Beginilah Kondisi Timor Leste Setelah Memproklamasikan Kemerdekaan dari Indonesia
Moh. Habib Asyhad October 21, 2024 02:34 PM

[ARSIP Intisari]

Merdeka pada 20 Mei 2002 dan menjadi negara ke-202 di dunia. Lalu menjadi anggota ke-199 Majelis Umum PBB. Republik Demokratik Timor Leste optimistis bangkit dari puing-puing kehancuran.

Penulis: Mayong Suryolaksono, tayang di Majalah Intisari pada Juli 2002

---

Intisari hadir di WhatsApp Channal, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -"Biar sekarang pesta, nanti dua hari makan batu, yang penting merdeka," kata Jose Da Silva (18), murid sebuah SMU di Lospalos yang malam hari, 19 Mei 2002, hadir dalam perayaan kemerdekaan Timor Leste di lapangan Tasi Tolu, Dili.

Dia datang bersama kakaknya, Francisco, mahasiswa Universitas Nasional Timor Leste (UNTIL), Dili, setelah naik bus dari Lospalos yang berjarak 210 km.

Mereka menyatu dengan lebih dari 200 ribu orang, menyaksikan upacara pengibaran bendera Timor Leste, pengucapan sumpah presiden terpilih Jose Alexandre "Kay Rala Xanana" Gusmao, pelantunan lagu kebangsaan Patria, dukungan wakil dari 92 pemerintahan yang hadir, pesta kembang api, dan macam-macam hiburan.

Acara yang berlangsung sejak sore hingga dini hari 20 Mei itu masih dilanjutkan pada sore berikutnya.

"Kami kecewa karena semula ada kabar band Indonesia Jamrud mau main, tapi ternyata tidak," kata Jose. "Kalau fashion show baju rancangan Oscar Lawalata memang ada. Tapi anak muda Timor Timur banyak yang suka Jamrud, Boomerang, atau Dewa."

Tapi semangat Jose dan Francisco tak berkurang, seperti halnya penduduk dari seantero negeri. Tak sedikit yang menginap. Tidur di padang Tasi Tolu dengan tiga danau yang tak pernah kering, di emperan rumah, toko, atau bangunan lain dengan bekal seadanya.

Massa memang benar-benar datang untuk menikmati acara. Mereka begitu mudah diatur untuk duduk atau berdiri dalam beberapa kelompok besar yang dibatasi deretan bambu untuk lalu-lalang orang. Padahal potensi keributan sangatlah besar.

Dalam kondisi lelah dan lapar, masih pula diwarnai bau minuman keras yang menyengat. Di tempat lain, mungkin hal serupa itu akan berakhir dengan kericuhan.

Tak bisa menghindar dari pinjaman

Ketertiban dan kegembiraan sangatlah bisa dijadikan modal besar bagi Timor Leste di bawah kepemimpinan Presiden Xanana Gusmao dan pemerintahan 28 menteri di bawah Perdana Menteri Mari bin Amude Alkatiri.

"Saya sadar bahwa kami harus bekerja keras. Kami harus bisa memanfaatkan kegairahan ini sebagai potensi, mengajak seluruh rakyat Timor Lorosa'e untuk membangun, termasuk masa depan bagi lebih dari 15% warga yang berusia di bawah 20 tahun," kata Xanana tiga hari sebelum dilantik sebagai presiden.

Tokoh sentral negeri bekas provinsi ke-27 RI itu lebih suka menyebut Timor Lorosa'e (artinya "tempat matahari terbit") daripada Timor Leste (dari bahasa Tetum, bahasa yang dipakai mayoritas dari 33 suku di negeri itu, artinya "timur").

Walaupun nama resmi dalam konstitusi Republik Demokratik Timor Leste.

Pengertian membangun, bagi Timor Leste, betul-betul membangun di seluruh sektor kehidupan. Sarana dan prasarana fisik praktis hancur setelah jajak pendapat 30 Agustus 1999, yang dipuncaki dengan pembumihangusan pada September tahun itu.

Para pendatang yang menggerakkan perekonomian ketika Timor Timur masih bersama Indonesia kini praktis tak ada. Pengungsi, sampai Juni 2001 masih sekitar 55.000 orang yang berada di Timor Barat. Sawah dan ladang digarap sekenanya, potensi laut tak tergali. Suplai air bersih, BBM, dan listrik tersendat.

"Kami terpaksa beli generator sendiri karena listrik hanya menyala setiap hari Senin," kata Jacinta Ximenes, pemilik warung di pusat Kota Maliana, dekat perbatasan dengan Indonesia.

