Normalisasi Kian Jauh, Arab Saudi dan Kuwait Kecam Seruan Menteri Israel yang Mau Caplok Tepi Barat
TRIBUNNEWS.COM - Arab Saudi dan Kuwait pada Rabu (13/11/2024) bergabung dalam gelombang kecaman terhadap seruan Menteri Keuangan sayap kanan Israel Bezalel Smotrich untuk mencaplok Tepi Barat yang diduduki.
Dalam sebuah pernyataan, Kementerian Luar Negeri Arab Saudi memperingatkan kalau seruan Smotrich "melemahkan upaya perdamaian , termasuk solusi dua negara, mendorong perang, memicu ekstremisme, dan mengancam keamanan dan stabilitas di kawasan."
"Pernyataan-pernyataan ini merupakan pelanggaran berat terhadap hukum internasional dan resolusi PBB yang relevan, dan melanggengkan pendudukan serta perluasan perampasan tanah dengan kekerasan, yang merupakan preseden berbahaya," tambahnya.
Ia memperingatkan bahwa konsekuensi dari kegagalan internasional yang berkelanjutan "melampaui batas krisis ini dan memengaruhi legitimasi dan kredibilitas aturan sistem internasional, serta mengancam kelangsungannya."
Kementerian Luar Negeri Kuwait menggambarkan seruan Smotrich sebagai "pelanggaran mencolok terhadap hukum internasional dan resolusi PBB yang relevan serta pelanggaran terang-terangan terhadap hak rakyat Palestina untuk mendirikan negara merdeka."
Ia memperingatkan kalau pernyataan menteri Israel tersebut justru "akan semakin memperumit situasi regional" dan merupakan "batu sandungan bagi upaya perdamaian internasional yang bertujuan mencapai perdamaian dan stabilitas regional dan dunia."
Pada Senin, Smotrich mengatakan bahwa ia menginstruksikan Divisi Pemukiman dan Administrasi Sipil Israel untuk memulai pembangunan infrastruktur untuk "menerapkan kedaulatan" di Tepi Barat.
Seruan ini memicu gelombang kecaman di seluruh dunia Arab.
Juni ini, Smotrich mengonfirmasi laporan dari The New York Times kalau dia mempunyai "rencana rahasia" untuk mencaplok Tepi Barat dan menggagalkan segala upaya untuk menggabungkan wilayah tersebut ke dalam negara Palestina di masa mendatang.
Pada bulan Juli tahun ini, Mahkamah Internasional (ICJ) mengeluarkan pendapat penting yang menyatakan pendudukan Israel selama puluhan tahun atas tanah Palestina sebagai "ilegal" dan menuntut evakuasi semua permukiman yang ada di Tepi Barat dan Yerusalem Timur.
Menurut lembaga penyiaran publik Israel KAN pada Selasa, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berencana untuk memperkenalkan kembali aneksasi Tepi Barat ke agenda pemerintahannya ketika Presiden terpilih AS Donald Trump menjabat.
Pada tahun 2020, Netanyahu berencana untuk "mencaplok" pemukiman ilegal Yahudi di Tepi Barat dan Lembah Yordan, berdasarkan apa yang disebut rencana perdamaian Timur Tengah yang diumumkan oleh Trump pada bulan Januari tahun yang sama.
Wilayah yang direncanakan Netanyahu untuk dianeksasi saat itu mencakup sekitar 30 persen wilayah Tepi Barat. Namun, rencananya tidak diluncurkan karena tekanan internasional dan kurangnya persetujuan AS.
Hukum internasional memandang Tepi Barat dan Yerusalem Timur sebagai "wilayah pendudukan" dan menganggap semua aktivitas pembangunan pemukiman Yahudi di sana sebagai ilegal.
Niatan Israel ini jelas melemahkan upaya normalisasi hubungan Israel-Arab Saudi yang sudah dirancang Amerika Serikat (AS), sekutu abadi Israel, selama bertahun-tahun.
Arab Saudi menegaskan kalau aksi provokatif Israel ini membuat mereka makin 'ilfil' untuk menjalin hubungan dengan negara pendudukan tersebut.
Menteri Luar Negeri Kerajaan Arab Saudi, Pangeran Faisal bin Farhan menegaskan hubungan bilateral negaranya dengan AS tak terikat dengan pihak ketiga mana pun.
Termasuk untuk menormalisasi hubungan Arab Saudi dengan Israel yang selama ini digencarkan AS.
Pangeran Faisal mengatakan, beberapa perjanjian bilateral yang sedang dinegosiasikan dengan Washington "tidak terlalu terikat" dengan normalisasi hubungan Saudi dengan Israel.
"Beberapa perjanjian kerja sama pertahanan yang lebih penting jauh lebih rumit."
