Eks Wakil Ketua Dewan Pers, Bambang Harymurti menekankan pentingnya revisi terhadap UndangUndang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) agar lebih melindungi kebebasan berekspresi di era modern.
Hal itu ia sampaikan saat menjadi ahli dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait perkara nomor 105/PUUXXI/2024 tentang UndangUndang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU) ITE, Rabu (13/11/2024).
Menurut Bambang, penambahan ketentuan pidana dalam UU ITE yang berlaku sejak 2008 telah memicu banyak kasus kriminalisasi yang dirasa tidak adil, terutama dalam hal pencemaran nama baik dan penyebaran kebencian.
Ia menyoroti ketentuan pidana dalam UU ITE kerap disalahgunakan untuk mengkriminalisasi masyarakat.
“Kegagalan untuk memahami perkembangan yang ada ini menyebabkan ketentuan pidana dalam UndangUndang ITE 2008 menjadi rawan disalahgunakan,” ujar Bambang.
Salah satu contoh yang Bambang angkat adalah kasus Prita Mulyasari pada 2009, seorang ibu dua anak, ditahan selama 20 hari hanya karena mengeluhkan pelayanan rumah sakit lewat surel yang kemudian tersebar luas.
Bambang juga mengungkapkan, tujuan awal UU ITE 2008 sebetulnya hanya mengatur aspek teknis transaksi bisnis elektronik, bukan untuk pidana pencemaran nama baik atau penyebaran kebencian.
Dewan Pers, katanya, tidak memberikan komentar terhadap rancangan awal UU ITE karena saat itu tidak ditemukan adanya pasalpasal yang menyangkut kriminalisasi atas pencemaran nama baik.
“Sama sekali tidak ada kaitan dengan masalahmasalah menyangkut pencemaran nama baik dan sebagainya di Pasal 27 dan 45 itu tidak ada,” tegasnya.
Dalam pandangan Bambang, tambahan ketentuan pidana dalam UU ITE ini adalah warisan hukum kolonial yang kurang sesuai dengan perkembangan hak asasi manusia saat ini.
UU ITE menurutnya perlu dirombak agar tidak lagi menjadi alat untuk menakutnakuti masyarakat dalam mengekspresikan pendapat mereka, baik di media konvensional maupun media sosial.