BANJARMASINPOST.CO.ID - Hari-hari awal kuliah menjadi fase paling berat bagi Noorhana. Faktor utamanya karena jarak yang tiba-tiba memisahkannya dari keluarga.
Untuk pertama kalinya, ia benar-benar harus mengatur hidup sendiri, mulai dari keuangan, waktu, hingga ketahanan mental.
Perempuan kelahiran Binuang, Tapin, 9 Maret 2004 itu datang dari lingkungan yang belum akrab dengan dunia pendidikan tinggi. Tak ada role model yang bisa dijadikan rujukan. Keputusan berkuliah lahir murni dari keinginannya sendiri. “Aku sempat ragu di awal. Tapi Alhamdulillah, akhirnya aku mampu menjadi sarjana pertama di keluarga,” kata Noorhana.
Keraguan itu makin terasa ketika ia melihat teman-temannya tampak lebih siap menjalani kehidupan kampus. Di momen-momen tertentu, perasaan kecil sempat menghampiri. Namun ia memilih berdamai dengan perasaan itu.
“Aku selalu menenangkan diri, aku meyakini bahwa setiap orang punya masalah dan perjuangannya masing-masing. Kita tidak pernah tahu apa yang mereka hadapi di balik apa yang terlihat,” ujarnya.
Di balik kesibukan perkuliahan dan organisasi, Noorhana mengakui pernah menangis sendirian. Tangis itu datang saat kelelahan menumpuk, ketika kuliah menyita tenaga, energi, dan keuangan, sementara aktivitas organisasi menuntut pengorbanan waktu yang besar.
Baca juga: Manchester United Kini Mengincar Langkah Mengejutkan Untuk Mendatangkan Bintang yang Mirip Beckham
“Menangis bukan karena ingin menyerah. Itu hanya jeda sebentar, supaya bisa kembali melangkah dengan lebih siap,” tuturnya.
Keinginan untuk berhenti selalu ia lawan dengan satu hal, yaitu keluarga. Dukungan orangtua dan saudara-saudaranya menjadi alasan paling jujur mengapa ia memilih bertahan.
“Perjuangan keluargaku, doa dan pengorbanan mereka, itu penguat terbesarku. Mereka tidak pernah menyerah, jadi rasanya aku tidak punya alasan untuk berhenti, hingga akhirnya dia menjadi sarjana pertama di keluarga,” ucap anak ketiga dari empat bersaudara pasangan Nor Ahdiyah dan Sudarto MR itu.
Berpindah dari Binuang ke Banjarmasin menjadi pengorbanan besar. Meski jarak kedua daerah tidak terlalu jauh, hidup tanpa orang tua membuat segalanya terasa berat. Noorhana harus beradaptasi dengan lingkungan dan gaya hidup baru, sembari tetap bertahan dan tumbuh.
Rasa capek menjadi teman yang akrab. Ia menjalani perkuliahan, aktif berorganisasi, dan bekerja di sela libur semester, mulai dari instansi, event organizer, hingga pekerjaan paruh waktu lainnya. “Di momen itu aku selalu percaya, Tuhan tidak mungkin membawaku sejauh ini hanya untuk gagal,” katanya.
Tak jarang, ia merasa bersalah karena tak bisa maksimal di semua peran. Namun Noorhana belajar untuk mengapresiasi dirinya sendiri terlebih dahulu, sebelum mengevaluasi kekurangan. “Menyalahkan diri tanpa evaluasi hanya akan melemahkan,” ujarnya.
Waktu menjadi hal yang paling terkuras selama aktif berorganisasi. Menambah jam produktif setelah hari perkuliahan yang panjang adalah konsekuensi yang ia sadari sejak awal.
Seluruh proses itu membuahkan hasil. Noorhana dinobatkan sebagai Wisudawan Terbaik Universitas Lambung Mangkurat (ULM). Saat namanya diumumkan, haru dan bangga hadir bersamaan.
Lulusan dari Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ini meraih IPK 3,91.
“Aku berterima kasih pada diriku sendiri karena sudah mau berjuang sejauh ini,” katanya.
“Aku berterima kasih pada diriku sendiri karena sudah mau berjuang sejauh ini,” katanya.
Noorhana mengaku kerap diberi label “ambisius”. Namun, label tersebut pahami secara berbeda. Baginya, ambisi adalah dorongan untuk bertumbuh, bukan hal yang perlu ditakuti. Gelar yang diraih pun tidak menghadirkan tekanan, melainkan ketenangan. (Muhammad Syaiful Riki)