Opini: Homo Digitalis dan Ketidakpastian Identitas 
December 29, 2025 07:19 AM

Oleh: Bernabas Unab
Penggiat Filsafat dan Penulis Opini

POS-KUPANG.COM - Di tengah dunia digital yang semakin bising oleh citra diri, target pencapaian, dan tuntutan konsistensi personal branding, manusia modern justru dihadapkan pada pertanyaan mendasar ini.

Siapakah diri kita sesungguhnya ketika identitas dapat diproduksi, dirawat, dan dinegosiasikan lewat layar?

Selama ini kita cenderung memandang ketidakpastian identitas sebagai krisis,  seolah manusia harus menemukan satu jati diri yang stabil, permanen, dan final. 

Padahal, dalam horizon eksistensial, manusia tidak pernah “selesai” sebagai sesuatu. 

Baca juga: Speadboat Polairud Dikerahkan untuk Bantu Evakuasi Korban KM Putri Sakina

Kita selalu berada dalam proses menjadi. Sartre menggambarkan manusia sebagai proyek yang terus menunda dirinya sendiri; sementara Heidegger menunjukkan bahwa keberadaan manusia ditandai oleh keterbukaan terhadap kemungkinan.

Dalam kerangka itu, "Homo Digitalis" — manusia yang hidup, bekerja, dan bereksistensi di ekosistem digital tidak sedang mengalami krisis identitas semata. 

Sebaliknya, era digital justru memperlihatkan sesuatu yang lebih mendasar: bahwa identitas manusia memang cair, plural, dan tidak pernah final sejak semula.

Identitas sebagai Proses Menjadi

Di media sosial, seseorang bisa tampil sebagai profesional yang rasional di LinkedIn, pribadi reflektif di Instagram, humoris anonim di forum daring, sekaligus kritis di ruang diskusi digital. 

Bagi sebagian orang, keragaman persona ini dianggap bentuk ketidakkonsistenan diri atau “split identity”.

Namun sebenarnya, yang terlihat adalah lapisan-lapisan diri yang sebelumnya tersembunyi oleh norma sosial dan ruang komunikasi yang terbatas. 

Teknologi tidak serta-merta merusak keutuhan identitas; ia justru membuka kenyataan bahwa diri manusia bersifat relasional dan kontekstual.

Masalahnya muncul ketika manusia merasa harus tampak konsisten demi pengakuan publik: citra diri harus rapi, narasi personal harus linear, arah hidup harus terlihat jelas. 

Di sinilah manusia sering terjebak pada ilusi kepastian identitas, padahal kehidupan eksistensialnya justru bergerak melalui keraguan, perubahan, dan pergulatan.

Ketidakpastian identitas bukanlah cela, melainkan konsekuensi dari kenyataan bahwa manusia terus mengada, bukan sebagai sosok yang selesai, melainkan sebagai subjek yang terus membentuk dirinya.

Algoritma dan Ilusi Kepastian Diri

Jika manusia eksistensial bergerak dalam ketidakpastian, algoritma digital justru bekerja sebaliknya: menyederhanakan manusia menjadi pola, menjadi data yang bisa dikalkulasi, diprediksi, dan dipasarkan.

Preferensi pengguna diterjemahkan sebagai kecenderungan tetap; pengalaman hidup dipadatkan menjadi riwayat klik; identitas direduksi menjadi kategori yang kompatibel dengan logika ekonomi perhatian. 

Seseorang yang sesekali menonton konten produktivitas, misalnya, akan terus disuguhi wacana “optimalisasi diri”, kedisiplinan keras, atau kompetisi tanpa henti, hingga ia perlahan merasa harus menjadi pribadi yang sesuai dengan profil yang dibentuk sistem.

Di titik ini, terjadi ketegangan etis: teknologi menawarkan kepastian mengenai siapa diri kita, sementara keberadaan manusia justru bergerak di wilayah ketidakpastian diri. 

Manusia akhirnya terombang-ambing antara dorongan untuk berubah dan tekanan untuk terlihat stabil.

Yang bermasalah bukanlah ketidakpastian identitas, melainkan upaya memaksakan stabilitas demi diterima oleh logika sistem.

Keotentikan sebagai Kerentanan

Bagi eksistensialisme, keotentikan bukan berarti menemukan jawaban final tentang diri, tetapi keberanian untuk menatap keterbatasan, kegelisahan, dan ketidakpastian diri. 

Di era digital, keberanian itu bisa tampak melalui sikap jujur terhadap pengalaman lelah, cemas, bingung, gagal, ataupun sesuatu yang sering dianggap “merusak citra diri”.

Kita menyaksikan fenomena konten kreator atau pekerja muda yang awalnya membangun citra “selalu produktif”, lalu pada titik tertentu mengakui burnout dan kehilangan arah. 

Alih-alih dibaca sebagai kegagalan personal branding, momen ini justru menunjukkan ruang kemanusiaan yang lebih otentik: manusia tidak selalu kuat, tidak selalu stabil, dan tidak selalu mengetahui jawaban atas hidupnya.

Manusia autentik bukanlah manusia yang paling konsisten, melainkan manusia yang sanggup hidup berdampingan dengan ketidakpastian dirinya, tanpa terjebak pada kewajiban tampil sempurna.

Etika Mengada di Era Digital

Jika identitas manusia memang cair dan terbuka, maka pertanyaannya bergeser: bukan “bagaimana menemukan identitas paling benar?”, melainkan “bagaimana manusia bertanggung jawab atas proses menjadi dirinya?”.

Etika yang lahir dari kesadaran ini tidak bersifat moralistik, melainkan reflektif.

Ia mengingatkan bahwa:

  • Identitas digital hanyalah fragmen dari diri, bukan keseluruhan.
  • Validasi publik tidak boleh menjadi ukuran utama keberadaan.
  • Perubahan diri bukan penyimpangan, melainkan gerak kebertubuhan manusia.
  • Ketidakpastian bukan musuh yang harus diakhiri

Teknologi mungkin mempercepat proses pembentukan diri, tetapi ia tidak menggantikan tanggung jawab manusia untuk memahami dirinya, mengambil jarak dari citra yang diproduksi, dan menolak ilusi kepastian yang memenjarakan.

Penutup: Mengada Tanpa Jaminan

Pada akhirnya, "Homo Digitalis" tidak hidup untuk menemukan satu identitas final yang stabil. 

Manusia mengada tanpa jaminan — dan justru di situlah ruang kebebasan sekaligus tanggung jawabnya.

Ketidakpastian identitas bukanlah krisis yang harus diselesaikan, melainkan bagian paling manusiawi dari keberadaan: manusia terus berubah, bertumbuh, dan menegosiasikan dirinya seiring pengalaman, relasi, dan zaman yang berganti.

Di tengah dunia digital yang menawarkan kepastian instan tentang siapa diri kita, mungkin tugas terpenting manusia modern bukanlah mengamankan identitas yang kokoh, melainkan belajar hidup secara jujur di tengah ketidakpastian yang tak terhindarkan.

Karena di titik itulah, manusia menemukan keotentikannya, bukan sebagai sosok yang selesai, melainkan sebagai makhluk yang terus mengada sampai ketiadaanya. (*)

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.