Elina dan Borgol Samuel 
December 30, 2025 10:55 PM

Oleh Ibnu Taufik Juwariyanto, Pemimpin Redaksi Tribun Jateng

KEDAULATAN adalah nyawa atau muruah bagi sebuah negara. Tanpa kedaulatan, sebuah entitas wilayah tak bisa disebut sebagai sebuah negara yang berdaulat. 

Secara internal, kedaulatan sebuah negara dimaknai sebagai otoritas sekaligus kemampuan sebuah negara untuk mengatur dan menjamin terselenggaranya kehidupan bernegara sesuai dengan tujuan bernegara, termasuk terciptanya keadilan bagi seluruh warga negara. 

Saya meminjam frasa di atas lantaran melihat eksistensi negara yang terkoyak dari kisah sederhana dari Surabaya, yaitu kisah nenek Elina yang mencederai rasa keadilan. Tubuh nenek Elina yang sudah renta harus berhadapan dengan sejumlah orang yang mengusirnya dari rumah yang ia tempati. Tak ada yang membela, ketika tubuhnya yang renta diangkat keluar oleh sejumlah laki-laki bayaran untuk mengusirnya. 

Video yang beredar tentang Elina tak ubahnya sebagai potret pilu kegagalan negara dalam melindungi rasa aman sekaligus rasa adil bagi warganya. Negara dipermalukan lantaran membiarkan Elina yang tua renta berjuang sendiri, memperjuangkan hak yang ia yakini. Dalam diamnya, barangkali Elina menyimpan tanda tanya besar, di mana negara yang seharusnya memberikan jaminan rasa aman sekaligus rasa keadilan ketika kedua hal itu dirampas darinya secara nyata?

Dari Elina ini, rasanya tak berlebihan, jika muncul satu kesimpulan sederhana bahwa salah satu esensi dari kedaulatan negara sudah terkoyak. Dan, kisah Elina tentu tidak sendiri. Elina-Elina lain barangkali jeritnya lebih lirih sehingga negara tak mendengarnya. 

Ironisnya, masih dari kisah yang sama, kredibilitas negara ini juga secara nyata disepelekan oleh warganya sendiri. Ini bisa dibaca dari Samuel Ardi Kristianto, perspektif lain dari kisah nenek Elina. 

Sekali lagi, saya tak ingin terlalu jauh menyoroti fakta hukum dalam kasus pengusiran nenek Elina di Surabaya. Namun patut saya yakini, Samuel ‘tokoh antagonis’ dalam kisah nenek Elina ini sebenarnya juga meyakini terkait hak atas objek sengketa, yaitu rumah yang ditempati nenek tua itu. 

Saya meyakini, Samuel memang melakukan transaksi jual beli atas tanah, yang kemudian ia ratakan tersebut. Namun saya tertarik dengan cara Samuel memperjuangkan agar hak yang tidak dalam kuasanya untuk segera ia kuasai. 

Ia memilih secara paksa menguasai hak yang ia yakini tidak dengan cara yang benar. Ia tidak menempuh langkah hukum sebagaimana diatur oleh negara, tetapi memilih menggunakan cara-cara preman untuk menguasai haknya.  Pilihan inilah yang rasanya menarik untuk dikupas, yang kebetulan saat ini juga berimplikasi pada peluang munculnya konflik horizontal di Surabaya. 

Langkah yang salah ini bahkan diakui sendiri oleh Samuel dalam sebuah postingan bersama salah satu pegiat hukum di Surabaya. Samuel mengakui, langkah tersebut diambil lantaran jalur hukum dianggapnya berbiaya mahal dan prosesnya panjang. 

Pilihan Samuel ini merupakan realitas yang banyak terjadi. Orang yang memiliki kekuatan dan kekuasaan seperti Samuel, pada akhirnya akan mengesampingkan keberadaan negara untuk kepentingan pribadi. 

Apakah Samuel hanya sendiri? Rasanya tidak. Bagi saya, sikap Samuel tak ada bedanya dengan Samuel-Samuel yang lain, yang mengira bisa membeli negeri ini dengan kekuatannya. 

Sikap Samuel ini esensinya juga sama dengan mereka yang membuat pagar laut dan menggunduli hutan, Sama dengan mereka yang mencuri nikel, mencuri emas, timah, dan hasil bumi di negeri ini. Sama denhgan mereka yang menjarah uang rakyat. 

Samuel adalah bentuk pengingkaran terhadap otoritas negara, ketika orang beranggapan negara bisa ditipu, negara bisa dikibuli dan bahkan negara boleh dianggap tidak ada.  Dan, itulah kesimpulan kedua dari kisah Elina, ketika warga negara mulai tak mengakui otoritas (baca: kedaulatan) negaranya sendiri. 

Negara yang alpa dan lunturnya pengakuan publik terhadap negara tidak muncul dengan sendirinya. Kebetulan, masih dari kisah Elina ini saya bisa melihat bagaimana alat negara, atau sebut saja oknum alat negara, tampak bermain-main. 

Ada sikap konyol yang dipertontonkan negara, dalam hal ini polisi dalam menangani kasus Elina. Ini justru kentara ketika sikap hiperbolis dipertontonkan oleh aparat kepolisian dalam menyikapi kasus Elina. 

Saya mencatat sejumlah puzzle konyol di penanganan kasus Elina. Elina digusur, sejak bulan Agustus. Rumah di Dukuh Kuwuhan 27, Kelurahan Lontar, Kecamatan Sambikerep, Surabaya, itu juga sudah rata dengan tanah pada bulan yang sama. 

Elina melaporkan kasus ini, pada Oktober 2025. Polisi juga sudah berulangkali memeriksa Samuel yang kooperatif memberikan keterangan. Namun saat itu polisi seolah lambat dalam menangani kasus ini dan entah berskenario mau berujung ke mana kasus ini. 

Seusai kasus ini viral dan menjadi atensi publik, pada 29 Desember 2025, polisi tiba-tiba menampilkan epilog lucu yang menampilkan narasi penangkapan Samuel yang diborgol. Itu jelas lucu dan berlebihan. 

Peristiwa itu masih menyisakan tanda tanya besar, bagaimana hubungan penyidik dan Samuel saat kasus ini belum viral. Meski demikian, sebaiknya negara—dalam hal ini polisi—belajar tentang kesungguhan penegakan hukum yang menjadi tanggung jawab mereka. 

Pilihan langkah yang tepat dalam soal itu bisa menguatkan eksistensi negara. Sebaliknya, saat langkah yang diambil keliru, justru melemahkan eksistensi negara di hadapan publiknya sendiri. (*)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.