Ini Baru “Humor Cerdas”: Matematika Dalam Humor
Esha Rahman October 11, 2024 01:20 PM
Memahami matematika yang Thurston (1946-2012) maksud sebenarnya tidak harus sampai menjadi profesor seperti dirinya. Setidaknya, pelajar bisa menyadari dulu bahwa matematika itu cara bernalar. Sayangnya, yang viral-viral belakangan malah menunjukkan sebaliknya: matematika itu ibarat mimpi buruk yang sengaja dihindari sepanjang hidup.
Misalnya, seorang warganet bernama Anas Baihaqi membagikan keresahannya mengenai anak magang di kantornya. Katanya, ada oknum pelajar jenjang SMK yang masih kesulitan menjawab penjumlahan sederhana seperti 6+8. Bahkan, ia tidak tahu cara membaca bilangan “101.500”.
Ada juga YouTuber Ferry Irwandi yang mengungkap fenomena miris. Saat ia mewawancarai belasan siswa SMP dari berbagai daerah dan meminta mereka menjelaskan rumus Phytagoras, cuma satu yang bisa menjawab benar. Beberapa di antaranya malah bertanya balik, “Phytagoras itu apa?” (@irwndfrry, 24/9/24).
Syukurlah kalau setelah membaca paragraf di atas, Anda masih terdorong untuk mengingat kembali rumus Phytagoras – minimal mencari tahunya di Google. Setidaknya, kalau tiba-tiba ditodong content creator di jalan nanti, Anda tidak blank-blank amat.
Namun sebenarnya, ada problem yang lebih besar dari narasi-narasi itu. Berdasarkan data dari PISA (Program for International Student Assessment) 2022, skor literasi matematika Indonesia adalah 366. Angka tersebut tidak hanya menjadi rerata terendah Indonesia sejak 2006, tetapi juga memperjelas ketimpangan kita dengan negara lain yang kisarannya 465-475.
Terobosan jelas diperlukan. Minimal, perlu ada pembenahan strategi yang sudah ada sembari mencari alternatif untuk membuat pelajar lebih tertarik dengan matematika hingga mampu memahaminya lebih baik.
Mengadaptasi ide dari seorang penggiat literasi matematika, John Allen Paulos, matematika ternyata bisa diselami lewat humor. Jelas Paulos, dalam Mathematics and Humor (1980, h.11), pada dasarnya memahami logika yang benar adalah kunci untuk “menangkap” sebuah humor. Ini mirip dengan proses kita memahami konsep matematika untuk menemukan penyelesaiannya.
Professor asal Amerika itu turut menjelaskan jika matematika maupun humor sama-sama bersifat “ekonomis”. Sebuah bukti matematis yang baik harus bisa disampaikan secara singkat dan padat agar tidak membingungkan. Begitu pun dengan lelucon, yang kalau diceritakan dengan bertele-tele akan membunuh unsur lucunya sendiri.
Kenalkan “Matematika dalam Humor”
Lantas, bagaimana aplikasi membuat pelajar tertarik dengan matematika lewat humor?
Pintu masuk konsepnya ada di Encyclopedia of Humor Studies (2014, h.487-491). Perlu diketahui dulu bahwa ada dua konsep persilangan matematika dan humor: Matematika dalam Humor (MDH) dan Humor dalam Matematika (HDM).
MDH merujuk pada konteks ketika konsep matematika digunakan dalam sebuah joke, meme, materi stand-up comedy, dan lain-lain. Sebaliknya, HDM adalah humor yang berada dalam konteks matematika itu sendiri.
MDH biasanya lebih umum digunakan daripada HDM. Sebab dalam MDH, matematika hanya digunakan sebagai faktor untuk meningkatkan tingkat kelucuan. MDH tidak mengandung teori matematika yang rumit dan khusus, sehingga lebih dapat menghibur lebih banyak orang, termasuk yang pemahamannya sudah mantap maupun masih awam.
Tengoklah contoh meme berisi gambar dengan bubble chat (x) yang digambarkan secara horizontal, dan bubble chat (y) yang digambarkan secara vertikal berikut.
Meme Matematika dalam Humor. Sumber: TikTok/studentchronicles
Meme tersebut mendorong pembacanya agar menangkap bahwa (x) merepresentasikan mantan pacar (ex, dalam bahasa Inggris). Begitu melihat bagian bawahnya, lazimnya muncul pertanyaan, “Lalu (y) ini merepresentasikan siapa?”
