Cerita Para Saksi Mata Letusan Gunung Krakatau yang Lebih Hebat dari Bom Atom
Moh. Habib Asyhad October 22, 2024 01:34 PM

[ARSIP Intisari]

Sebetulnya letusan Gunung Krakatau 1883 tidak datang tiba-tiba, tetapi tidak ada orang yang mengira bahwa ledakan akan demikian hebat. Satu abad lebih telah berlalu sejak ledakan paling hebat terjadi, tetapi ceritanya masih tetap asyik untuk dibaca.

Pertama tayang pada Agustus 1983

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -27 Agustus 1883, bertepatan dengan hari Ahad dentuman pada pukul 10.02 terdengar di seluruh wilayah Nusantara, bahkan sampai ke Singapura, Australia, Filipina dan Jepang. Bencana yang merupakan salah satu letusan terhebat di dunia itu sempat merenggut sekitar 36.500 jiwa manusia.

Kegiatan dimulai dengan letusan pada tanggal 20 Mei 1883, waktu kawah Perbuatan memuntahkan abu gunung api dan uap air sampai ketinggian 11 km ke udara. Letusan ini walaupun terdengar sampai lebih dari 350 km (sampai Palembang), tidak menimbulkan korban.

Pada letusan 27 Agustus itu batuan disemburkan setinggi 55.000 meter dan gelombang pasang (Tsunami) yang ditimbulkan menyapu bersih 163 desa. Abunya mencapai jarak 5.330 km sepuluh hari kemudian. Kekuatan ledakan Krakatau ini diperkirakan 26 kali lebih besar dari ledakan bom Hidrogen terkuat dalam percobaan.

Dikira meriam apel

Seorang pengamat di rumahnya di Bogor, pada tanggal 26 Agustus pukul satu siang mendengar suara gemuruh yang tadinya dikiranya suara guntur di tempat jauh. Setelah pukul setengah tiga siang mulai terdengar letupan pendek, sehingga ia mulai yakin bahwa kegaduhan itu berasal dari kegiatan Krakatau, lebih-lebih sebab suara berasal dari arah barat laut barat.

Juga di Batavia gemuruh itu dapat didengar, juga di Anyer, sedang di Serang dan Bandung mulai pukul tiga.

Seorang bintara Belanda yang ditempatkan di Batavia mengisahkan pengalaman pribadinya. Seperti banyak orang lainnya ia mengira bahwa dunia akan kiamat saat itu.

"Tanggal 26 Agustus itu bertepatan dengan hari Minggu. Sebagai sersan pada Batalyon ke-IX di Weltevreden (Jakarta Pusat) hari itu saya diperintahkan bertugas di penjagaan utama di Lapangan Singa. Cuaca terasa sangat menekan. Langit pekat berawan mendung. Waktu hujan mulai menghambur, saya terheran-heran bahwa di samping air juga jatuh butiran-butiran es.

Sekitar pukul dua siang terdengar suara gemuruh dari arah barat. Tampaknya seperti ada badai hujan, tetapi diselingi dengan letupan-letupan, sehingga orang pun tahu bahwa itu bukan badai halilintar biasa. Di meja redaksi koran Java Bode orang segera ingat kepada Gunung Krakatau yang sudah sejak beberapa bulan menunjukkan kegiatan setelah istirahat selama dua abad.

Mereka mengirim kawat kepada koresponden di Anyer, sebuah pelabuhan kecil di tepi Selat Sunda, tempat orang bisa menatap sosok Krakatau dengan jelas pada cuaca cerah. Jawabnya tiba dengan cepat: 'Di sini begitu gelap, sampai tak bisa melihat tangan sendiri.' Inilah berita terakhir yang dikirimkan dari Anyer.

Pukul lima sore gemuruh itu makin menghebat, tanpa terlihat kilat. Letusan susul-menyusul lebih kerap, seperti tembakan meriam-berat. Dari Lapangan Raja (Merdeka, Red.) dan Lapangan Singa (Banteng, Red) terlihat kilatan-kilatan seperti halilintar di ufuk barat, bukan dari atas ke bawah, tetapi dari bawah ke atas.

Waktu hari berangsur gelap, di kaki langit sebelah barat masih terlihat pijaran cahaya. Sudah menjadi kebiasaan bahwa tiap hari pukul delapan tepat di benteng (Frederik Hendrik, sekarang Masjid Istiqlal, Red) ditembakkan meriam sebagai isyarat, disusul oleh tanda terompet yang mewajibkan semua prajurit masuk tangsi.

Para penabuh genderang dan peniup terompet batalyon itu sudah siap pada pukul delapan kurang seperempat. Mereka masih merokok santai sebelum mereka berbaris untuk memberikan isyarat itu. Tiba-tiba terdengar tembakan meriam menggelegar, jauh lebih dini daripada biasanya.

Mereka segera berkumpul membentuk barisan dan setelah terompet dibunyikan, mereka berbaris sambil membunyikan genderang dan meniup terompet. Baru saja mereka mencapai asrama ketika meriam yang sungguh-sungguh menggelegar dari dalam benteng Gunung Krakatau ternyata mengecoh mereka!"

Betawi jadi dingin

Sementara itu 'penembakan' berlangsung terus. Kadang-kadang bunyinya seperti tembakan salvo beruntun, kilatan-kilatan menyambar-nyambar ke langit. Semua orang tercekam ketakutan. Tiada seorang pun percaya bahwa ada badai mengamuk jauh di sana. Hampir tak ada orang yang berani tidur malam itu.

Banyak yang berkumpul di halaman rumah mereka sambil mengarahkan pandangan mereka ke arah barat dan memperbincangkan kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan gejala alam yang aneh itu. Hanya anak negeri yang tak ragu-ragu: ‘Ada gunung pecah,’ kata mereka.

