Pencegahan kejahatan jalanan, ekstremisme dan radikalisme di kalangan anak-anak dan remaja butuh keterlibatan semua pihak, tidak hanya hanya mengandalkan pemerintah. Masyarakat dan keluarga sebagai lingkungan terkecil juga harus berperan dalam upaya
Sleman (ANTARA) - Hujan rintik-rintik di separuh perjalanan Desember 2025 merekam sebuah obrolan kecil kaum penikmat "wedangan" di sebuah warung angkringan di Sleman Timur, tak jauh dari bangunan megah peninggalan sejarah budaya Candi Prambanan.
Obrolan itu berlangsung dalam suasana remang-remang warung berkonkonstruksi gerobak kayu berukuran sekitar satu kali dua setengah meter yang diparkir di sisi luar bahu jalan raya dengan ditutup lembar terpal plastik warna biru selebar kira-kira tiga kali empat meter itu. Meski bersahaja, ada obrolan yang hangat, walau tidak sepanas secangkir kopi hitam yang ada di hadapan tiga pengunjung angkringan yang bertahan dengan konsep tradisional itu.
Ada sebuah keasyikan, ada sebuah pertanyaan, ada sebuah keprihatinan, ada sebuah kepedulian, dan tentunya sebuah keakraban yang menggiring mereka berdiskusi tentang berbagai fenomena di tanah air, termasuk tentang fenomena masih maraknya aksi kejahatan jalanan yang dilakukan anak-anak atau remaja, yang cukup tren dengan istilah "klitih", hingga kejadian peledakan di sebuah sekolah SMA di Jakarta pada awal November 2025.
"Narik sampai tengah malam gini ga takut 'klitih' apa mas...?," tiba-tiba si tukang angkringan menyela obrolan, dengan sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada salah satu pelangganya yang mengenakan jaket warna dominan hijau, khas sebuah jaket pengemudi ojek online (ojol).
Si mas berjaket hijau itu kemudian buru-buru meletakkan cangkir kopinya, saat mendengar sebuah pertanyaan yang ditujukan kepadanya.
"Takut ya ada pak, karena sudah banyak juga kejadian kejahatan di jalanan yang menimpa teman-teman ojol. Yang penting kita jangan lupa doa dan terus waspada aja, cari pekerjaan lain juga susah," jawab mas ojol yang berusia kisaran 40 tahun ini.
Seorang anak muda yang duduk di sebelah mas ojol, nampak menoleh dan seakan mengiyakan apa yang dikatakan mas ojol itu sambil juga ikut urun kata dalam obrolan malam itu.
"Ya keadaan saat ini memang sedang seperti itu, tidak sedikit anak-anak dan remaja yang salah memilih dalam mengaktualisasikan diri, banyak yang tidak tepat dalam berteman dan salah memilih pergaulan hanya untuk validasi diri," ujar anak muda yang nampaknya seorang mahasiswa itu.
Menurutnya, faktor-faktor tersebut memiliki andil cukup besar dalam kasus kejahatan jalanan yang dilakukan anak-anak atau remaja, selain faktor kondisi keluarga atau rumah tangga yang juga cukup berperan.
"Keliru memilih teman, salah bergaul, maraknya informasi yang tidak benar melalui berbagai media di internet serta kurangnya pengawasan orangtua atau keluarga, semua bisa disebut menjadi awal dari perilaku yang menyimpang seorang anak, mulai dari 'klitih', tawuran pelajar, penyalahgunaan narkoba sampai mungkin aksi radikalisme seperti kasus peledakan di SMA 72 Jakarta yang dilakukan siswa sekolah itu sendiri," katanya.
Ia juga tidak membantah bahwa sebenarnya pemerintah melalui perangkat yang dimiliki telah berupaya keras untuk mencegah atau meminimalisir kasus kejahatan jalanan anak-anak dan remaja, baik itu dari institusi Polri maupun perangkat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
"Pencegahan kejahatan jalanan, ekstremisme dan radikalisme di kalangan anak-anak dan remaja butuh keterlibatan semua pihak, tidak hanya hanya mengandalkan pemerintah. Masyarakat dan keluarga sebagai lingkungan terkecil juga harus berperan dalam upaya ini," katanya.
Gerakan Ibu Memanggil
Menyikapi fenomena ini, sebenarnya Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sejak 2023 telah mencanangkan "Gerakan Ibu Memanggil".
