Dampak Negatif Pengenalan Uang di Indonesia Pada Masa Kolonial Belanda
Afif Khoirul M October 21, 2024 07:34 PM

---

Intisari-online.com - Fajar menyingsing di atas Nusantara, namun langit tak sepenuhnya cerah. Awan kelabu kolonialisme Belanda membayangi, membawa serta perubahan yang tak selalu berbuah manis.

Salah satunya adalah pengenalan sistem uang, sebuah konsep asing yang perlahan menggerogoti sendi-sendi perekonomian pribumi. Sebelum kedatangan Belanda, masyarakat Nusantara telah mengenal sistem barter, sebuah tradisi luhur yang mengedepankan nilai kebersamaan dan gotong royong.

Namun, kilau emas dan perak VOC membawa angin baru, mengubah lanskap ekonomi menjadi arena persaingan yang tak seimbang.

Ibarat pedang bermata dua, uang yang awalnya bertujuan mempermudah transaksi, justru menjadi alat penindasan di tangan kolonial. Rakyat dipaksa mengenal mata uang asing, sementara mata uang lokal dipinggirkan.

Hal ini tercatat dalam buku "Indonesia dalam Arus Sejarah" (Jilid 5) yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2017), di mana dijelaskan bagaimana VOC secara sistematis mengintroduksi mata uang mereka sendiri, seperti Gulden dan Rijksdaalder, seraya menekan penggunaan mata uang lokal kerajaan-kerajaan Nusantara.

Dampaknya, perekonomian pribumi terpuruk. Petani dan pedagang kecil, yang dulunya bebas bertransaksi dengan hasil bumi, kini terjerat dalam sistem uang yang rumit dan menguntungkan Belanda. Mereka dipaksa menjual hasil bumi dengan harga murah, sementara barang-barang impor dari Belanda dijual dengan harga selangit.

Kondisi ini diperparah dengan sistem pajak yang menindas, di mana rakyat dibebankan berbagai macam pajak dalam bentuk uang, seperti yang dijelaskan dalam "Sejarah Ekonomi Indonesia" karya Boeke (1977).

Tak hanya itu, pengenalan uang juga merusak tatanan sosial masyarakat. Nilai-nilai kebersamaan dan gotong royong yang selama ini menjadi pilar kehidupan bermasyarakat, perlahan terkikis oleh individualisme dan materialisme.

Masyarakat menjadi lebih fokus pada akumulasi kekayaan dan persaingan ekonomi, menimbulkan kesenjangan sosial yang semakin melebar.

"Nusa Jawa: Silang Budaya" karya Denys Lombard (1996) mengungkapkan bagaimana pengenalan uang mengubah pola interaksi sosial masyarakat Jawa, di mana hubungan patron-klien yang semula didasari oleh kewajiban moral, berubah menjadi transaksi ekonomi yang diukur dengan uang.

Lebih jauh lagi, pengenalan uang menjadi jalan bagi Belanda untuk menguasai sumber daya alam Indonesia. Dengan sistem uang, Belanda dapat dengan mudah membeli tanah dan menguasai perkebunan-perkebunan yang subur.

Rakyat yang kekurangan uang terpaksa menjual tanah mereka kepada Belanda, sehingga kehilangan mata pencaharian dan terjerumus dalam kemiskinan. Praktik ini dijelaskan secara gamblang dalam "Tanah dan Tenaga Kerja di Jawa" karya Onghokham (1985).

Sistem tanam paksa (cultuurstelsel), yang diberlakukan pada tahun 1830-an, semakin memperkukuh cengkeraman Belanda atas perekonomian pribumi.

Rakyat dipaksa menanam tanaman ekspor, seperti kopi, tebu, dan nila, yang kemudian dijual kepada Belanda dengan harga murah. Hasil penjualan tersebut kemudian digunakan oleh Belanda untuk membiayai pemerintahan kolonial dan memperkaya diri sendiri.

"Cultuurstelsel dan Ekonomi Indonesia" karya Clifford Geertz (1963) menganalisis bagaimana sistem tanam paksa ini menyebabkan kemiskinan dan kelaparan yang luas di kalangan rakyat Indonesia.

Pengenalan uang juga menimbulkan masalah sosial lainnya, seperti rentenir dan perbudakan. Rakyat yang kekurangan uang terpaksa berhutang kepada rentenir dengan bunga yang sangat tinggi. Jika tidak mampu membayar hutang, mereka dan keluarga mereka dapat dijadikan budak oleh rentenir.

Praktik ini marak terjadi pada masa kolonial dan menimbulkan penderitaan yang mendalam bagi rakyat Indonesia. "Sejarah Indonesia Modern" karya M.C. Ricklefs (2008) menjelaskan bagaimana sistem rentenir dan perbudakan ini merupakan salah satu bentuk eksploitasi ekonomi yang dilakukan oleh Belanda terhadap rakyat Indonesia.

Di bidang politik, pengenalan uang memberi Belanda kendali yang lebih besar atas pemerintahan lokal. Para penguasa lokal, yang semula memiliki kekuasaan otonom, kini tergantung pada uang Belanda untuk membiayai pemerintahan mereka. Hal ini membuat mereka rentan terhadap intervensi Belanda dan mengurangi kemampuan mereka untuk melindungi kepentingan rakyat.

"Kekuasaan dan Politik di Indonesia" karya Benedict Anderson (1990) menganalisis bagaimana Belanda menggunakan uang sebagai alat untuk mengendalikan para penguasa lokal dan mempertahankan kekuasaan kolonial mereka.

Secara keseluruhan, pengenalan uang pada masa kolonial Belanda memiliki dampak negatif yang signifikan bagi Indonesia. Sistem uang yang diperkenalkan oleh Belanda menguntungkan pihak kolonial dan merugikan rakyat Indonesia.

Hal ini menyebabkan kemiskinan, kesenjangan sosial, dan penderitaan yang luas di kalangan rakyat Indonesia. Selain itu, pengenalan uang juga merusak tatanan sosial masyarakat, menimbulkan masalah sosial lainnya, dan memberi Belanda kendali yang lebih besar atas pemerintahan lokal.

Namun, di tengah kegelapan itu, semangat perlawanan rakyat Indonesia terus menyala. Berbagai bentuk perlawanan, baik bersenjata maupun diplomasi, dilakukan untuk melawan penindasan kolonial dan merebut kembali kedaulatan bangsa. Pengenalan uang, meski memiliki dampak negatif, juga secara tidak langsung membangunkan kesadaran nasional dan memperkuat tekad rakyat Indonesia untuk merdeka.

"Jalan Menuju Kemerdekaan" karya George McTurnan Kahin (1952) mengungkapkan bagaimana perjuangan kemerdekaan Indonesia dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk dampak negatif dari pengenalan uang pada masa kolonial Belanda.

Sejarah adalah guru yang bijaksana. Kisah pengenalan uang pada masa kolonial Belanda memberikan pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia. Kita perlu mewaspadai dampak negatif dari sistem ekonomi yang tidak adil dan terus berjuang untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

*

---

© Copyright @2024 LIDEA. All Rights Reserved.