Menjelang tengah malam tiba perwira piket, Letnan Koehler. Dia mengatakan kepada saya bahwa seluruh kota sedang dalam keadaan panik. Penduduk asli berkumpul di masjid-masjid untuk bersembahyang. Penduduk Belanda tetap terjaga di rumah masing-masing atau pergi ke rumah bola Concordia atau Harmonie untuk saling mencari dukungan dari sesamanya.

Menjelang pukul dua pagi rentetan letusan bak tembakan cepat artileri itu mencapai puncaknya. Rumah-rumah batu bergetar dan jendela-jendela bergemerincing. Gelas lampu penerangan jalan jatuh bertebaran di tanah, kaca etalase toko pada pecah, penerangan gas di banyak rumah padam: Sesudah itu ledakan-ledakan mereda, sekalipun dari arah barat masih terdengar suara gemuruh.

Kemudian saya merasakan bahwa udara makin menjadi dingin. Dalam beberapa jam saja suhu udara telah menurun sedemikian rupa, sehingga saya gemetar kedinginan di pos jaga. Belum pernah di Betawi udara sedingin itu. Waktu saya melihat ke luar ternyata bahwa seluruh kota diliputi oleh kabut tebal.

Penerangan jalan di seberang Lapangan Singa tak dapat saya lihat lagi, meskipun saya mendengar dari rekan lain bahwa lampu-lampu masih menyala. Tak lama kemudian ternyata kabut itu bukan kabut biasa, melainkan hujan abu, yang jatuh tak lama lewat tengah malam — mula-mula jarang-jarang, tetapi makin lama makin deras, sehingga segalanya terselimuti oleh kabut abu yang tebal.

Pada pukul enam pagi, menurut peraturan, semua lampu harus dipadamkan, tetapi ... matahari tidak terbit! Baru sekitar pukul tujuh tampaknya seperti fajar akan menyingsing, tetapi hari itu tak akan menjadi terang.

Hawa makin menjadi dingin, sehingga saya memerintahkan anak buah saya untuk mengenakan jas hujan mereka. Sementara itu abu turun dengan tiada berkeputusan. Abu itu ke mana-mana, juga bangsal jaga dilapisi oleh serbuk halus yang berwarna kelabu keputih-putihan.

Prajurit jaga yang saya lihat dari jendela sedang mondar-mandir, kelihatannya seperti boneka salju kelabu yang bergerak secara mekanis. .

Sekitar pukul sembilan pagi ledakan-ledakan dan guruh makin bertambah. Pada pukul sepuluh hari gelap seperti malam. Lampu-lampu gas dinyalakan kembali. Lapisan abu setebal 15 mm menutupi segala apa. Jalan-jalan sunyi senyap, tak ada yang berani menampakkan diri. Saya merasa seorang diri di dunia, di dunia yang tak lama bakal runtuh!

Pada pukul 10.40 akhirnya tiba telegram dari Serang, yang isinya memuat sedikit keterangan mengenai penyebab gejala-gejala alam yang mengerikan itu. Kawat itu berbunyi:

‘Kemarin petang Krakatau bekerja. Bisa didengarkan di sini. Semalam suntuk cahayanya terlihat jelas. Sejak pukul sebelas ledakan-ledakan makin hebat dan tak terputus-putus. Setelah hujan abu deras pagi ini matahari tak nampak, gelapnya seperti pukul setengah tujuh malam. Merak dimusnahkan gelombang pasang. Sekarang di sini sedang hujan kerikil. Tanpa payung kuat tak ada yang berani keluar.’

Lewat pukul dua belas, ketika di Betawi masih gelap gulita dan sangat dingin, tersiar berita gawat dari Pelabuhan Pasar Ikan dan Tanjung Priok. Suatu gelombang pasang telah membanjiri sebagian kota bawah. Permukaan air dua meter di atas garis normal. Kapal uap Princess Wilhelmina dicampakkan ke pangkalan, seperti juga kapal Tjiliwoeng yang cerobong asapnya merusakkan atap kantor pabean.

Sejumlah kapal motor dan perahu terdampar secara acak-acakan di Pelabuhan Pasar Ikan, berlumuran lumpur dan abu tebal. Pengungsi mulai mengalir sepanjang jalan raya dengan membawa harta benda yang bisa dijinjing ke arah Weltevreden yang lebih tinggi letaknya. Pada pukul dua dan empat sore datang lagi gelombang pasang, tetapi kali ini kurang tinggi dibandingkan yang pertama kalinya.

Di sebelah barat kini menjadi tenang dan kelam makin berkurang, sehingga matahari mulai nampak sebagai bercak merah kotor pada langit yang kelabu. Pada pukul lima petang saya diganti dan menerima perintah untuk segera menyiapkan suatu pasukan yang akan diberangkatkan ke daerah yang terkena musibah di Sumatra Selatan."

Pada saat itu Betawi tidak seorang pun yang tahu dengan tepat apa sebenarnya yang terjadi di sebelah barat. Semua hubungan telegram dengan daerah yang terlanda malapetaka terputus.

Serang sunyi mencekam

Kalau di Jakarta air pasang itu tak mengambil korban terlalu besar, daerah pantai sebelah barat Jawa Barat yang lebih dekat dengan gunung yang sedang murka itu akibatnya cukup mengerikan. Di Tangerang, pantai utaranya digenangi sampai sejauh satu hingga satu setengah km dengan meminta korban manusia cukup besar.

Sembilan desa pantai musnah. Korban di daerah ini tercatat 1.794 orang penduduk asli dan 546 orang Cina dan Timur Asing lainnya.

