Menghindari Politik Ad Hominem Pilkada Jombang 2024
GH News November 08, 2024 05:07 PM

TIMESINDONESIA, JOMBANG – Perhelatan Pilkada serentak 2024 akan segera digelar tanggal 27 November ini. Tidak terkecuali masyarakat di Jombang juga akan menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin Kota Santri lima tahun ke depan. 

Sesuai dengan ketetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Jombang pada Ahad (22/09/24) menetapkan dua pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati yang melenggang secara resmi. Mereka adalah pasangan calon Nyai Hj Mundjidah Wahab-Sumrambah sebagai paslon nomor urut satu dan pasangan calon H Warsubi-KH Salmanuddin Yazid sebagai paslon urut nomor dua.

Mesin politik sudah dipanaskan, berbagai tak tik dan cara tim pemenangan telah direncanakan untuk meraup suara di kantong-kantong kelompok militan. Jika dilihat dari kasat mata, Jombang adalah lumbung suara dari kelompok ijo dan abang.

Ijo yang berarti melambangkan basis santri dan abang melambangkan basis kaum nasionalis. Keduanya, memiliki semangat dan cita-cita yang sama untuk memajukan NKRI yang berideologi pancasila.

Namun, keragaman masyarakat yang ada di Jombang hendaknya tidak digunakan oleh berbagai pihak untuk kepentingan kelompok dan golongan apalagi hanya kepentingan politik sesaat. Bagaimana seharusnya masa kampanye saat ini yang masih berlangsung dapat digunakan dan diisi dengan kampanye-kampanye yang sehat dan membangun bukan kampanye yang menyakiti dan memecah belah. Karena dampaknya akan sangat terasa hingga masyarakat lini bawah.

Meski kedua paslon telah memiliki gerbongnya masing-masing, namun masih ada gerbong yang masih belum menentukan pilihannya. Inilah terkadang yang menimbulkan celah untuk masing-masing tim pemenangan melakukan “Politik Ad Hominem”. Tujuannya yang pertama adalah untuk meyakinkan pemilih militan, kedua adalah untuk meraup suara yang masih bimbang dan ketiga adalah untuk memecah suara lawan.

Sebenarnya apa sih Politik Ad Hominem? Dan apakah memang telah terjadi di Pilkada Jombang 2024 saat ini? Istilah “Ad Hominem” berasal dari bahasa latin yang berarti “berasal dari orangnya”. 

Dalam konteks politik saat ini, adalah sebuah campaign yang digunakan oleh kelompok tertentu untuk menyerang kelompok yang lainnya secara pribadi. Dalam hal ini yang diserang bukanlah argumen maupun kebijakannya, namun serangan pribadi yang bertubi-tubi untuk merusak citra diri.

Dalam konteks pilkada Jombang kali ini, penggiringan opini publik seringkali masih menggunakan teknik Politik Ad hominem secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Publik akan lebih diajak untuk menguliti keburukan sosok yang akan menjadi pemimpin ketimbang bagaimana cara mereka membuat Jombang menjadi Kota yang maju. 

Jika kita menyisir media sosial dan mencari strategi campaign kedua belah pihak, kita akan masih menemukan beberapa titik kotor di dalamnya. Baik itu konten yang dibuat sengaja maupun tanggapan warganet yang terpancing dengan konten tersebut, sehingga menanggapi dengan hinaan dan cacian pula. 

Misalnya, di beberapa komentar terhadap Paslon nomor urut satu, mereka mendapat serangan dari warganet tentang issu ageisme. Ageisme di sini adalah perlakuan tidak adil atau diskriminasi terhadap kelompok usia. 

Serangan ini membentuk opini apabila seseorang sudah lanjut usia maka tidak akan gerak cepat dalam mengambil kebijakan tertentu. Jelas ini keliru, karena kebijakan dan pelaksanaan kebijakan akan melibatkan banyak orang untuk membantu merealisasikan kebijakan yang strategis. Tidak mungkin berpusat pada satu orang yang menjadi objek.

Terhadap paslon nomor urut dua, penulis juga menemukan beberapa konten digital yang mengkritisi “demam panggung” pasca Debat Publik pertama, dan gelagat pasangan calon yang berujung bulliying. Tentu hal ini tidak diindahkan, meski tidak mendapat serangan secara fisik. Kedua paslon sama-sama mendapat serangan cyber. Dan masih banyak konten digital yang menggiring opini publik untuk menghujat kedua paslon bukan karena kebijakannya, melainkan karen isu-isu pribadi yang dapat merusak citra diri, harkat dan martabat seseorang. 

Hal ini sebaiknya perlu dihindari atau ditindaklanjuti pihak berwenang. Karena kita tidak tahu sejauh mana dampak yang ditimbulkan. Bisa jadi terlalu jauh. Setelah Proses Pilkada 2024 ini selesai, persepsi yang ditimbulkan tetap akan berdampak pada perpecahan lini bawah. Padahal tidak menutup kemungkinan, kedua pasangan calon dapat  berkolaborasi dalam membangun Jombang lima tahun ke depan.

Untuk hasil demokrasi yang sehat, kita juga harus menggunakan proses demokrasi yang sehat. Sebaiknya, proses kampanye kedua belah pihak menonjolkan capaian dan keunggulan masing-masing serta rencana program strategis yang dapat menyejahterakan masyarakat Jombang secara merata. 

Bukan melakukan “Politik Ad Honimem” yang dapat menciderai proses demokrasi.  Sebagai pemilih yang cerdik, janganlah kita mau diadu domba dengan sesama anak bangsa untuk kepentingan politik sesaat. (*)

***

*) Oleh: Rifatuz Zuhro, Penulis Buku Sejarah Pendidikan Islam Nusantara.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi TIMES Indonesia.

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

© Copyright @2024 LIDEA. All Rights Reserved.