Gerakan Ibu Memanggil yang digaungkan saat Kapolda DIY dijabat Irjen Pol Suwondo Nainggolan pada 2023 mengajak orang tua untuk memberikan perhatian lebih kepada anak yang menginjak remaja.
Gerakan itu mengingatkan dan mengajak orang tua, khususnya ibu-ibu, agar bisa berkomunikasi dengan anak, demi mencegah terjadinya kasus kejahatan jalanan yang terjadi di wilayah DIY.
Orangtua diharapkan lebih berperan aktif dalam menjaga anak anaknya di rumah dan senantiasa memberikan perhatian lebih. Karena kurangnya pengawasan, para remaja mencari perhatian di luar rumah. Mereka melakukan kejahatan jalanan sebagai bentuk pembuktian diri sendiri yang butuh pengakuan dari teman sebayanya sehingga bisa terkenal di kalangan teman-temannya. Orang tua harus bisa memberikan pengertian terkait pergaulan.
Keberadaan anak-anak di luar rumah harus dibatasi, maksimal sampai dengan pukul 22.00 WIB. Apabila anak belum kembali ke rumah maka ibu harus menghubungi anaknya.
Dalam Gerakan Ibu Memanggil, ibu harus menghubungi anaknya sebanyak 10 kali. Apabila tidak terhubung dan tidak ada balasan dapat berkoordinasi dengan Polri/TNI. Dapat menghubungi Bhabinkamtibmas dan Babinsa untuk menyelesaikan setiap ada permasalahan anak pada malam hari.
Dengan adanya program "Ibu Memanggil" diharapkan peran dari para ibu agar lebih aktif untuk memberikan perhatian kepada anak anaknya.
Deteksi dini radikalisme di lingkungan pendidikan
Dalam upaya untuk mendeteksi dini munculnya radikalisme dan ekstremisme khususnya di lingkungan sekolah, Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, terus melakukan peningkatan kapasitas di satuan pendidikan.
Kepala Badan Kesbangpol Kabupaten Sleman, Samsul Bakri, menyebut bahwa peningkatan kapasitas satuan pendidikan tersebut juga dimaksudkan untuk menjaga keamanan dan ketahanan ideologi di lingkungan pendidikan.
Salah satu upaya peningkatan kapasitas yang dilakukan yakni melalui seminar Pencegahan Ekstremisme, Radikalisme dan Terorisme di Lingkungan Pendidikan bekerja sama dengan Satgaswil Densus 88 Anti Teror DIY.
Kegiatan seminar dengan fokus pada penanggulangan anak terpapar radikalisme di lingkungan pendidikan ini dihadiri sekitar 70 kepala sekolah jenjang SMP/MTs dan SMA/SMK/MA Negeri se-Kabupaten Sleman serta unsur Forkopimda Sleman.
Dalam kegiatan yang berlangsung pada akhir November 2025 itu, Satgaswil Densus 88 Anti Teror DIY memberikan pemahaman kepada para tenaga kependidikan di Sleman perihal perkembangan potensi radikalisme di Indonesia, termasuk meningkatnya Indeks Potensi Radikalisme nasional pada 2023 yang mencapai 11,7 persen.
Disampaikan pula temuan terkait 110 anak usia 10–18 tahun di 23 provinsi yang dicurigai telah direkrut oleh jaringan terorisme melalui media sosial dan platform permainan daring.
Faktor-faktor kerentanan seperti ketidakharmonisan keluarga, perundungan, dan pencarian identitas diri diidentifikasi sebagai celah yang dimanfaatkan kelompok radikal.
Densus 88 menegaskan urgensi penguatan deteksi dini, pengawasan lingkungan pendidikan, serta kolaborasi sekolah dengan orang tua serta pemerintah untuk mencegah penyebaran paham ekstrem.
Akademisi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Diasma Sandi Swandaru, yang menjadi narasumber pada kegiatan itu juga menekankan pentingnya nilai-nilai kebangsaan dalam memperkuat ketahanan ideologis generasi muda.
Menurutnya tantangan globalisasi dan derasnya arus informasi digital menuntut penguatan pendidikan karakter, toleransi, dan pemahaman lintas budaya, agar peserta didik tidak mudah terpengaruh narasi ekstremisme. Nilai-nilai kebangsaan ditawarkan sebagai modal utama dalam membangun daya tangkal ideologis di lingkungan sekolah dan masyarakat.