Di Serang suara gemuruh mulai terdengar pada pukul 3 siang, hari Minggu. Malamnya terus-menerus tercium bau belerang dan guruh serta kilat terlihat dari arah Krakatau. Hari Seninnya langit di sebelah barat berwarna kelabu, lalu hujan abu turun tanpa hentinya.

Pukul setengah sebelas hari mulai kelam, dan makin menggelap, sehingga hampir tak terlihat apa-apa. Lewat pukul sebelas dikawatkan dari Serang bahwa terjadi hujan kerikil batu apung; tak lama kemudian hubungan telegram dengan Jakarta terputus.

Setelah hujan kerikil menyusul hujan lumpur, yakni abu basah melekat pada daun-daun dan dahan-dahan pohon sehingga kadang-kadang runtuh karena beratnya. Sekitar pukul 12 hujan lumpur ini terhenti, tetapi abu kering tetap turun.

Anehnya, selama itu di Serang tak terdengar letusan-letusan, bahkan suasana sangat sepi mencekam, yang membuat banyak orang makin gugup dan tertekan. Juga hewan peliharaan makin gelisah, mereka ingin sedekat mungkin dengan manusia di dalam rumah, di dekat lampu.

Dengan kekerasan sekalipun hewan-hewan itu tak berhasil diusir. Setelah pukul dua siang mulai terlihat agak terang di sebelah timur, ayam-ayam jantan mulai berkokok. Suara gemuruh mulai terdengar lagi, sedang hujan abu turun terus-menerus dan abu belerang menusuk hidung. Pada pukul empat sore lampu-lampu masih dinyalakan.

Surat-surat kabar yang terbit di Betawi bertanggal 28, 31 Agustus dan 4 September penuh dengan berita-berita tentang malapetaka yang menimpa daerah Banten.

Tetapi jarang sekali ada kisah saksi mata, sebab tempat-tempat yang letaknya di tepi pantai seperti Merak, Anyer dan Caringin hancur luluh dan hanya beberapa orang Belanda yang kebetulan melarikan diri pada saat yang tepat tertolong.

Ketika siuman semua gelap

Di Merak seorang pemegang buku pada perusahaan pelabuhan bernama E. Pechler merupakan satu-satunya orang Belanda yang lolos. Dia sedang bertugas membawa telegram atasannya untuk dikirimkan ke Batavia lewat Serang. Berita ini merupakan yang terakhir yang dikirimkan dari Merak.

Isinya laporan kepada Kepala Jawatan Pelabuhan di Betawi, bahwa pada hari Minggu tanggal 26 Agustus dan keesokan harinya sebagian Merak yang rendah letaknya, Pecinan, jalan kereta api, tergenangi; jembatan berlabuh dan teluk tempat pengambilan batu untuk pelabuhan rusak; jembatan dari derek-derek masih di tempat saat itu, tetapi gerbong-gerbong sudah masuk laut.

Sekitar pukul sembilan pagi Pechler berada di kaki sebuah bukit di luar Merak. Tiba-tiba ia ditimpa hujan lumpur dan badai. Dia melihat gelombang air mendekat, sehingga dia lari tunggang langgang ke atas bukit, tetapi sebelum dia mencapai puncaknya ia sudah terkejar air pasang.

Apa yang terjadi setelah itu dia tak tahu lagi.

Keesokan harinya ia baru siuman kembali. Tempat sekitarnya sudah kering, tetapi dia tak dapat mengenali sekelilingnya karena sangat gelap. Pada hari Selasa dia baru bisa berjalan kembali ke Merak. Di tengah jalan ia melihat sebuah lokomotif yang rusak parah, sekitar 500 m dari tempat berhentinya. Di Merak ia tak menemukan apa-apa lagi.

Bahkan mayat pun tak dijumpainya ... semuanya telah dihanyutkan ke laut. Di antara petugas pemerintah di Merak hanya Pechler dan seorang insinyur bernama Nieuwenhuis yang selamat, karena sedang bepergian ke Batavia. Waktu insinyur itu kembali ke Merak, rumahnya yang dibangun di atas bukit setinggi 14 m tinggal lantainya saja.

Hujan deras batu apung di Teluk Betung

Anyer dilanda gelombang pasang pada Senin pagi, tanggal 27, sekitar pukul sepuluh pagi. Gelombang ini menyapu bersih pemukiman di tepi pantai itu, sehingga yang tinggal hanyalah benteng, penjara, kediaman patih dan wedana.

Dataran sekitar Anyer, yang di belakang tempat itu lebarnya kurang lebih 1 km seakan-akan dicukur gundul; di dekat pantai bongkahan-bongkahan karang dilemparkan ke darat.

Juga Caringin yang berpenduduk padat hancur luluh; letaknya di dataran yang lebarnya sekitar 1.500 m, disusul oleh bukit-bukit yang tingginya antara 20 sampai 50 m, tempat sejumlah kecil penduduknya menyelamatkan diri.

Bukan hanya di darat, tetapi juga di laut lepas Krakatau menteror kapal-kapal yang kebetulan berlayar di dekatnya. Penumpang kapal yang melayari Selat Sunda pada hari naas itu tidak dapat melupakan pengalaman dan ketakutan mereka selama hidupnya.

Kapal api Gouverneur Generaal Loudon, dengan nakhoda Lindeman, sebuah kapal Nederland Indische Stoomvaart Maatschappij (pendahulu KPM - Red.) berlayar dari Batavia ke Padang dan Aceh dengan menyinggahi Teluk Betung, Krui dan Bengkulu.

