Jangan Pupus: Desak Pengesahan RUU Masyarakat Adat
Patricia, J October 09, 2024 01:21 PM
Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya dengan budaya dimana menurut data BPS, terdapat lebih dari 1.300 suku di Indonesia. Setiap suku memiliki ciri khas dan tradisi unik yang menciptakan mozaik budaya beragam dan berwarna, sebuah keistimewaan yang membuat Indonesia menjadi negara yang sangat beragam dan kaya. Adat istiadat merupakan inti dari entitas suatu masyarakat adat, membentuk pola perilaku dan tradisi yang unik di setiap daerah di Indonesia.
Masyarakat hukum adat disebut juga dengan istilah “masyarakat tradisional” atau the indigenous people, dalam kehidupan sehari-hari lebih sering dan populer disebut dengan istilah “masyarakat adat”. Mereka adalah masyarakat yang timbul secara spontan di wilayah tertentu, yang berdirinya tidak ditetapkan atau diperintahkan oleh penguasa yang lebih tinggi atau penguasa lainnya, dengan rasa solidaritas yang sangat besar diantara para anggota masyarakat sebagai orang luar dan menggunakan wilayahnya sebagai sumber kekayaan yang hanya dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh anggotanya.
Menelik kepada kasus-kasus yang terjadi, nasib masyarakat adat masih terancam akibat penguasaan tanah oleh para kapitalis. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai kepastian hukum untuk menjamin kehidupan adat mereka. Eksistensi masyarakat adat selalu dihadapkan pada pilihan antara tanah dan uang. Salah satu konflik pada 2024 yaitu gerakan “All Eyes on Papua” terhadap suku Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan dan suku Moi di Sorong, Papua Barat Daya yang memicu perbincangan luas soal deforestasi dan pelanggaran hak asasi. Selain itu kasus Sorbatua Siallagan yang dihukum 2 tahun penjara dan denda Rp 1 Miliar subsider 6 bulan kurungan karena pertahankan tanah adat, ia didakwa atas tuduhan pengrusakan dan penguasaan lahan di Huta Dolok Parmonangan. Hamparan tanah yang diperjuangkan oleh masyarakat dialihkan menjadi perkebunan sawit atau kasus-kasus lain yang berpotensi tidak terekspos.
Peran dari masyarakat adat cukup krusial di tengah-tengah perkembangan zaman yang sering sekali melewatkan keutuhan ekosistem hutan. Masyarakat hukum adat merasa penting dan sudah menjadi kewajiban yang tertanam dalam diri mereka untuk merawat, melindungi, mengelola apa yang diberikan hutan kepada mereka dengan sebaik mungkin. Mereka memiliki hukum adat sendiri dalam mengelola hutan lindung. Sebagai contoh, masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan, hukum adat mereka mencakup bahwa kayu yang ada di dalam Tombak Raja tidak boleh dijual. Setelah Indonesia merdeka, sebagian kawasan hutan masyarakat Ompu Umbak Siallagan berfungsi sebagai hutan lindung. Mereka berprinsip, kayu dari Tombak Raja hanya boleh diambil untuk mendirikan rumah di Kampung Dolok Parmonangan. Itupun hanya boleh dua pokok kayu, dan sebagai gantinya harus ditanam kembali 20 pokok bibit kayu.
Tak jarang terdengar kabar masyarakat adat yang dikriminalisasi akibat keteguhan mereka menjaga hutan lindung. Prinsip mereka bertentangan dengan keinginan para pengusaha dan penguasa yang ingin mengubah hutan tersebut menjadi hutan uang atau hutan industri yang pada akhirnya merusak ekosistem sejatinya hutan.
RUU masyarakat adat yang telah disusun sejak tahun 2010 dan telah masuk Program Legislasi DPR sebanyak tiga kali, mangkrak selama 14 tahun. Ini menjadi benang merah pertanyaan kebijakan tata kelola agraria yang berkeadilan hukum dan berbasis hak asasi manusia. Undang-undang agraria adalah bukti bahwa tanah adat diakui negara karena secara eksplisit menyebutkan hak ulayat, bahwa hukum adat merupakan entitas tersendiri. Hukum adat merupakan dasar dari hukum undang-undang agraria saat ini. Penjelasan pasal per pasal yang dijelaskan dari undang-undang pokok agraria selalu mengacu kepada hak ulayat dan mengatur hak milik atas tanah adalah hak turun-temurun yang terkuat dan terpenuh. Masyarakat adat berhak menikmati segala hak yang seharusnya dimiliki dan dinikmati oleh semua umat manusia di planet bumi ini, termasuk hak untuk menghargai dan mengatur tanah yang merupakan sumber kehidupan dan identitas.
Sekian banyak peraturan yang dibuat dinilai miring karena dianggap sebagai bentuk intervensi dan sebagai upaya mengenyampingkan masyarakat adat dari hak ulayat dan sumber daya alam yang merupakan kewenangan mereka. Pantas jika AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) bersama Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pada 25 Oktober tahun lalu dikarenakan pembahasan RUU Masyarakat Adat berlarut-larut sehingga menimbulkan kerugian akibat tidak adanya kepastian hukum yang menjamin keberadaan masyarakat adat. RUU masyarakat adat hendaknya tidak menjadi sebuah harapan yang pupus.
© Copyright @2024 LIDEA. All Rights Reserved.