Dalam konteks ini, berpikir adalah bagian penting dalam proses merespons humor. Kalau meme tadi hanya kita lihat, kemungkinan besar tidak ada reaksi yang muncul. Namun, ketika kita mulai berpikir, kita bakal menyadari jika meme tersebut sebenarnya sedang membicarakan konsep dasar koordinat kartesius – yang memiliki dua garis bilangan (x,y) dengan posisi yang saling tegak lurus.
Di sinilah momen “aha!” akan muncul.
Coba simak lagi contoh lelucon berikut yang bisa jadi bikin senyum Anda tersungging lebih lebar hari ini:
Ada seorang pria tambun sedang duduk di meja makan. Di hadapannya, tersaji sepiring daging wagyu utuh. Ketika istrinya bertanya apakah ia ingin daging itu dipotong menjadi empat atau delapan bagian, si suami menjawab “Oh, empat saja. Aku ingin menurunkan berat badan.” (diadaptasi dari Mathematics and Humor - Paulos, 1980, h.16)
Sekilas, lelucon tadi sepertinya normal-normal saja. Untuk orang yang berada dalam program diet, tentu wajar kalau pria tadi makan dengan porsi lebih sedikit (empat berbanding delapan). Namun, ketika kita mulai berpikir, kita akan menyadari bahwa jumlah potongan daging di atas piring itu tidak akan mengubah apa pun – total berat daging yang akan dimakan toh tetap sama, kan?
“Aha!”
Ternyata, lelucon tadi menggambarkan konsep sederhana terkait volume benda: walaupun suatu objek terbagi menjadi beberapa bagian, volume totalnya tidak akan berubah.
Ketika berhadapan dengan tebak-tebakan atau teka-teki matematika, umumnya kita akan menampilkan ekspresi bingung duluan. Itu isyarat kalau pemahaman kita belum sepenuhnya nyampe. Momen “magis” baru terjadi ketika kita mulai menemukan alur berpikir yang pas hingga akhirnya berhasil menerka keganjilan di dalamnya.
Lewat The Humor Code: A Global Search for What Makes Things Funny (2014, h.56), Peter McGraw dan Joel Warner menyampaikan sebuah pandangan menarik: “Jika Anda tidak bisa menjadi lucu dengan cara “ha-ha”, setidaknya luculah dengan cara “aha!”
Momen “aha” inilah yang melatarbelakangi proses dari “humor cerdas”. Kepuasan dari memahami “humor cerdas” itu sendiri bisa dibilang setara dengan menyelesaikan soal matematika yang rumit!
Tantangan dalam memahami matematika inilah yang coba ditembus melalui humor. Ketika peserta ajar berhasil mencapai titik pemahaman, mereka juga akan merasakan emosi positif, sehingga ingatannya bisa bertahan lebih lama.
Mengingat tantangan pendidikan di Indonesia kita masih tinggi, konsep Matematika dalam Humor (MDH) jadi layak dipertimbangkan sekaligus dipraktikkan dalam kelas.
MDH dapat mengatasi stigma negatif yang terlanjur melekat pada matematika. Konsep ini juga bisa menjadi tolok ukur baru untuk mengetes kemampuan siswa terkait konsep matematika.
Dengan menjadikan meme dan lelucon bertemakan MDH sebagai alat bantu mengajar, misalnya, kita dapat memicu momen “aha!” itu muncul.
Strategi ini bukan membuat matematika jadi ilmu yang sepele. Justru, inilah cara agar matematika tak lagi menakutkan. Dengan begitu, ada kemungkinan minat peserta ajar meningkat dan pemahaman mereka akan menjadi lebih baik.
Sebagai ucapan terima kasih karena sudah membaca sampai habis sekaligus menyepakati ide dalam tulisan ini, mohon berkenan menerima “oleh-oleh” teka-teki berikut:
Siska menemukan harta karun berupa uang 10.000 dollar yang terpendam di bawah akar. Ketika berhasil mengeluarkannya, berapa total uang yang berhasil ia dapatkan?
*Esha Yasmina Rahman. Tulisan ini dibuat bersama peneliti humor IHIK3, Ulwan Fakhri, dalam program “Intern Science Communicator” dari Program Studi Sastra Inggris, Universitas Brawijaya-IHIK3
© Copyright @2024 LIDEA. All Rights Reserved.