Kapal itu berangkat pada tanggal 26 Agustus pagi dari Jakarta. Seorang penumpang kapal itu mengisahkan pengalamannya sebagai berikut:

Cuaca pagi itu sangat cerah. Siang harinya kami berlabuh di Anyer, sebuah pelabuhan kecil di pantai Banten. Beberapa ratus orang pekerja kasar naik dari pelabuhan ini. Kapal kemudian melanjutkan pelayarannya ke arah Teluk Lampung, melewati Pulau Sangiang dan Tanjung Tua.

Di sebelah kiri kapal kami lihat Pulau Rakata dari kejauhan, yang kami singgahi dua bulan yang lalu.

Waktu Gunung Krakatau mulai bekerja bulan Mei yang lalu setelah dua abad beristirahat, perusahaan pemilik kapal Loudon mengadakan suatu tour pariwisata bagi penduduk Batavia. Dengan membayar dua puluh lima gulden kita bisa berlayar ke Pulau Krakatau. Pada waktu itu masih mungkin untuk mendarat ke pulau, bahkan mendaki kawahnya yang mengeluarkan uap putih.

Sekarang gunung berapi itu tampaknya jauh lebih gawat. Asap hitam pekat membubung dari kawahnya ke langit biru dan hujan abu halus turun di geladak kapal.

Pada pukul 7 petang kami berlabuh di Teluk Betung. Hari amat cepat menggelap, sedang laut agaknya makin berombak, hujan abunya makin deras. Kapal Loudon memberi isyarat ke darat agar dikirimkan sekoci bagi penumpang yang akan mendarat, tetapi tak ada jawaban apa-apa.

Lalu kapten memerintahkan agar diturunkan sekoci kapal, tetapi gelombang besar tak memungkinkan untuk mencapai darat, sehingga sekoci itu harus kembali lagi.

Lampu pelabuhan menyala seperti biasa, tetapi tampaknya ada kejadian-kejadian luar biasa di Teluk Betung. Sekali-sekali terlihat tanda bahaya dari kapal-kapal lain dan terdengar suara kentongan bertalu. Penerangan kota dipadamkan. Sementara itu hujan abu kini berubah menjadi hujan batu apung yang deras.

Menara suar patah seperti batang korek api

Dengan rasa kurang enak kami melewatkan malam itu. Air laut makin liar dan ombak-ombak besar mendera lambung kapal tanpa hentinya. Ketika fajar menyingsing kami melihat bahwa Teluk Betung menderita kerusakan cukup parah oleh gelombang pasang.

Kapal api pemerintah Barouw, terlepas dari jangkarnya dan dihempaskan ke darat. Gudang-gudang dan gedung-gedung pelabuhan lain rusak. Tetapi tak tampak ada tanda-tanda kehidupan di kota kecil itu.

Pukul tujuh pagi kami tiba-tiba melihat dinding air melaju ke arah kapal kami. Loudon sempat melakukan manuver untuk menghindar, sehingga gelombang itu hanya mengenai sejajar dengan sisi kapal.

Kapal itu menukik hebat, tetapi pada saat bersamaan gelombang itu telah lewat dan Loudon selamat. Kami sempat melihat betapa air pasang itu mendekati, lalu melanda kota Teluk Betung dengan tenaga tak terbendung.

Tak lama kemudian masih ada tiga gelombang dahsyat menghambur, yang di hadapan mata kami memporakporandakan segala apa yang ada di pantai. Kami melihat menara suar patah seperti batang korek api dan rumah-rumah lenyap digilas gelombang.

Kapal Barouw terangkat, kemudian dicampakkan ke darat melewati puncak-puncak pohon nyiur. Yang tadinya masih Teluk Betung kini hanya air belaka.

Di kota itu tentunya ada ribuan orang meninggal serentak dan kotanya sendiri seperti dihapuskan dari permukaan bumi. Semuanya itu terjadi dengan cepat dan mendadak, sehingga melintas sebelum kita menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Seakan-akan dengan satu gerakan maha kuat dekor latar belakang sebuah sandiwara telah digantikan.

Akhirnya Kapten Lindeman memutuskan untuk meninggalkan teluk itu, karena ia beranggapan bahwa keadaannya cukup berbahaya. Kapal menuju ke Anyer dengan tujuan untuk melaporkan malapetaka yang menimpa Teluk Betung.

Tak lama kapal sudah berlayar di laut lepas. Walaupun masih pagi, hari makin menggelap dan menjelang pukul sepuluh sudah gelap seperti malam. Kegelapan itu bertahan selama delapan belas jam dan selama itu turun hujan lumpur yang menutupi geladak sampai hampir setengah meter.

Di ruang kemudi nakhoda melihat bahwa kompas menunjukkan gerakan-gerakan paling aneh; di laut terjadi arus-arus kuat, yang selalu berubah arahnya. Udara dicemari oleh gas belerang pekat yang membuat orang sulit bernapas dan beberapa penumpang menderita telinga mendesing.

Barometer menunjukkan tekanan udara yang sangat tinggi. Kemudian bertiuplah angin kuat yang berkembang menjadi badai. Kapal diombang-ambingkan oleh getaran laut dan gelombang tinggi. Ada saat-saatnya Loudon terancam akan terbalik oleh luapan air yang datang dari samping. Apa saja yang tak terikat kuat dilemparkan ke laut.

Api Santo Elmo

Tujuh kali berturut-turut halilintar menghantam tiang utama. Dengan rentetan letupan gemertak geledek itu kadang-kadang seperti bergantungan di atas kapal, yang diterangi cahaya mengerikan. Alat pemadam kebakaran disiapkan di geladak, sebab nakhoda khawatir setiap waktu Loudon akan terbakar.

Kecuali halilintar, kami juga menyaksikan gejala alam aneh lainnya, yakni apa yang disebut api Santo Elmo. Di atas tiang kapal berkali-kali terlihat nyala api kecil-kecil berwarna biru. Kelasi-kelasi pribumi mendaki tiang untuk memadamkan 'api' itu, tetapi sebelum mereka sampai ke atas gejala itu telah lenyap kemudian terlihat pindah ke tempat lain.