Sampai saat kemerdekaan, Timor Leste sangat tergantung pada donor dan misi kemanusiaan PBB. Begitu pun sesudahnya. "Kami tak akan membiarkan negeri baru ini terlantar. Merdeka bukan berarti didiamkan. Banyak kawan di seluruh dunia akan membantu," kata Sekjen PBB Kofi Annan dalam pidato sambutannya, 20 Mei.

Ketika itu, pemerintahan di bawah PM Mari Alkatiri menganggarkan dana pembangunan tahun 2002/2003 sebesar 77 juta dolar AS. Sementara pendapatan tersendat-sendat. Pajak, misalnya, selain bea masuk komoditas perdagangan 28% dan pajak penghasilan pekerja asing 20%, belum ada yang bisa diandalkan.

Jangankan untuk bayar pajak. Untuk bayar listrik rumah tangga saja banyak warga belum bersedia dengan alasan masih masa transisi, dari UNTAET (United Nations Transitional Administration in East Timor) ke ETTA (East Timor Transitional Administration), menuju pemerintahan resmi.

Begitu pun terhadap aneka pungutan dari uang sekolah sampai ongkos berobat di klinik.

Dulu pernah ada penyulingan minyak kayu cendana dan tambang manner, tapi kini tak tersisa. Kopi yang disebut-sebut komoditas unggulan, hanya menghasilkan 200-400 ribu dolar AS per bulan. Sedangkan minyak dan gas alam dari Laut Timor, agaknya masih perlu waktu untuk lancar diambil hasilnya.

Pembagian keuntungan yang sebelumnya dirintis Indonesia dan Australia, harus diteruskan Timor Leste, pun masih terus dibicarakan. Yang pasti, deposit minyak dan gas senilai 8-38 miliar dolar AS dalam 30 tahun mendatang, amatlah dinanti.

Yang amat membantu dalam masa transisional adalah uang donor.

UNTAET, misalnya, memprakarsai sumbangan lewat skema Consolidated Fund for East Timor (CFET) untuk biaya pemerintahan sementara, dan sampai kemerdekaan tersisa 5 juta dolar AS (The La'o Hamutuk Bulletin, Mei 2002).

Dari Oslo Donors Conference, Desember 2001, Timor Leste mendapat 5 juta dolar AS dari 20 juta dolar AS yang diajukan. Bank Dunia juga menyusun skema TFET (Trust Fund for East Timor) berupa proyek pembangunan prasarana senilai 150 juta dolar AS yang semuanya sudah berjalan.

Ada juga beberapa LSM internasional yang menganggarkan jutaan dolar untuk proyek Emergency School Readiness Program, Community Empowerment Program, juga Poverty Reduction' Strategy Papers.yang diprakarsai IMF.

Meski sejak awal pemerintahan Timor Leste menyatakan tekad untuk tidak berutang, beberapa skema tak bisa dihindari menjadi pinjaman juga.

Tentu banyak pula bantuan bilateral dari beberapa negara, sekaligus membuka investasi bagi mereka. Termasuk pengusaha Indonesia.

Soal investasi ini ada kritik dari Helder da Costa Ph.D, dosen UNTIL dan direktur Centro Nacional de Investigacao Científica, bahwa mayoritas investasi hanya tertarik pada bidang jasa di ibu kota seperti perhotelan, restoran, persewaan kendaraan, dan jasa telekomunikasi (Suara Timor Lorosa'e, 19 Mei 2002).

Bantuan pemerintah Portugal lebih mengundang kritik lagi, karena sebagian yang masuk ke sektor pendidikan dipakai untuk biaya mendatangkan guru bahasa dari Portugal, menyediakan tempat tinggal, serta membayar gaji dan kesejahteraan mereka. Itu terjadi karena bahasa Portugis dan bahasa Tetum adalah bahasa resmi Timor Leste.

Rohaniawan Ageng Marwojo SJ, pimpinan sekolah St. Yohanes Dili, menyuarakan kritik dari berbagai kalangan yang sampai kepadanya. "Ya kalau yang didatangkan itu guru yang baik. Kalau bukan? Bisa-bisa bantuan pendidikan itu sekadar memberi lapangan kerja kepada para penganggur Portugal saja."

Soal bahasa pun tak sedikit keberatan yang muncul.

"Penetapan bahasa Portugis sebagai bahasa resmi itu cuma keinginan segelintir orang lama. Padahal buat kami, bahasa Portugis tidak terlalu penting. Selain sulit dipelajari, bahasa itu tidak sejalan dengan globalisasi. Maka kami sering berseloroh, usul kepada pemerintah bikin referendum untuk memilih bahasa," kata wartawan Metha da Costa Guterres, redaktur pelaksana Suara Timor Lorosa'e.

