Kesalahpahaman Makna Ekologi dalam Diskursus Publik
Shinta Silvia October 02, 2024 10:40 AM
Penggunaan istilah ekologi dan ekologis dalam wacana publik saat ini sering kali menyimpang dari makna aslinya yang dirumuskan oleh ilmuwan Ernst Haeckel (1866). Istilah-istilah tersebut tidak lagi terbatas pada ilmu deskriptif tentang hubungan antara organisme dan lingkungannya, melainkan telah berkembang mencakup aspek politik, moral, dan bahkan ideologis. Hal ini mengakibatkan distorsi makna yang mengaburkan perbedaan antara fakta ilmiah dan nilai-nilai normatif.
Bahkan terkadang penggunaan ekologis tidak tepat sehingga membawa implikasi normatif yang sering kali tidak disadari oleh masyarakat. Dalam wacana sehari-hari, ekologis sering kali dipahami sebagai sinonim untuk sesuatu yang baik atau ideal dari sudut pandang lingkungan. Misalnya, istilah seperti ekonomi ekologis, sabun cuci ekologis, atau keyakinan ekologis menyiratkan bahwa suatu produk atau gagasan tidak hanya benar secara ilmiah tetapi juga etis.
Namun, jika kita menelaah lebih jauh, lawan kata ekologis dan nonekologis secara deskriptif tidak masuk akal. Semua interaksi antara organisme dan lingkungan baik yang dihasilkan secara alami atau melalui intervensi manusia tetap merupakan hubungan ekologis. Ekologi tidak dapat memutuskan keadaan mana yang baik atau buruk secara intrinsik. Misalnya, kolam eutrofik yang penuh dengan alga tidak kurang ekologis dibandingkan sungai pegunungan yang jernih, karena keduanya adalah hasil dari interaksi antara organisme dan lingkungannya.
Ekologi hanya mempelajari interaksi tanpa menilai moralitas atau kualitas hubungan. Namun, masyarakat sering kali mengharapkan ekologi memberikan penilaian moral tentang kondisi lingkungan, yang menunjukkan adanya kesalahpahaman tentang peran ilmu ekologi.
Gagasan populer tentang kondisi ekologis ideal sering kali mencerminkan pandangan antropentris, di mana keseimbangan, harmoni, dan keberlanjutan dianggap sebagai tujuan utama. Namun, ini adalah ilusi. Perspektif ekologis yang ideal sangat bergantung pada sudut pandang makhluk yang terlibat.
Misalnya, seekor lalat rumah mungkin menganggap lingkungan yang kaya dengan sampah organik sebagai ideal, sementara manusia akan menganggapnya tidak sehat. Perspektif yang sangat bervariasi ini menunjukkan bahwa tidak ada satu pun keadaan ekologis yang bisa dianggap ideal bagi semua spesies, termasuk manusia.
Setiap spesies memiliki keadaan ekologis yang variatif dan relatif. Burung membutuhkan keadaan ekologis yang berbeda dari spesies lain. Foto: https://www.pexels.com/
Jika kita mencoba mendefinisikan kondisi ekologis yang ideal dari sudut pandang antropentris, kita mungkin bisa menemukan beberapa kesimpulan tentang bagaimana lingkungan yang mendukung kesejahteraan manusia. Namun, ini tetap problematis. Setiap manusia memiliki preferensi yang berbeda mengenai habitat yang diinginkan. Beberapa mungkin lebih menyukai hutan alami, sementara yang lain mungkin lebih memilih lanskap pertanian atau bahkan lingkungan perkotaan.
Pendekatan antropentris ini sering kali menimbulkan kritik etis, karena hanya memperhatikan kepentingan manusia dan mengabaikan kebutuhan spesies lain. Sama seperti spesies yang memiliki kepentingan yang berbeda dalam suatu ekosistem, manusia juga memiliki gagasan yang berbeda mengenai kondisi ekologis yang diinginkan. Wacana ekologi tidak memberikan jawaban universal tentang kondisi ekologis yang ideal.
Kesalahpahaman yang lebih serius muncul ketika klaim-klaim normatif secara tidak sadar ditumpangkan pada fakta-fakta ekologis. Masyarakat sering kali berasumsi bahwa pengetahuan ilmiah tentang ekologi secara langsung dapat diterapkan untuk menentukan tindakan yang harus diambil. Namun, fakta ilmiah harus dipisahkan dari nilai-nilai normatif. Meskipun fakta ilmiah mungkin benar, jika digabungkan dengan premis normatif yang tidak tepat, hasilnya bisa menyesatkan (Gorke, 2003).
Penting untuk membedakan fakta ekologis dari klaim normatif yang melekat pada mereka. Dalam diskusi tentang konservasi alam dan etika lingkungan, sering kali digunakan slogan-slogan yang mengasumsikan nilai-nilai tertentu, seperti pentingnya keanekaragaman hayati atau stabilitas ekologis. Namun, klaim-klaim ini tidak selalu memiliki dasar ilmiah yang jelas, melainkan berasal dari premis non-ekologis yang jarang diakui.
Alhasil, perdebatan tentang apa yang dianggap sebagai ekologis dalam diskursus publik sebenarnya lebih berkaitan dengan nilai-nilai manusia daripada dengan fakta ilmiah tentang ekologi. Pemisahan yang jelas antara keduanya diperlukan agar kita tidak mengambil kesimpulan yang salah meskipun fakta-fakta ilmiahnya benar.
© Copyright @2024 LIDEA. All Rights Reserved.