Api biru yang berpindah-pindah itu sungguh merupakan pemandangan yang menyeramkan dan membangunkan bulu kuduk.

Antara badai dan ombak besar kami mengalami saat-saat tenang. Tiba-tiba saja semuanya menjadi sunyi senyap dan laut pun licin seperti kaca. Tetapi sepi yang tak wajar ini lebih mencekam daripada gegap gempita ombak dan topan yang harus kami alami.

Tak terdengar suara lain, kecuali keluh kesah dan doa para penumpang Indonesia di geladak depan, yang yakin bahwa ajal mereka segera akan sampai.

Akhirnya pada malam menjelang tanggal 28 kami melihat sekelumit cahaya membersit di langit! Seberkas sinar bulan pucat berhasil menembus awan gelap. Ketika itu sekitar pukul empat pagi. Di kapal orang bersorak-sorai gembira dengan rasa syukur dan lega.

Memang masih ada batu apung dan abu turun ke geladak, tetapi paling tidak kami bisa melihat sekelilingnya dengan agak jelas. Kami masih berlayar menyusuri pantai Sumatra. Nampaknya pantai sangat sunyi.

Yang dulunya ditumbuhi pohon-pohon kini hanya tersisa tunggul bekas batangnya yang patah. Laut penuh dengan kayu dan batu apung, yang di pelbagai tempat mengumpul menjadi semacam pulau besar yang menutupi jalan masuk ke Teluk Lampung.

Tampang kapal Loudon benar-benar mengejutkan. Lebih mirip kapal yang tenggelam sepuluh tahun di dasar laut dan baru diangkat kembali. Kami melayari Selat Sunda dan pagi-pagi sekali Krakatau nampak kembali.

Sekarang kami baru mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Seluruh pulau itu meledak sampai hancur lebur dan sebagian besar hilang. Dinding kawahnya sama sekali runtuh, kami hanya melihat celah-celah raksasa yang mengeluarkan asap dan uap.

Di laut, antara Pulau Sebesi dan Pulau Krakatau yang tadinya masih merupakan jalur pelayaran, kini bermunculan pulau-pulau vulkanik kecil dan berpuluh gosong karang timbul dari permukaan air. Pada delapan tempat tampak asap dikelilingi uap putih dari laut.

Dengan lambat kami mendekati pantai Jawa. Pemandangan yang terlihat hampir tak terperikan. Segalanya telah diratakan menjadi gurun tak bertuan. Waktu kami berlabuh di Teluk Anyer, kami baru menyadari bahwa pelabuhan kecil itu sudah tidak ada lagi.

Semuanya telah tersapu bersih, tiada rumah, tiada semak, bahkan tak ada batu yang kelihatan! Hanya sebuah tonggak masih menandai bekas tempat berdirinya mercusuar. Selebihnya tidak ada apa-apa lagi, kehampaan dan kesepian…

Yang dulunya merupakan kampung-kampung yang makmur, kini hanya hamparan lumpur kelabu. Sungai penuh dengan puing dan lumpur. Di mana-mana tak nampak tanda-tanda kehidupan.

Juga pulau-pulau di Selat Sunda tak luput dari musibah. Pulau Sebesi yang pernah dihuni dua ribu orang, kini hanya seonggok bukit abu. Sampai puncaknya yang hampir lima ratus meter tingginya itu dan semua tumbuh-tumbuhan tak berbekas. Tak terlihat perahu atau desa lagi. Demikian pula keadaan pulau-pulau lain, Pulau Sebuku dan Pulau Sangiang.

Hujan lumpur

Pada tanggal 29 Agustus kami kembali di Lautan Hindia. Makin ke Utara makin kurang kelihatan akibat malapetaka besar itu. Kemudian di Padang dan beberapa tempat lainnya kami bertemu dengan orang-orang yang mendengar ledakan-ledakan dan gemuruh Krakatau.

Yang aneh ialah bahwa kami yang ada di tempat dekat Krakatau tidak mendengar dentuman-dentuman itu…”

Itulah kisah seorang penumpang kapal yang melihat malapetaka dari jarak jauh. Dari kota Teluk Betung sendiri ada saksi mata yang selamat.

Menurut dia gelombang pasang yang pertama tiba pada 27 Agustus pagi sekitar pukul setengah tujuh, yang merebahkan lampu pelabuhan, gudang batu baru, gudang di dermaga dan melemparkan kapal Barouw dari sisi timur bendungan melewati pemecah gelombang sampai ke Kampung Cina.

Gudang garam rusak dan Kampung Kangkung beserta beberapa kampung di pantai lainnya dihanyutkan. Kapal pengangkut garam Marie terguling di teluk, tetapi kemudian dapat tegak kembali. Orang juga melihat kapal Loudon berlabuh, kemudian berlayar lagi pada pukul tujuh.

Langit berwarna kuning kemerah-merahan seperti warna tembaga, dari arah Krakatau terlihat kilatan-kilatan api, hujan abu turun tiada hentinya, tetapi sekitar pukul delapan keadaannya tenang.

Sementara orang yang sempat mengungsi ke tempat-tempat yang tinggi waktu itu masih sempat kembali ke rumah masing-masing untuk menyelamatkan apa saja yang masih bisa diambil, atau untuk melihat keadaan.

Kurang lebih pukul sepuluh tiba-tiba terdengar letusan hebat yang membuat- orang terpaku. Suatu pancaran cahaya dan kilat terlihat di arah Krakatau. Segera setelah letusan itu hari mulai remang-remang. Kerikil batu apung mulai bertaburan.

