(Hampir) Kamu orangnya
Dimas Aldean Ubaidillah October 23, 2024 02:20 AM
Cerita ini hanya ingin aku jadikan bukti, kelak di masa depan jika ternyata di masa lalu aku pernah bertemu orang yang nyaris sempurna. Aku malu untuk menyebutkan namanya dan aku juga bingung nama samaran apa yang cocok untuknya, karena sosoknya sudah sempurna dengan namanya.
Dua tahun yang lalu, aku sedang mengikuti KKN di Desa Mekar Wangi. Pertemuan tidak sengaja itu menjadi awal cerita bagi kami. Dia merupakan seorang guru di suatu sekolah di dalam desa itu. Seiring berjalannya hari, aku dan dia sering bertemu hingga kami bertukar kontak. Sejak awal pertemuan kami, aku telah menyukainya. Dia adalah seseorang yang selalu menebar senyuman yang manis, mudah ramah, sedikit garing, tetapi jokesnya selalu bisa aku mengerti.
Setelah KKN selesai, aku pamit dari desa itu dan kembali ke kotaku. Di sinilah HTS dan LDR kami dimulai, berawal dari seringnya ia mengirimkan pesan dengan kalimat random tapi sopan. Aku menyadari aku menyukainya, tentu saja aku tidak ingin melewatkan kesempatan ini. Isi pesan yang kami kirimkan sering kali bercerita tentang kegiatan masing-masing, ia bercerita kalau ia sangat menyukai pekerjaannya, ia juga menyukai anak-anak. Aku yakin dia seorang guru yang baik.
Dengan kedekatan kami, aku tidak pernah berharap lebih kepadanya, memang pemikirannya sangat dewasa padahal kami hanya selisih 3 tahun, dia juga pribadi yang sabar dan sangat perhatian, mungkin karakternya dibentuk oleh pekerjaannya.
Siang hari di kampus, aku menceritakan dia kepada sahabatku. Ia yang kutemukan di desa itu adalah seorang laki-laki dengan kriteria idamanku, semua kriterianya adalah sosok yang kucari selama ini, temanku saja heran kok bisa kami sampai akrab, bahkan hingga bertukar kontak whatsapp.
Suatu hari, ia mengirim pesan ke kontakku “aku boleh gak datang ke rumah? mau ngelamar kamu”. Seketika aku syok sekaligus sangat bahagia, memangnya boleh sebahagia ini dilamar dan dicintai pada pandangan pertama, tetapi aku memutuskan untuk menolaknya.
Tujuh tahun yang lalu, di umurku yang ke-16 tahun, dokter mendiagnosa bahwa aku mengalami penyakit yang kelak tidak dapat memiliki keturunan. Saat itu, aku menerima kenyataan ini dengan lapang dada dan belum disertai kesedihan. Aku mengatakan “Ya, gapapa gak punya anak”, tetapi ternyata setelah aku merasakan jatuh cinta, aku menyadari bahwa aku belum mampu menerima kenyataan ini.
Dengan mengetahui karakternya yang menyukai anak-anak, aku semakin ingin menolaknya. Lamarannya menjadi hal yang sangat menyakitkan, sebenarnya dia tidak mempermasalahkan, tetapi ini situasi yang sangat berat. Hal itu sudah ku anggap menjadi kekuranganku, karena hal ini sangat sensitif dan mungkin di luar sana masih banyak perempuan yang lebih baik. Menikah bukan project kecil, menikah adalah project seumur hidup. Dia berhak mendapatkan perempuan yang juga hampir sempurna sepertinya.
Rasa cintaku tidak lebih besar dari rasa takutku. Aku takut kalau nantinya jika aku menerimanya hanya akan menjadi aib untuknya dan untuk keluarganya. Aku mencintainya dan ingin memberikan yang terbaik untuknya, meskipun yang kuberikan adalah dengan tidak bersamanya. Aku memutuskan untuk berhenti berkomunikasi dengannya, aku memintanya untuk melupakanku karena aku belum bisa membiarkan orang lain menerima kekuranganku sedangkan aku saja belum bisa menerima kekuranganku sendiri.
Sudah beberapa hari ini, aku memilih untuk mengistirahatkan pikiranku di kamar bernuansa pastel merah muda. Aku mencoba untuk menerima kekuranganku walaupun tidak semudah yang kupikirkan. Sore ini, di rumah hanya ada aku seorang karena hari ini jadwal mata kuliahku online dan tidak ada kegiatan yang mengharuskan ke kampus.
Langkah kaki pria berpakaian seorang guru itu tepat berada di depan rumahku. Ia mengetukkan jari-jarinya ke permukaan pintu. Tanpa sepengetahuanku, aku membukakan pintu untuknya. Ucapan salam darinya mengagetkanku, diri ini mematung dan bibir ini mengatup tidak membalas salamnya. Dengan beberapa jeda waktu, aku membalas salam dan mempersilakan dirinya untuk duduk di teras depan.
Hening seketika. Tak ada suara di antara kami hingga ia memecahkan keheningan ini. Dengan sopan, ia menanyakan kabarku karena sudah beberapa hari aku hilang komunikasi. Mau bagaimana pun, aku memberinya penjelasan, ku ceritakan mengapa aku menghilang tanpa kabar. Ia sempat tersentak mendengar penjelasan yang aku tuturkan hingga meneteskan air mata.
Ia mendekat dan memelukku dengan erat, seolah paham sekali apa yang aku rasakan. Ia memberiku sebuket bunga matahari yang sedari tadi ia bawa. “Bunga mataharinya kamu simpan ya, supaya kamu seceria warna kuning di bunga ini” ujarnya. Aku menerima dengan senyum yang masih terpaksa aku tampilkan. Kuucapkan terima kasih kepadanya yang telah mengerti dan sedikit menghibur diriku dengan sebuket bunga matahari.
© Copyright @2024 LIDEA. All Rights Reserved.