi penegakan supremasi hukum berkeadilan dan penguatan keadilan restoratif berbasis HAM.  

Dalam penutupan Rakernas, Jaksa Agung kemudian memberikan delapan program kerja prioritas yang menjadi blueprint operasional Kejaksaan periode ini, antara lain:

  • Implementasi single prosecution system dan penguatan peran advocaat generaal.
  • Penguatan upaya penindakan korupsi fokus pada hajat hidup orang banyak.
  • Koordinasi sinergis antar bidang.
  • Peningkatan peran pengacara negara.
  • Akselerasi pemulihan dan pengelolaan aset negara.
  • Kontribusi intelijen penegakan hukum.
  • Profesionalisme, kompetensi, integritas aparatur.
  • Menjaga kepercayaan publik.  

Agenda ini menunjukkan reformasi tidak hanya administratif tetapi juga substansial, yaitu penguatan kedudukan institusi dalam sistem penegakan hukum nasional yang lebih terintegrasi.

Lalu apa yang kemudian menjadi tantangan utama dalam Peta Jalan Reformasi Kejaksaan. Hal pertama adalah mengenai independensi dan peran kelembagaan.

Beberapa isu yang muncul dalam kajian akademis dan publik mencakup beberapa permasalahan yang menyebabkan ambiguitas peran jaksa dalam sistem peradilan pidana yang dapat melemahkan independensi penuntut umum jika tidak dirumuskan dengan jelas.

KUHAP saat ini menegaskan kembali peran Kejaksaan dalam penerapan asas dominus litis namun tetap menjalankan diferensisasi fungsional demi terlaksananya prinsip check and balance yang lebih efektif.  

Dalam praktik atau kedudukannya, Kejaksaan berada di irisan kekuasaan eksekutif dan yudikatif, sehingga rentan terhadap tekanan politik, konflik kepentingan, atau ketidakjelasan batas kewenangan dengan kepolisian dan pengadilan. 

Tanpa peta reformasi yang jelas, posisi strategis ini justru dapat menjadi sumber distorsi keadilan.

Hal kedua yang perlu untuk diperhatikan adalah faktor: Opini dan Kepercayaan Publik. 

Kasus operasi tangkap tangan (OTT) terhadap oknum jaksa dipandang sebagai momentum untuk memperkuat integritas internal.

Kritikus melihat hal ini bisa menjadi alert atau wake-up call bagi reformasi internal Kejaksaan sehingga Kejaksaan dapat lebih tegas dalam membersihkan budaya koruptif. 

Kejaksaan dapat konsisten kembali di jalur (track) untuk realisasi modernisasi dan reformasi Kejaksaan.

Dengan begitu Kejaksaan dapat melihat dinamika sosial, tuntutan demokrasi, perkembangan hukum pidana modern, serta peningkatan tuntutan atau ekspektasi publik terhadap integritas penegak hukum adalah hal atau faktor utama dalam merealisasikan reformasi Kejaksaan. 

Hal ketiga adalah bagaimana mengoptimalkan peran Kejaksaan sebagai wujud penciptaan sistem penegakan hukum yang berkeadilan substantif. 

Penegakan hukum selama ini seringkali dicitrakan pada kekakuan pada legalisme, mengabaikan rasa keadilan masyarakat, atau masih adanya perlakuand iskriminatif.

Reformasi Kejaksaan diperlukan agar fungsi dan peran penegakan hukum oleh Kejaksaan tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga adil secara moral. 

Demikian pula modernisasi seperti pendekatan restorative justice menjadi arus utama, bukan hanya pengecualian.

Hal selanjutnya adalah penegasan penerapan akuntabilitas dan keterbukaan institusi Kejaksaan. Kewenangan besar yang telah diberikan Kejaksaan harus dapat dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan.

Pelaksanaan kewenangan yang tanpa kontrol atau pengawasan yang memadai tentu akan melahirkan penyalahgunaan kewenangan (abuse of power), penegakan hukum yang tebang pilih dan tidak pasti, serta rentan terhadap Praktik transaksional. 

Reformasi Kejaksaan dalam hal ini diperlukan untuk melahirkan Kejaksaan yang profesional, terbuka, transparan, dan tentunya akuntabel.

Hal ini dapat dibentuk melalui Mekanisme pengawasan internal dan eksternal yang efektif, Sistem akuntabilitas berbasis kinerja dan integritas, termasuk transparansi dalam pengambilan keputusan penuntutan.

Bentuk Reformasi Kejaksaan

Kejaksaan dapat pula bersinergi dengan berbagai institusi atau lembaga dalam menentukan arah dimensi Reformasi Kejaksaan. beberapa urgensi reformasi tersebut ada pada Reformasi Kelembagaan, Reformasi Sumber Daya Manusia, Reformasi Kultur, dan Reformasi Sistem pelaksanaan Tugas dan Fungsi Kejaksaan. 