Menjelang pukul sebelas had gelap seperti malam, hujan abu berubah menjadi hujan lumpur. Selanjutnya apa yang tepatnya berlangsung, tiada yang tahu, karena yang selamat berlindung di rumah residen dan hanya mendengar deru dan gemuruh sepanjang malam yang disebabkan oleh angin topan yang mematahkan ranting menumbangkan kayu-kayuan, melemparkan lumpur pada kaca-kaca jendela.

Para pelarian itu tidak sadar bahwa gelombang pasang sebenarnya sudah mendekati tempat pengungsiannya sejauh 50 m di kaki bukit.

Baru keesokan harinya orang mengetahui betapa besar penghancuran yang terjadi. Seluruh dataran diratakan dengan tanah, tiada rumah maupun pohon yang masih tegak. Yang ada hanya abu, lumpur, puing, kapal ringsek dan mayat manusia maupun hewan bertebaran di mana-mana.

Kapal Barouw sudah tak terlihat lagi. Baru kemudian kapal yang naas itu ditemukan di lembah Sungai Kuripan, di belakang belokan lembah pada jarak 3.300 m dari tempat berlabuhnya, dan 2.600 m dari Pacinan, tempatnya dicampakkan gelombang pertama pukul setengah tujuh itu.

Sejumlah perahu terkandas di tepi lembah, sebuah rambu laut ditemukan di lereng bukit pekuburan. Awak kapal Barouw, mualim pertama Amt dan juru mesin Stolk hilang tak ketahuan rimbanya.

Bagian pantai Sumatra yang terjilat malapetaka Krakatau yang paling parah, terutama yang letaknya berhadapan dengan Selat Sunda. Misalnya tempat-tempat di tepi Teluk Semangka.

Terjepit dua rumah

Seorang yang mengalami pribadi kedahsyatan letusan Krakatau dan berhasil mempertahankan hidupnya adalah seorang controleur yang ditempatkan di Beneawang, ibu kota afdeling Semangka, yang letaknya di Teluk Semangka, Lampung.

P.L.C. Le Sueur, pejabat Belanda itu, melaporkan kepada atasannya dalam sepucuk surat tertanggal 31 Agustus 1983 sebagai berikut:

"Pada hari Minggu sore, menjelang pukul empat, sewaktu saya sedang membaca di serambi belakang rumah saya, tiba-tiba saja terdengar beberapa dentuman yang menyerupai letusan meriam. Saya mengira bahwa residen yang menurut rencana akan tiba besok dengan kapal bersenjata pemerintah mempercepat jadwal kunjungannya.

Saya segera mengumpulkan para kepala adat dan pejabat setempat ke pantai. Tetapi kami tidak melihat ada kapal di laut. Baru saja saya sampai ke rumah, seorang pesuruh melaporkan bahwa air laut mulai naik dan beberapa kampung di pantai sudah tergenang.

Saya segera berangkat lagi untuk menertibkan keadaan di antara rakyat yang mulai panik dan memanggil-manggil nama Allah. Saya menyuruh membawa wanita dan anak-anak ke tempat-tempat yang letaknya lebih tinggi. Air surut lagi dengan cepat, tetapi mulai hujan abu.

Sekitar pukul empat pagi saya dibangunkan oleh orang-orang yang memberitakan bahwa di kaki langit terlihat cahaya kemerah-merahan. Saya merasa khawatir.

Pukul enam pagi, hari Senin, saya pergi ke pantai. Permukaan air laut jauh lebih rendah dari biasanya. Sementara batu karang yang biasanya tak nampak, kini menjadi kering. Selanjutnya saya mendengarkan guruh sambung-menyambung, sehingga saya khawatir bahwa masih ada hal-hal yang lebih mengerikan yang akan menimpa kami.

Setiba di rumah saya menyuruh memanggil Van Zuylen (pembantu saya) untuk menulis rancangan surat kepada residen tentang apa yang terjadi. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh lewat, tetapi cuaca begitu gelap, sehingga lampu-lampu masih menyala. Sejurus kemudian kata Van Zuylen:

"Maaf tuan, untuk sementara saya berhenti menulis saja. Saya merasa gelisah."

Baru saja ia mengatakan itu, ketika kami mendengar ribut-ribut. Laki-laki, perempuan dan anak-anak berlarian sambil berteriak: "Banjir! Banjir!"

Van Zuylen dan saya segera keluar dan menasihati orang-orang itu agar berlindung saja di rumah saya, karena rumah saya terletak di tempat yang agak tinggi dan dibangun di atas tiang. Tetapi tak lama kemudian air pasang kembali ke laut, sehingga semuanya tenang kembali.

Ketenangan itu tak berlangsung lama: sejurus kemudian air laut kembali lagi dengan debur dan gemuruh yang menakutkan. Di rumah saya saat itu sudah ada sekitar tiga ratus orang pengungsi. Saya mondar-mandir di antara mereka untuk agak menenangkan mereka.

Tiba-tiba saya mendengar serambi depan runtuh dan air segera menerjang ke dalam rumah. Saya menganjurkan mereka untuk pindah ke serambi belakang. Baru saja saya mengatakan itu, tiba-tiba seluruh rumah roboh berantakan dan kami semuanya terseret oleh arus air.

Setelah itu saya tak tahu lagi apa yang terjadi. Saya berhasil meraih sekerat papan dan mengapung mengikuti aliran air, sampai kaki saya tersangkut sesuatu sehingga papan itu harus saya lepaskan. Setelah itu saya berhasil menggapai beberapa keping atap.

Saya berpegangan erat-erat sampai air kembali ke laut dan kaki saya menginjak tanah. Saya menggunakan jas saya untuk melindungi kepala dari hujan lumpur.

