TRIBUNNEWS.COM - Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, mengaku telah menyurati Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk menangani kasus dugaan korupsi pemberian izin kuasa pertambangan serta izin usaha pertambangan operasi produksi nikel di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara pada 2007-2014.
Boyamin mengungkapkan alasan menyurati Kejagung karena dinilai lebih berani ketimbang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Sebenarnya KPK itu agak memang lemot , agak telmi atau telat mikir, terhadap perkara-perkara yang sebenarnya bisa ditangani korupsi."
"Nah, kasus tambang itu kan kalau Kejagung berani (menangani), (kasus dugaan korupsi) nikel, timah, berani," ujarnya kepada Tribunnews.com, Minggu (28/12/2025).
Boyamin juga menjelaskan alasan lainnya yakni lantaran sudah adanya tersangka yang ditetapkan dalam kasus ini yakni Bupati Konawe Utara periode 2007-2009 dan 2011-2016, Aswad Sulaiman.
Baca juga: Sosok Eks Bupati Konawe Utara Aswad Sulaiman, Kasusnya Disetop KPK meski Rugikan Negara Rp2,7 T
Aswad ditetapkan menjadi tersangka pada tahun 2017 lalu selaku pemberi izin eksplorasi dan eksploitasi pertambangan kepada sejumlah perusahaan pada tahun 2007-2014.
Diduga, dirinya menerima uang suap hingga Rp19 miliar dari sejumlah perusahaan terkait atas penerbitan izin eksploitasi pertambangan nikel pada 2007-2009.
Kembali lagi ke Boyamin, dia turut membeberkan bukti, Aswad pura-pura sakit setelah ditetapkan menjadi tersangka.
Hal ini, sambungnya, membuat Aswad tidak ditahan KPK.
Salah satu bukti yang dimiliki Boyamin yakni ketika Aswad masih bisa berkampanye meski mengaku sakit.
"Saya menyesalkan penyetopan itu, karena dulu sudah diumumkan tersangkanya itu bahkan diduga menerima suap."
"Dan ketika tersangkanya mantan bupati (Aswad), ketika mau ditahan, menyakitkan diri sehingga tidak jadi ditahan. Padahal saya punya data dia habis itu bisa ikut kampanye, bisa test drive mobil Toyota," katanya.
Di sisi lain, Boyamin menuturkan jika Kejagung sama saja seperti KPK yakni tidak cepat dalam menangani kasus ini, maka ia akan mengajukan gugatan praperadilan.
"Saya juga akan menempuh upaya praperadilan untuk membatalkan SP3 (Surat Penghentian Penyidikan) KPK itu tapi saya melihat kalau Kejaksaan Agung sangat cepat menangani saya otomatis masih menunda praperadilannya," tuturnya.
Diketahui, KPK telah menghentikan penyidikan terkait kasus rasuah yang diduga membuat negara rugi Rp2,7 triliun tersebut.
Adapun alasan penghentian karena terkendala penghitungan kerugian keuangan negara serta kasus dianggap sudah kadaluwarsa.
Hal ini disampaikan oleh juru bicara KPK, Budi Prasetyo pada Minggu. Dia mengatakan keputusan tersebut sudah tepat.
"Penerbitan SP3 oleh KPK sudah tepat karena tidak terpenuhinya kecukupan alat bukti dalam proses penyidikan yang dilakukan. Pasal 2, Pasal 3-nya yaitu terkendala dalam penghitungan kerugian keuangan negara," katanya.
"Kemudian dengan tempus perkara yang sudah (sejak) 2009 ini juga berkaitan dengan kadaluwarsa perkaranya, yakni terkait pasal suap (yang dikenakan)," sambung Budi.
Dikutip dari Kompas.com, kasus ini bermula ketika Aswad menjabat sebagai Plt Bupati Konawe Utara pada tahun 2007.
Sejak saat itu, Aswad diduga secara sepihak mencabut kuasa pertambangan milik PT Antam di Kecamatan Langgikima dan Kecamatan Molawe, Konawe Utara.
Kemudian, dia disebut menerima pengajuan permohonan kuasa pertambangan eksplorasi dari delapan perusaan pertambangan.
Baca juga: KPK Hentikan Penyidikan Kasus Korupsi Tambang dan Suap Eks Bupati Konawe Utara Aswad Sulaiman
Tak cuma itu, ia juga secara sepihak diduga menerbitkan 30 Surat Keputusan (SK) terkait kuasa pertambangan eksplorasi.
Dari SK itu, Aswad diduga menerima sejumlah uang dari masing-masing perusahaan yang diberi kuasa eksplorasi.
Dari seluruh kuasa pertambangan yang diterbitkan, menurut KPK, beberapa di antaranya telah diteruskan hingga tahap produksi dan melakukan penjualan ore nikel (ekspor) hingga tahun 2014.
Setelah itu, KPK menetapkan Aswad sebagai tersangka pada 3 Oktober 2017 karena diduga menerima uang suap sejumlah Rp13 miliar.
"Indikasi penerimaan itu terjadi dalam rentang waktu 2007-2009, atau pada saat yang bersangkutan menjadi penjabat bupati," ujar Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dalam jumpa pers di Gedung KPK, Selasa (3/10/2017).
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto/Ilham Rian Pratama)(Kompas.com/Haryanti Puspa Sari)