TRIBUN-MEDAN.COM,- Pengguna media sosial beberapa hari terakhir ramai membahas tentang awan fluktuasi.
Sejumlah warganet lantas menghubungkan fenomena alam awan fluktuasi ini dengan terjadinya gempa bumi.
Tak heran, banyak pengguna media sosial yang lantas mencari tahu apa itu awan fluktuasi.
Warganet penasaran, bagaimana fenomena alam awan fluktuasi bisa dihubungkan dengan bencana gempa bumi.
Untuk membahasnya lebih lanjut, kita harus tahu dulu apa itu awan fluktuasi, dan kenapa bisa terjadi.
Dikutip dari Bangka Pos, awan fluktuasi adalah perubahan pada jumlah, jenis dan bentuk awan dalam jangka waktu tertentu.
Fenomena alam ini lebih dikenal fluktuasi awan.
Dalam bidang ilmu meteorologi, istilah ini tidak umum digunakan.
Para ahli lebih sering menggunakan istilah fluktuasi awan atau variabilitas awan.
Dari informasi yang ada, fenomena alam awan fluktuasi bisa terjadi dalam skala waktu yang sangat singkat (misalnya, dari menit ke menit) hingga jangka waktu yang lebih panjang (misalnya, dari hari ke hari atau bahkan musim ke musim).
Faktor-faktor yang menyebabkan fluktuasi awan di antaranya:
Istilah "awan fluktuasi gempa" bukanlah istilah ilmiah yang diakui.
Sering kali, istilah ini muncul dalam diskusi online atau media sosial terkait fenomena alam, khususnya gempa bumi.
Banyak orang mengaitkan kemunculan awan dengan bentuk atau pola tertentu sebelum terjadinya gempa.
Namun, hingga saat ini, belum ada bukti ilmiah yang kuat untuk mendukung hubungan langsung antara bentuk atau pola awan tertentu dengan terjadinya gempa bumi.
Mengapa Mitos Ini Muncul?
Apa yang sebenarnya menyebabkan perubahan bentuk awan?
Perubahan bentuk awan dipengaruhi oleh berbagai faktor meteorologi di antaranya:
Suhu: Perubahan suhu udara dapat mempengaruhi pembentukan dan penguapan awan.
Kelembaban: Tingkat kelembaban udara juga berperan penting dalam proses pembentukan awan.
Angin: Arah dan kecepatan angin dapat memengaruhi bentuk dan pergerakan awan.
Topografi: Bentuk permukaan bumi (gunung, lembah) dapat memengaruhi pola aliran udara dan pembentukan awan di daerah tertentu.
Tidak ada dasar ilmiah yang kuat untuk menghubungkan bentuk atau pola awan tertentu dengan terjadinya gempa bumi. Meskipun banyak orang percaya pada hubungan ini, para ilmuwan belum menemukan bukti yang meyakinkan.
Untuk memprediksi gempa bumi, para ilmuwan menggunakan berbagai metode ilmiah yang lebih kompleks, seperti:
Pemantauan aktivitas seismik: Melalui alat seismograf, para ilmuwan memantau getaran di dalam bumi yang dapat menjadi indikasi akan terjadinya gempa.
Pemetaan patahan: Dengan memetakan lokasi patahan aktif, para ilmuwan dapat mengidentifikasi daerah yang berpotensi terjadi gempa.
Pengukuran deformasi tanah: Perubahan bentuk permukaan bumi dapat menjadi tanda adanya tekanan yang menumpuk di dalam bumi.(tribun-medan.com)