Di kejauhan saya mendengar suara minta tolong dari laki-laki, perempuan dan anak-anak, tetap saya tak berdaya menolong. Saya tak bisa berdiri karena lemas, takut, dan terkejut, lagi pula tak terlihat apa-apa sebab gelap.

Saya mendengar air datang lagi dengan kuatnya. Saya hanya bisa berdoa sejenak memohon penyelamatan nyawa kami semua sambil menyiapkan diri untuk menghadapi maut. Lalu saya dihanyutkan air, diputarkan, lalu dicampakkan dengan kekuatan dahsyat. Saya terjepit antara dua buah rumah yang mengapung.

Saya tak bisa bernapas lagi rasanya. Saya mengira bahwa ajal saya sudah sampai. Tetapi tiba-tiba kedua rumah itu terpisah lagi. Saya mendapat batang pisang yang tak saya lepaskan lagi. Dengan demikian saya mengapung beberapa lama, berapa lama tepatnya saya tak tahu lagi.

Waktu air surut, saya terduduk saja, barangkali sejam lamanya saya di situ tanpa bergerak. Di sekitar saya masih gelap gulita dan hujan lumpur berlangsung terus.

Kontrolir berteriak minta tolong

Akhirnya saya mendengar suara-suara manusia di dekat tempat itu. Saya memanggil, bangkit, lalu mulai berjalan tertatih-tatih dengan mata tertutup sambil meraba-raba jalan saya. Semua pakaian saya, kecuali baju kain flanel, telah tercabikkan dari badan saya.

Saya berjalan dalam keadaan kedinginan dan di bawah hujan lumpur, tetapi tak berhasil menemukan orang-orang yang saya dengar suaranya itu. Saya menginjak semak-semak berduri dan kulit saya tercabik oleh duri rotan, sedang saya lebih banyak terjatuh bangun daripada berjalan.

Akhirnya saya mendengar ada orang berkata dalam bahasa Lampung: "Kita tak jauh dari sungai besar." Saya mempercepat jalan saya sedapatnya, menyapu lumpur dari mata saya lalu bergegas menuju ke arah suara tadi. Dengan demikian saya bertemu seorang Jawa, seorang Palembang dan beberapa orang wanita Jawa.

Tak lama kemudian kami melihat sebuah obor dari jauh. Tanpa berhenti saya berteriak: "Tolong! Tolong! Saya kontrolir!"

Tetapi agaknya pembawa obor itu tak mendengar suara saya. Beberapa kali lagi kami melihat cahaya itu, yang kemudian menghilang di dalam kegelapan. Ketika itu semestinya sudah sekitar pukul delapan atau sembilan pagi, tetapi masih tetap gelap gulita.

Akhirnya ada juga seorang pembawa obor yang datang mendapatkan kami. Saya katakan kepadanya siapa saya, lalu ia mengantarkan saya melewati hutan semak berduri dan mengarungi lumpur ke Kampung Kasugihan, kemudian diteruskan ke Penanggungan.

Waktu sudah pukul delapan malam waktu kami tiba di sana. Di kampung ini saya beristirahat baru sejam ketika kami mendengar gemuruh air, sehingga tempat ini juga masih belum aman. Kami melarikan diri lagi ke arah pegunungan.

Setelah dua jam berjalan kami mencapai Desa Payung yang terletak di lereng Gunung Tanggamus. Di tempat ini ada yang memberi saya sehelai sarung, sehingga saya berpakaian agak pantas.

Mujur bahwa saya mendapat sambutan baik dari kepala desa maupun rakyatnya, sehingga setiap hari saya bisa makan nasi dengan lauk ayam. Pada hari Selasa saya menyuruh menyelidiki siapa-siapa yang masih hidup dari tempat-tempat di pantai. Hasilnya amat menyedihkan.

Hampir seluruh Beneawang musnah. Saya menaksir korban jiwa di daerah ini ada sekitar seribu orang. Banyak kampung lenyap. Di banyak desa terjadi kelaparan. Mohon dikirim beberapa potong pakaian, sebab saya tak mempunyai apa-apa lagi, juga sepatu atau selop.

Hujan batu apung membara dan abu panas

Menurut laporan resmi, di Beneawang sekitar 250 orang meninggal, termasuk hampir semua pemuka adat daerah itu yang berkumpul untuk menyambut kedatangan residen. Termasuk Van Zuylen, klerk-griffier, pembantu Le Sueur, satu-satunya Belanda yang tewas.

Kampung-kampung pantai di sebelah barat dan timur Teluk Semangka mengalami penghancuran total atau sebagian; hanya di Tanjungan dan di Tanjung Beringin yang terletak di dekatnya 327 orang dinyatakan hilang, di Betung yang berdekatan 244 orang.

Dari Ketimbang di pantai Teluk Lampung kita ikuti kisah kontrolir Beyerink yang lebih mengenaskan, karena ia pribadi kehilangan seorang anggota keluarganya dalam malapetaka itu.

"Pada Minggu sore, tanggal 26 Agustus itu distrik kami ditimpa hujan abu dan batu apung membara. Rakyat melarikan diri dalam suasana panik. Abu yang jatuh itu begitu panasnya, sehingga hampir semua orang menderita luka bakar pada muka, tangan dan kaki. Di antara penduduk yang berjumlah kurang lebih tiga ribu orang yang mengungsi bersama saya ke daerah yang lebih tinggi, paling sedikit ada seribu orang yang meninggal karena luka bakar. Seorang di antara anak saya juga meninggal. Kami terpaksa memakamkannya dalam abu."

Antara pukul sembilan dan sepuluh malam air mulai menggenangi halaman rumah kontrolir. Ini merupakan dorongan kuat bagi Bayerink untuk mengajak keluarganya yang terdiri atas istrinya dan kedua anaknya yang masih kecil mengungsi ke Kampung Umbul Balak di lereng Gunung Raja Basa.

