POSBELITUNG.CO - Kasus kepemilikan tanah dan bangunan seperti yang viral terjadi pada Nenek Elina terjadi lagi.
Kali ini menimpa nenek bernama Kushayatun (65).
Nenek Kushayatun bingung sertifikat rumahnya berganti nama dan akan dibongkar tanpa putusan pengadilan.
Adapun rumah yang dimaksud adalah rumah Nenek Kushayatun di di Kelurahan Kraton, Tegal Barat, Kota Tegal, Jawa Tengah dibongkar tanpa putusan pengadilan.
Rumah Nenek Kushayatun dibongkar oleh pihak yang mengklaim sebagai pemilik sah.
Pembongkaran melibatkan kehadiran aparat pemerintah di lokasi seperti Satpol PP, hingga Camat dan Lurah.
Kasus itu kemudian dilaporkan ke kepolisian, Wali Kota Tegal, hingga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Kuasa hukum Kushayatun, Agus Slamet dari LBH FERARI Tegal menegaskan bahwa pembongkaran dan pemagaran rumah kliennya pada Rabu 1 Oktober 2025 dilakukan tanpa dasar hukum berupa putusan atau penetapan pengadilan.
Mennurut dia kasus ini mirip dengan kasus pengusiran Nenek Elina di Surabaya yang viral baru-baru ini.
"Ini yang membuat kasus Kushayatun mirip dengan (pengusiran) Nenek Elina di Surabaya. Sama-sama tidak ada proses eksekusi dari pengadilan, tetapi bangunan sudah dibongkar," ujar Agus Slamet, Senin (29/12/2025), melansir dari Kompas.com.
Menurut Agus, meski ada klaim kepemilikan tanah melalui sertifikat, setiap pengosongan paksa wajib melalui mekanisme hukum, bukan dilakukan secara sepihak.
Pria yang akrab disapa Guslam menyebut rumah yang ditempati Kushayatun diketahui telah dihuni secara turun-temurun sejak tahun 1887.
Namun di tahun 2004, tiba-tiba muncul sertifikat tanah atas nama orang lain dan berpindah tangan lagi ke orang lain.
"Tiba-tiba tahun 2004 ada orang yang mengaku memiliki sertifikat tanah. Oleh si orang tersebut di tahun 2020 dijual ke orang Banyumas. Di tahun 2024 orang Banyumas itu melayangkan beberapa somasi ke nenek Kushayatun akhirnya terjadi pembongkaran," kata Guslam.
Padahal, ungkap Guslam, Kushayatun maupun anggota keluarga lainnya merasa tidak pernah menjual tanah dan bangunan ke siapa pun.
Pihak keluarga merasa heran bagaimana sertifikat bisa terbit tanpa adanya transaksi dari penghuni asli.
"Klien kami tidak pernah menjual, menghibahkan atau memindahtangankan tanah itu. Tapi tiba-tiba ada sertifikat dan langsung diikuti somasi hingga pembongkaran," tegas Guslam.
Atas peristiwa tersebut, pihaknya telah melaporkan kasus itu ke sejumlah pihak.
Seperti dugaan pelanggaran kode etik aparatur sipil negara (ASN) kepada Wali Kota Tegal sebagai pembina ASN. Hal ini didasari keberadaan oknum pejabat yang berada di lokasi saat perobohan bangunan dilakukan.
"Dan wali kota telah memerintahkan inspektorat memeriksa teradu oknum ASN yang berada di lapangan ketika pembokaran dilakukan," kata Guslam.
Selanjutnya, pihaknya juga telah mengadu ke DPRD Kota Tegal agar menggali keterangan dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) soal sertifikat tanah tersebut. Pihak LBH FERARI ingin memastikan keabsahan dokumen yang menjadi dasar pengusiran kliennya.
Terakhir, ungkap Guslam, pihaknya juga sudah melaporkan kasus itu ke pihak kepolisian. Laporan ini ditujukan kepada tiga pihak yang dianggap paling bertanggung jawab atas insiden pembongkaran paksa di Kelurahan Kraton tersebut.
"Tiga orang yang kita laporkan ke Polres Tegal Kota. Pertama, orang penerima perintah pembongkaran, kedua pemberi perintah, dan ketiga pembeli tanah yang baru," kata Guslam.
Guslam menyebut perkembangan terbaru lima orang kuli bongkar yang terlibat dalam perobohan bangunan telah lebih dulu dimintai keterangan oleh penyidik Polres Tegal Kota.
Kini penyidikan mulai mengarah pada saksi-saksi dari pihak pemerintahan.
"Beberapa waktu lalu para pekerja bongkar sudah diperiksa. Informasi terbaru yang kami terima, Senin (29/12/2025), Lurah Kraton dan Camat Tegal Barat dipanggil penyidik untuk dimintai keterangan," kata Guslam.
Pemanggilan tersebut dinilai Guslam sangat penting, mengingat sebelumnya terdapat dugaan keterlibatan ASN dalam proses pembongkaran dan pemagaran rumah Kushayatun.
Guslam menilai, jika tidak ditangani secara transparan dan adil, kasus Kushayatun berpotensi menjadi gelombang kemarahan publik seperti yang terjadi pada kasus Nenek Elina di Surabaya.
Apalagi, rumah tersebut juga dijadikan tempat usaha mencari nafkah keluarnya dengan membuka warung kecil-kecilan. Hilangnya bangunan berarti hilangnya mata pencaharian bagi keluarga Kushayatun.
"Ini bukan sekadar sengketa tanah, tapi menyangkut rasa keadilan. Apalagi korbannya lansia. Negara seharusnya hadir melindungi, bukan justru membuat warga takut," kata Guslam.
Guslam berharap aparat penegak hukum dapat mengusut tuntas peristiwa ini. Termasuk mendalami peran seluruh pihak yang berada di lokasi saat pembongkaran berlangsung tanpa mengantongi izin resmi dari pengadilan.
"Kasus ini harus terang. Jangan sampai Kota Tegal dicatat publik sebagai daerah yang membiarkan warganya kehilangan rumah tanpa proses hukum. Dan sebenarnya lebih parah di Tegal dari pada di Surabaya. Karena ada keterlibatan ASN," kata Guslam.
Sementara itu, Lurah Kraton, Sugiarti dan Plt Camat Tegal Barat, Teti Kirnawati saat dikonfirmasi wartawan membenarkan pemanggilan dirinya di Unit I Polres Tegal Kota.
"Betul, tadi pagi jam 09.00 WIB ke Unit I. Hanya sebentar saja untuk klarifikasi," kata Teti kepada wartawan.
Hingga saat ini, belum ada keterangan resmi dari pihak yang mengklaim sebagai pemilik sah tanah yang diduduki nenek Kushayatun tersebut. Kuasa hukum nenek Kushayatun menyebut orang tersebut tidak berdomisili di Kota Tegal. (Tribun Jatim/ Posbelitung.co)