Kendala dalam semangat kerja

Di hari pertama setelah kemerdekaan, Xanana dan para menteri memberi contoh semangat kerja dengan masuk ke kantor pukul 07.00 pagi. Banyak orang tergerak mengikuti keteladanan itu.

Namun tak sedikit yang tetap dengan pola lama, mulai bekerja pukul 09.00 atau 10.00, istirahat pukul 11.00, makan siang selama dua jam, dan berhenti pukul 17.00; tanpa mau meneruskan pekerjaan.

Bagi penganggur atau pekerja serabutan, cukup minum tuak mutin atau tuak sabu ketika punya uang.

"Cari ikan pakai tombak, dapat tujuh ikat, laku tujuh dolar. Sedolar untuk beli tuak, ajak anak muda minum, sisanya kasih ke istri. Nanti sore santai di rumah," ucap Fernando, lelaki di pantai Dili sambil menikmati tuak mutin yang harga per liter 0,50 dolar AS di siang yang terik.

Ayah delapan anak ini, seperti banyak warga lain, merasa tak perlu bekerja kalau masih punya uang.

Ada pula kebiasaan yang sulit dihilangkan, yakni sabung ayam bertaji pisau. Permainan yang di Timor Leste disebut futu manu itu sangat merata di seantero negeri seluas 14.874 km2 itu. Nilai taruhan dari yang kelas satu berbanding dua-tiga dolar sampai ratusan dolar.

Futu manu selalu bersamaan dengan perjudian lain semacam rulet, tebakan angka dengan bola luncur, atau kotak-kotak bernomor. Rata-rata nilai kemenangan 10 kali nilai taruhan.

"Kalau perjudian lain mungkin bisa diberantas. Tapi futu manu kebiasaan lama yang tidak bisa hilang," ucap Frances Dos Santos, guru sekolah menengah pertama di Liquisa, 30 km sebelah barat Dili.

Akan kehilangan pekerjaan

Setelah kemerdekaan, secara bertahap staf PBB dalam pemerintahan transisional pun pergi. Yang tersisa tinggal wakil LSM atau lembaga internasional lain, tenaga ahli, pengusaha, atau staf kedutaan.

Tapi masih akan tinggal sekitar 3.000 tentara penjaga perdamaian PBB, juga beberapa penasihat militer asal Portugal dan Australia bagi angkatan bersenjata Timor Leste (FDTL, Forca de Defesa de Timor Lorosa'e).

Angkatan bersenjata dibentuk dari Falintil, sayap militer parpol terbesar negeri itu, Fretilin. Mereka diseleksi ulang, ditambah anggota baru yang dididik menjadi tentara profesional. Sampai saat kemerdekaan, Timor Leste memiliki dua batalyon angkatan darat. Satu batalyon di markasnya, pinggir Kota Dili, batalyon kedua di kota paling timur, Lospalos.

Perginya banyak orang asing yang telah tiga tahun menghidupkan Dili dan beberapa kota lainnya, tentu sebuah pengurangan drastis secara ekonomis.

"Ada sekitar 1.400 orang yang kehilangan pekerjaan karena terkait langsung dengan orang asing," kata Leonardo Martins, staf pada pemerintahan transisional Timor Leste (ETTA). Mereka adalah para pegawai, pembantu, sopir, pemilik rumah sewa, dan penyedia jasa lainnya.

Yang tidak langsung terkait banyak lagi. Hotel, restoran plus hiburan, taksi dan angkutan umum, penjual barang konsumsi, telekomunikasi, listrik, BBM, dan Iain-lain.

Namun semua itu secara umum tidak menimbulkan kesan kekhawatiran. Artinya, sekalipun rata-rata masyarakat dililit kemiskinan, tingkat kejahatan dan tindak kriminalitas amat rendah. Tidak ada pengemis, tidak ada pengamen, tidak ada perampas atau pemalak.

Di kota orang memarkir kendaraan sekadarnya tanpa kehadiran tukang parkir. Polisi rajin mengatur lalu-lintas, dan kalau tidak ada polisi pun pengemudi sopan dan saling menunggu di persimpangan.

Orang sekadar menatap kepada orang asing tapi tidak curiga. Bagi rata-rata orang Timor Leste, sebagaimana diserukan Presiden Xanana Gusmao, semua bangsa adalah saudara, termasuk orang Indonesia. Tidak ada dendam terhadap masa lalu juga kepada milisi yang pernah menyakiti. Agaknya, semua orang menyerahkan setiap tindak kejahatan kepada hukum beserta aparatnya.

Dari sisi ini, Timor Leste punya modal berharga untuk menjadi bangsa dan negara yang baik.

© Copyright @2024 LIDEA. All Rights Reserved.