"Kami tentu akan menyambut baik kesempatan untuk menyelesaikannya sebelum masa jabatan pemerintahan (Presiden) Biden berakhir, tetapi itu bergantung pada faktor-faktor di luar kendali kami," kata Pangeran Faisal, dikutip dari Arab News.
Mengesampingkan kemungkinan Arab Saudi mengakui Israel tanpa berdirinya negara Palestina, Pangeran Faisal menyatakan, ini tetap menjadi satu-satunya solusi yang layak, terlepas dari penerimaan Israel.
Berbicara pada pertemuan puncak Inisiatif Investasi Masa Depan di Riyadh, ia menekankan, pembentukan negara Palestina berakar pada hukum internasional dan resolusi PBB.
"Pada kenyataannya, pembentukan negara Palestina tidak bergantung pada apakah Israel menerimanya atau tidak; melainkan bergantung pada prinsip-prinsip hukum internasional," ucapnya.
"Resolusi PBB yang mengarah pada pembentukan negara Israel jelas-jelas membayangkan negara Palestina juga, jadi kita perlu mewujudkannya," tegasnya.
Pangeran Faisal menegaskan, normalisasi hubungan Saudi-Israel "tidak mungkin" dilakukan hingga ada resolusi terkait kenegaraan Palestina.
"Keamanan kawasan secara keseluruhan terancam jika kita tidak memperhatikan hak-hak warga Palestina," kata Pangeran Faisal.
Menurut Kantor Berita Saudi (SPA), pemerintah di Riyadh menegaskan kembali kutukan dan kecamannya atas kejahatan dan pelanggaran yang terus berlangsung terhadap rakyat Palestina.
Tak hanya itu, Arab Saudi juga mengutuk pelanggaran yang dilakukan Israel selama melakukan agresi di Lebanon.
Saat ini, Arab Saudi tengah menginisiasi pertemuan pertama Aliansi Global untuk Implementasi Solusi Dua Negara.
Tujuannya adalah untuk memberikan tekanan bagi pembentukan negara Palestina, menurut media resmi.
Mengutip Middle East Monitor, Pangeran Faisal mengumumkan aliansi tersebut di Sidang Umum PBB pada bulan September, dengan menunjukkan aliansi tersebut mencakup negara-negara Arab, Islam, dan Eropa.
Dalam pidatonya saat pembukaan sidang, Pangeran Faisal menegaskan bahwa meningkatnya kekerasan dan pelanggaran Israel di Palestina dan Lebanon, mengharuskan masyarakat internasional mengambil sikap tegas.
Sikap yang diminta Pangeran Faisal untuk dunia adalah mengakhiri pelanggaran yang merusak peluang solusi dua negara dan mendorong ketidakstabilan yang lebih parah.
Ia juga menekankan perlunya gencatan senjata segera dan diakhirinya kebijakan impunitas, sembari menegaskan dukungan Kerajaan terhadap UNRWA dan peran pentingnya dalam menyediakan bantuan kemanusiaan, mengingat tantangan yang dihadapinya di wilayah Palestina yang diduduki.
Sebanyak 47 warga Palestina di Gaza tewas terbunuh dalam pemboman Israel pada Kamis (31/10/2024) malam waktu setempat.
Dikutip dari Reuters, serangan itu terjadi di Kota Deir Al-Balah, kamp Nuseirat dan Kota Al-Zawayda.
Militer Israel mengatakan pasukannya telah mengidentifikasi dan melenyapkan "beberapa orang bersenjata" di Gaza tengah dan telah melenyapkan "puluhan militan" dalam serangan tertarget di wilayah Jabalia, Gaza utara.
Hingga kini, Israel telah membunuh lebih dari 43.000 warga Palestina dan menghancurkan sebagian besar daerah kantong itu menjadi puing-puing.
Militer Israel menuduh kelompok militan Palestina Hamas menggunakan Rumah Sakit Kamal Adwan di Beit Lahiya untuk tujuan militer.
Israel mengatakan "puluhan militan" bersembunyi di sana. Pejabat kesehatan dan Hamas membantah pernyataan tersebut.
Kementerian Kesehatan di Jalur Gaza menyerukan semua badan internasional "untuk melindungi rumah sakit dan staf medis dari kebrutalan pendudukan (Israel)".
Lembaga amal medis Médecins Sans Frontières (MSF) mengatakan bahwa salah satu dokternya di rumah sakit tersebut, Mohammed Obeid, telah ditahan Sabtu lalu oleh pasukan Israel.
Lembaga tersebut menyerukan perlindungan bagi dia dan semua staf medis yang "menghadapi kekerasan mengerikan saat mereka mencoba memberikan perawatan".