Komunitas dan Politik Kebudayaan Kota Yogyakarta
Halim HD October 09, 2024 12:20 PM
Rasanya bukan kesemberonoan, bukan pula takabur, dan tak berniat untuk meremehkan jika saya menyatakan tanpa ikut campur instansi pemerintah yang mengurusi kehidupan seni budaya, kesenian di Yogyakarta akan tetap jalan. Hal yang sama sesungguhnya terjadi di berbagai kota-daerah.
Pernyataan itu berulang kali saya sampaikan sejak belasan tahun yang lalu di berbagai diskusi di Yogyakarta dan beberapa kota lainnya, berkaitan dengan posisi komunitas seni dalam masyarakat di perkotaan dalam kasus Yogyakarta.
Sesungguhnya, posisi-fungsi komunitas seni sebagai basis sosial kehidupan dan sistem produksi kebudayaan merupakan hal terpenting, seperti yang saya nyatakan pada kata pengantar pembukaan Munas Dewan Kesenian se Indonesia di Jakarta pada November 2023: komunitas sebagai wujud pengelola basis material kebudayaan dalam makna kata kerja.
Yang ingin saya tegaskan, bahwa dengan adanya komunitas dalam berbagai wujudnya seperti sanggar, padepokan, keluarga-keluarga tradisi, grup serta platform yang belakangan bermunculan seperti jamur di musim penghujan di kalangan kaum muda harus lebih diperhatikan sebagai modal sosial dalam merumuskan kebijakan kebudayaan di perkotaan.
Mereka merupakan subjek kebudayaan yang menjadikan suatu kota memiliki progresi ke arah yang lebih dinamik, membuat kota menjadi hidup dalam keragaman nilai kultural.
Tentu peranan Pemkot memiliki kontribusi. Dan kontribusi Pemkot kepada kehidupan seni budaya jika memiliki suatu rancangaan tata ruang dan politik non-birokrasi, sejenis praktik de-birokratisasi dalam kaitannya dengan perizinan dan penggunaan ruang publik.
Dan satu hal terpenting lainnya, jika Pemkot menerapkan praktik transparansi di dalam pengelolaan dana dan anggaran kesenian. Sebab,salah satu praktik umum yang terjadi dalam rencana anggaran, hanya kalangan dekat dengan elite Pemkot yang bisa mengetahuinya. Praktik anggaran yang bersifat subjektif inilah yang sering menciptakan kecurigaan kaum seniman kepada kaum birokrat.
Hal ini juga membawa dampak kepada pemilihan karya, kurasi, jika ada festival, pameran atau acara yang diselenggarakan oleh Pemkot. Dalam konteks itulah, terasa Pemkot Yogyakarta masih lebih baik dibandingkan dengan Pemkot lainnya di Indonesia.
Dalam konteks komunitas seni di perkotaan itu, kita bisa melihat sejarah kehidupan kesenian di Yogyakarta, seperti Sanggar Bumi Tarung, Persada Studi Klub, Sanggarbambu, Padepokan Seni Bagong Kussudiarja, dan puluhan grup teater, tari dan musik.
Bahkan komunitas yang bukan berasal dari Yogyakarta mendirikan grup seni rupa seperti Jendela, Sanggar Dewata. Dalam konteks kegiatan yang fenomenal seperti ArtJog yang sudah memasuki belasan tahun dan kini menjadi ikon dunia senirupa bukan hanya untuk Indonesia saja tapi juga Asia Tenggara.
Pasti Artjog tak hadir sendiri. Sejarah kehadiran galeri dan komunitas perupa ikut andil memberikan kontribusi. Sementara itu Sastra Bulan Purnama yang secara ajeg perbulan menyelenggarakan acara sastra seperti menjadi kelanjutan sejarah Persada Studi Klub yang telah menggoreskan namanya dalam sejarah sastra di Yogyakarta.
Yang menarik jika kita mengajukan pertanyaan, kenapa pula Yogyakarta bagaikan ibu kandung yang senantiasa melahirkan berbagai komunitas yang menciptakan beragam aktivitas, termasuk di antaranya dunia penerbitan indie yang menjadi ikon budaya baca di Yogyakarta.
Sejarah sosial Yogyakarta yang pernah menjadi ibukota Republik menjadi salah satu faktor penting dalam kaitannya dengan pertumbuhan pemikiran dan aktivitas yang kuat relasinya dengan berbagai organisasi sosial-politik. Lekra yang berideologi Kiri, Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), Lesbumi dan berbagai organisasi lainnya pernah mengisi kehidupan kebudayaan di Yogyakarta.
Dalam konteks itulah perkembangan organisasi dan berbagai komunitas tumbuh seiring dengan arah “ideologi” dan arus pemikiran. Salah satu hal terpenting dari perkembangan itu, di antara arus “ideologis” dalam konteks kebudayaan juga memunculkan kehadiran mereka yang ingin tumbuh berkembang secara lebih independen, “non-ideologis”, dan mengaitkannya dengan sejarah dan tatanan nilai lokal yang bersumber dari Taman Siswa.
Pada sisi perspektif akademis ikut pula memunculkan berbagai komunitas yang berkaitan dengan disiplin teori kajian dalam seni pertunjukan, sastra, seni rupa. Berkaitan dengan hal itu, kita bisa menyatakan bahwa ada relasi yang kuat antara pertumbuhan dan perkembangan komunitas dengan keberadaan
kampus-kampus di Yogyakarta dan wilayah kota lainnya. Kampus bukan hanya menjadi basis pemikiran tapi juga sebagai basis sosial dengan posisi mahasiswa dan kaum muda dalam proses pelibatan dirinya ke dalam kehidupan seni budaya.
Lintasan sejarah sosial ini ingin menegaskan bahwa Yogyakarta merupakan sejenis Kawah Candradimuka bagi kaum seniman dan pelaku kebudayaan dalam berbagai genre pemikiran dan praktik artistik yang diwujudkannya melalui berbagai komunitas.
Perkembangan inilah yang terus berlanjut sejak lebih setengah abad, dalam wujudnya yang lebih canggih dan dengan dukungan teknologi komunikasi maka jejaring komunitas kian intensif dan menguat dan menjadikan Yogyakarta episentrum perkembangan kesenian dan arus pemikiran kebudayaan.
Tentu, Solo, Bandung, Jakarta, Surabaya, Makassar, Denpasar, Medan dan kota-kota lain juga ikut memiliki kontribusi dalam perkembangan kesenian di Indonesia. Dan hal itu membuktikan bahwa ruang perkotaaan, urban, merupakan ruang bagi proses, laboratorium pembentukan kesadaran kepada jejaring dan yang menciptakan kesadaran ke-Indonesia-an yang didasarkan kepada arus dunia modern.
Melalui perspektif memandang komunitas sebagai basis kebudayaan, kita berharap kepada pengelola kota seiring dengan Undang Undang Pemajuan Kemajuan (UUPK) untuk lebih memperhatikan dalam penerapan politik kebudayaan. Dan salah satu poin terpenting dari politik kebudayaan yang harus diterapkan berupa proses penciptaan ekosistem melalui penataan ruang publik.
Melalui ruang publik sebagai ruang dan sekaligus laboratorium sosial bagi pertumbuhan dan perkembangan kehidupan kebudayaan dengan meletakkan posisi warga sebagai subjek pengelola komunitas. Tanpa peran serta warga dalam proses kebudayaan, kota akan mengalami keterasingan, dan hanya menjadi lahan pasar produk kebudayaan yang bukan miliknya.
© Copyright @2024 LIDEA. All Rights Reserved.