Reformasi Kelembagaan dapat dilakukan dengan penataan ulang insitusi dan organisasi Kejaksaan dan penegasan independensi fungsional Kejaksaan penuntut umum.

Sedangkan reformasi Sumber Daya Manusia dapat dilakukan antara lain dengan melakukan perbaikan pada tata kelola SDM seperti rekrutmen berbasis merit dan integritas; penguatan sistem promosi dan mutasi yang objektif dan transparan dan penguatan etika profesi jaksa. 

Reformasi Kultur dapat dilakukan dengan peralihan dari budaya hierarkis-feodal menuju budaya profesional dan obyektivitas tugas dan fungsi, serta penguatan keberanian moral jaksa dalam menolak intervensi maupun godaan.

Kejaksaan juga perlu ketegasan dalam penerapan hukuman bagi pelanggaran oleh SDM Kejaksaan. 

Disamping itu, kita juga secara bersama-sama perlu mendukung reformasi pada pelaksanan tugas dan fungsi Kejaksaan seperti perlunya reformasi Sistem Penuntutan (Penerapan single prosecution system atau asas dominus litis yang konsisten profesional, terbuka, dan akuntabel serta integrasi teknologi dan manajemen perkara modern dalam mewujudkan transparansi.

Penutup

Berbagai permasalahan yang terjadi pada institusi Kejaksaan yang melibatkan pelanggaran oleh oknum Kejaksaan atau kesalahan dan kelemahan lainnya harus secara terbuka diakui oleh Kejaksaan sebagai jalan untuk melakukan evaluasi dan re-orientasi peta jalan reformasi Kejaksaan RI.

Penting untuk dikedepankan bahwa reformasi Kejaksaan bukan hanya soal rotasi jabatan, tetapi perlu dibaca sebagai upaya transformasi kelembagaan dan sistem peradilan pidana dalam konteks nasional yang lebih luas dan dilakukan secara komprehensif dan menyeluruh. 

Kejaksaan masih perlu untuk melakukan berbagai upaya untuk merespon kebutuhan untuk mengubah citra Kejaksaan menjadi Kejaksaan yang bersih, adil, dan terpercaya. 

Upaya ini dapat dilakukan dengan sejumlah strategi yakni menjawab polemik atau tantangan reformasi yang dibutuhkan Kejaksaan.

Hal tersebut antara lain bagaimana membangun transparansi dan reformasi struktur kelembagaan, menciptakan Kejaksaan yang berkapasitas, berintegritas, dan berkeadilan dalam format sistem penegakan hukum dan peradilan yang berkeadilan, berkepastian hukum, dan berkemanfaatan. 

Penegasan untuk menerapkan keterbukaan dan akuntabilitas publik yang tinggi. 

Hal ini tidak melulu hanya mengedepankan prestasi, namun bagaimana menjaga konsistensi, profesionalisme, dan pengawasan melekat yang efektif.

Disamping itu, pentingnya sinergisitas dan koordinatif dengan berbagai pihak termasuk masyarakat dalam meningkatkan akuntabilitas kerja, opini dan kepercayaan publik yang tinggi kepada Kejaksaan. 

Reformasi ini perlu dilakukan dalam frame kelembagaan, kultur, sumber daya manusia, dan tentunya reformasi sistem penegakan hukum dan peradilan (reformasi hukum).

Kapasitas Kejaksaan perlu dijamin agar penerapan asas dominus litis atau single prosecution system tidak kemudian hanya wacana yang dikhawatirkan menjadi ajang penyalahgunaan namun sebagai jalan untuk mewujudkan keadilan substantif.

Reformasi Kejaksaan perlu dilakukan dalam menjamin beberapa indikator yakni independensi dan kemandirian Kejaksaan, yakni agar tidak dipolitisasi, kehilangan legitimasi publik, menurunkann supremasi hukum, dan selanjutnya menghambat agenda demokrasi dan pelindungan Hak Asasi Manusia.

Dengan demikian, reformasi Kejaksaan bukan sekadar agenda administratif atau rotasi jabatan, melainkan agenda konstitusional dan moral untuk memastikan bahwa hukum ditegakkan. Kejaksaan yang kuat bukan yang paling ditakuti, tetapi yang paling dipercaya.

Urgensi reformasi Kejaksaan adalah urgensi menjaga masa depan negara hukum Indonesia dan sistem hukumnya. Oleh sebab itu, hal ini merupakan keniscayaan bukan pilihan sebagaimana reformasi dijalankan di institusi lain seperti Polri dan Mahkamah Agung.

 

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.