Semalam-malaman turun hujan kerikil dan abu, hari Minggunya sampai pukul 11 malam hujan deras, paginya antara pukul sembilan dan sepuluh jatuh kepingan-kepingan batu apung, ada yang sebesar kepala. Ledakan-ledakan sudah terdengar terus-menerus sejak hari Minggu dan sejak hari Senin tercium bau belerang.

Gelegar letusan terhebat terdengar sekitar pukul sepuluh, disusul segera oleh kegelapan total. Tak lama kemudian mulai turun abu panas, yang rasanya sangat nyeri jika terkena kulit. Ini berlangsung kira-kira seperempat jam, mungkin lebih lama, disertai uap belerang yang menyesakkan napas.

Sesudah itu turun hujan lumpur, yang melekat pada tubuh, tetapi lebih mending daripada abu panas yang mengakibatkan luka-luka bakar. Lumpur dan abu silih berganti berjatuhan semalam suntuk, mungkin juga sampai Selasa pagi.

Selama lima hari Beyerink dengan keluarganya menderita di bawah tempat berteduh yang sederhana, dikelilingi sejumlah besar rakyat yang ikut melarikan diri ke tempat itu. Mereka semuanya sangat menderita, terutama oleh luka-luka bakar yang tak diobati. Anak terkecil keluarga Bayerink akhirnya meninggal karena luka-lukanya dan keadaan yang menyedihkan itu.

Akhirnya mereka dibebaskan oleh kapal bargas Kediri yang pada hari Sabtu pagi, tanggal 31 Agustus membuang sauh di Teluk Kalianda. Nakhoda kapal serta beberapa anak buahnya melakukan peninjauan ke darat.

Mereka mendengar bahwa kontrolir dengan keluarganya mengungsi di Umbal Balak. Mereka bergegas menjemputnya. Dengan bantuan tandu keluarga yang malang itu akhirnya dapat dibawa ke pantai dan hari itu juga Kediri bertolak ke Jakarta.

Demikianlah kisah beberapa saksi mata yang mengalami secara pribadi malapetaka Krakatau itu. Para pengamat waktu itu setelah mengumpulkan data yang diperoleh, menyimpulkan bahwa letusan Krakatau bulan Agustus 1883 itu tidak disertai atau didahului oleh gempa kuat. Di beberapa tempat memang terasa guncangan ringan.

Bulan dan matahari berwarna-warni

Yang meminta korban jiwa maupun kerusakan paling berat adalah air pasang yang melanda pantai-pantai yang berbatasan dengan Selat Sunda dan utara Pulau Jawa. Hanya sebagian kecil korban diakibatkan oleh abu panas, sedang awan panas atau gas beracun tidak tercatat.

Dari laporan-laporan ternyata bahwa gelombang pasang itu terjadi tiga kali, yang pertama pada hari Minggu pukul 18.00, pada hari Senin sekitar pukul 06.30 dan pukul 10.30.

Gelombang yang terakhir adalah yang terbesar, yang menyebabkan kerusakan paling banyak. Penghancuran Teluk Betung dan Caringin terutama diakibatkan oleh gelombang terakhir itu.

Setelah aktif selama 121 hari sejak bulan Mei dan puncak ledakan tanggal 28 Agustus itu akhirnya semuanya menjadi tenang kembali. Krakatau lenyap seperti ditelan bumi; hampir seluruh belahan utara pulau itu hilang.

Yang tinggal hanya batuan sepanjang 813 meter. Gunung berapi Danan dan Perbuatan juga gaib, dan di tempat itu terbentuk suatu kaldera raksasa yang berdiameter 7,4 km.

Abu halus yang dilontarkan ke angkasa ditiup ke arah barat oleh angin dan keliling dunia dengan kecepatan 121 km tiap jamnya. Setelah enam minggu, dalam bulan Oktober 1883 suatu sabuk debu dan abu halus menyebar sekitar bumi.

Hanya dua hari setelah letusan abu halus itu sudah meliputi benua Afrika dan lima belas hari kemudian telah mengitari bumi, mengakibatkan suatu kabut di seluruh daerah khatulistiwa yang menyebar sedikit demi sedikit. Pada tanggal 30 November kabut itu mencapai Islandia.

Kabut debu itu menyebabkan pelbagai dampak optik, termasuk senja kala yang gilang gemilang, matahari dan bulan berwarna dan munculnya corona. Di banyak tempat di dunia terlihat matahari atau bulan berwarna merah jambu, hijau, biru.

Enam bulan setelah letusan Krakatau, penduduk kota Missouri di Amerika melihat matahari kuning dengan latar belakang langit hijau. Pada tanggal 29 Desember di Hankow (Cina) orang melihat matahari tiba-tiba menjadi hijau, kemudian merah lalu kembali lagi hijau.

Belakangan, sebuah majalah populer Belanda memberi judul karangan tentang, letusan Krakatau "Lebih hebat daripada bom atom".

Ledakan bom atom bukan apa-apa dibandingkan dengan letusan Krakatau. Bom atom pertama yang diledakkan sebagai percobaan di dekat Los Alamos pada tanggal 16 Juni 1945 memancarkan energi sebesar 0,019 Megaton, sedangkan ledakan Krakatau diperkirakan sebesar 410 Megaton!

Kekuatan letusan itu setara dengan 21.428 bom atom. Sedang korban jiwa yang direnggutnya oleh gelombang pasang merupakan yang tertinggi yang pernah tercatat sampai akhirnya dipecahkan oleh korban Tsunami Aceh 2004.

© Copyright @2024 LIDEA. All Rights Reserved.