TRIBUNNEWS.COM, CIANJUR - Baru-baru ini, sebuah video viral yang menggugah perhatian publik muncul dari Cianjur.
Dalam video tersebut, seorang siswi SDN Babakan terlihat menangis setelah digunduli oleh gurunya.
Peristiwa ini terjadi di SDN Babakan, Desa Mekarsari, Kecamatan Cikadu, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Selasa (6/11/2024).
Berdasarkan informasi, tindakan guru tersebut dilakukan karena siswi tersebut diduga memiliki banyak kutu rambut dan kondisi rambut yang kurang terurus.
Dalam video yang beredar, tampak siswi itu terlihat murung dan sangat emosional setelah potongan rambutnya.
Seorang anggota keluarga siswi menyampaikan bahwa ia merasa kaget dan tidak menerima tindakan guru yang mengunduli rambut anak tersebut.
Dalam rekaman berdurasi 1 menit 6 detik.
“Astafirullahaladzim, ibu bapak ini anak ceritanya baru pulang sekolah dan menangis. Katanya, digunduli oleh gurunya.” Ia juga mempertanyakan apakah tidak ada cara lain untuk menangani masalah tersebut tanpa harus mengunduli anak," katanya.
Keluarga siswi sangat merasa tertekan dan kesal atas tindakan tersebut.
Mereka mengungkapkan bahwa anak tersebut kini tidak mau kembali ke sekolah dan merasa trauma.
“Saya selaku saudaranya merasa tidak menerima melihat anak dengan kondisi seperti ini. Bagaimana pertanggungjawabannya?” kata salah satu anggota keluarga.
Mereka bahkan mempertimbangkan untuk memindahkan anak itu ke sekolah lain, meskipun anak tersebut menolak.
Kepala Bidang SD Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Cianjur, Arifin, mengonfirmasi bahwa siswi tersebut memang terdaftar sebagai murid di SDN Babakan.
Ia menyampaikan bahwa pihaknya akan meminta maaf kepada keluarga korban.
“Saya sedang perintahkan kordik pengawasan, kepala sekolah, dan guru untuk datang ke rumah murid tersebut untuk meminta maaf,” ungkapnya.
Arifin menjelaskan bahwa tindakan guru mungkin didasari oleh niat baik untuk membantu siswi tersebut mengatasi masalah kutu rambutnya namun menekankan bahwa cara yang diambil sangat tidak tepat.
“Kondisi rambut anak tersebut memang kurang terurus, gimbal, dan banyak kutu. Mungkin karena kurang terurus orang tuanya, dan informasi dari ibu murid tersebut bahwa ia ada di luar kota,” jelasnya.
Kejadian ini menunjukkan pentingnya komunikasi dan pendekatan yang sensitif dalam menangani masalah di lingkungan pendidikan.
Sementara niat baik mungkin ada di balik tindakan guru, cara yang diambil dapat memiliki dampak yang merugikan bagi anak.
Ini juga mengingatkan kita akan perlunya kerjasama antara pihak sekolah dan orang tua dalam mendukung kesejahteraan anak.
Diharapkan ke depannya, ada solusi yang lebih baik dalam menangani masalah serupa agar tidak terulang kembali.
Sementara guru berinisial SA yang mengajar di SMP Negeri 3 Kota Sorong, Papua Barat Daya terpaksa menghadapi denda sebesar Rp100 juta.
Seperti dilansir dari Tribun Sorong, denda ini muncul setelah video seorang siswi berinisial ES, 13 tahun, yang sedang menghias alisnya dengan spidol viral di media sosial.
Kepala SMPN 3 Kota Sorong, Herlin S.Maniaga menjelaskan, peristiwa bermula saat SA merekam aktivitas siswi ES tanpa sepengetahuannya.
"Guru SA kemudian diam-diam merekam aktivitas siswi ES yang sedang menghias alis menggunakan spidol," ungkap Herlin.
Video tersebut diunggah oleh ES ke akun TikTok pribadinya dan kemudian menyebar ke platform lain, seperti Instagram, yang menimbulkan berbagai reaksi dari warganet.
Kemarahan keluarga ES muncul setelah video tersebut menimbulkan stigma negatif dan bullying di media sosial.
"Kami didatangi oleh keluarga ES terkait video viral ini," kata Herlin.
Pihak keluarga awalnya meminta denda sebesar Rp500 juta, namun setelah negosiasi, jumlah tersebut turun menjadi Rp100 juta dengan tenggat pembayaran pada 9 November 2024.
Pihak sekolah dan Dinas Pendidikan Kota Sorong telah berupaya menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan.
Sekolah telah melakukan dua kali negosiasi, tetapi belum mencapai kesepakatan.
Dalam rapat dengan komite sekolah, pihak sekolah memutuskan untuk membantu membayar denda.
Sekolah menyanggupi Rp10 juta, sementara SA bersedia membayar Rp20 juta namun sisanya masih dicari solusinya.
Sebagai bentuk solidaritas, seluruh guru di Kota Sorong berinisiatif mengumpulkan dana untuk membantu membayar denda tersebut.
“Gerakan solidaritas tersebut berdasarkan hasil rapat bersama PGRI setiap orang guru hanya diberi batas nominal Rp 30.000,” kata Herlin.
Herlin berharap kasus ini menjadi pelajaran bagi seluruh dewan guru dan orang tua siswa.
Semua pihak juga diminta dapat lebih berhati-hati dan menyelesaikan masalah secara baik.