Ritual Sengkala di Candi Borobudur : Keluh Kesah ke Leluhur Soal Pembangunan yang Tak Berpihak  
Gaya Lufityanti September 23, 2024 12:30 AM

TRIBUNJOGJA.COM, MAGELANG - Alunan lembut suara gong berpadu dengan dentuman alat musik gendang mengiringi ogoh-ogoh yang diarak sejumlah orang ke Lapangan Kenari, Kompleks Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah pada Rabu (18/9/2024).

Di monumen Buddha terbesar itu, enam orang seniman dan budayawan yang tergabung dalam Daya Desa Borobudur menggelar ritual adat buang sengkala.

Diadakan sebagai bentuk doa dan penyampaian keluh kesah kepada leluhur soal pembangunan yang dianggap belum berpihak pada masyarakat setempat.

"Ini wujud kepedulian kami sebagai warga Desa Borobudur, melalui lembaga adat desa. Banyak kebijakan pembangunan yang tidak sesuai dengan kebutuhan kami. Lewat ritual ini, kami sampaikan keluh kesah kepada leluhur," ujar Ketua Daya Desa Borobudur Lukman Fauzi yang juga terlibat dalam ritual tersebut.

Sengkala dalam wujud ogoh-ogoh dimaknai sebagai musibah yang bisa menimpa masyarakat.

Wujudnya beragam mulai dari bencana alam hingga ulah manusia itu sendiri.

Hal-hal tersebut berpotensi mengganggu keseimbangan nilai kebajikan di Borobudur.

"Jadi apapun yang bisa menimbulkan ketidak sinkronan nilai di Borobudur karena Borobudur itu kan nilai kebajikan sehingga kalau tidak bajik diharapkan tidak masuk sini," katanya.

Lukman mengatakan, proyek penataan Candi Borobudur yang terus digaungkan pemerintah acap kali meninggalkan masalah. 

Dia mencontohkan proyek pembangunan Kampung Seni Kujon yang sebentar lagi akan diresmikan presiden. 

Menurutnya, pelibatan masyarakat lokal dalam proyek tersebut masih tergolong minim. 

"Pemerintah membangun kampung seni tapi tidak melibatkan seniman," tambahnya.

Dia juga menyoroti upaya pemerintah untuk memasang chattra di stupa induk Candi Borobudur tanpa kajian akademik yang matang. 

Baru-baru ini pemerintah membatalkan rencana tersebut karena pemasangan chattra akan membahayakan struktur candi.

"Ketika banyak proyek dari pusat sampai ke sini, kami sebenarnya tidak pas karena kami tidak diajak ngobrol. Kadang-kadang pendekatannya menjadi top down bahkan tidak ada pembicaraan bersama masyarakat, misalnya kebutuhan masyarakat itu apa," ungkapnya. 

Dia merasa bahwa pemerintah mengabaikan peran masyarakat untuk turut serta menjaga Candi Borobudur . 

Padahal para leluhur sudah melestarikan Candi Borobudur selama berabad-abad. 

"Ini yang membuat kami ingin menyuarakan, di Borobudur ada masyarakatnya loh. Ada sejarahnya, bahwa ulu mereka yang memelihara candi sebelum pemerintah itu hadir," katanya.

Dilarung

Setelah diarak dan didoakan di pelataran candi, ogoh-ogoh berbahan dasar daun pisang kering itu lantas dibakar dan abunya dilarung ke sungai sebagai simbol pelepasan masalah.

Daun pisang kering sengaja dipilih sebagai bahan dasar pembuatan ogoh-ogoh. Menurut Lukman, ada makna mendalam dibalik keputusan tersebut. 

"Daun pisang ada di mana-mana. Ketika sudah kering, itu menunjukkan bahwa siklus hidup akan kembali netral," jelasnya. 

Melalui pembakaran ogoh-ogoh ini, mereka berharap semua masalah yang menimpa Borobudur akan terurai dan lenyap, kembali ke keadaan harmonis dan selaras dengan alam serta adat lokal.

"Daun pisang yang dibakar menandakan persamaan tentang hidup dan itu menjadi personifikasi akan menjadi netral kembali kemudian kita buang ke samudra melalui Sungai Progo yang menjadikan adat di Desa Borobudur bisa kembali lestari," jelasnya.

Sementara itu, Koordinator Museum dan Cagar Budaya Borobudur Wiwit Kasiyati mengapresiasi kegiatan ritual yang dilangsungkan oleh seniman Borobudur tersebut. 

"Ritual itu merupakan bagian dari kebudayaan, termasuk dari sepuluh objek pemajuan kebudayaan," paparnya. ( Tribunjogja.com )

© Copyright @2024 LIDEA. All Rights Reserved.