Meski konsumen di Asia Pasifik (APAC) merangkul kecerdasan buatan (AI) dan teknologi baru, banyak yang merasa cemas tentang masa depan, menurut laporan dari Ipsos. Di seluruh wilayah Asia Pasifik, 68 persen melihat AI berdampak positif pada dunia, dibandingkan dengan 57 persen secara global. China menjadi yang paling terbuka terhadap teknologi baru AI di antara 50 pasar yang disurvei.
"Wilayah ini siap untuk transformasi, para pemimpin perusahaan mengharapkan bisnis untuk memimpin dalam mempromosikan perubahan yang sadar lingkungan," kata Hamish Munro (CEO Ipsos APEC).
Meskipun ada optimisme ini, kekhawatiran tentang AI tetap ada, kata Ipsos. Di India, persepsi bahwa proses teknologi berdampak negatif pada kehidupan telah meningkat sebesar 19 persen sejak 2013, sementara di Jepang, peningkatan sentimen ini mencapai 18 poin. Selain itu, 7 dari 10 orang khawatir tentang privasi digital dan praktik pengumpulan data, dengan kekhawatiran yang sangat tinggi di Filipina (86%), Thailand, dan Singapura (masing-masing 81%).
Generasi muda terutama merasa tidak nyaman, dengan lebih dari setengah (57%) responden Gen Z berharap mereka tumbuh di era orang tua mereka. Ipsos menyarankan bahwa merek dapat memanfaatkan nostalgia ini dengan menggabungkan elemen tradisional dengan teknologi modern.
Perubahan iklim adalah masalah mendesak lainnya bagi konsumen APAC. Dengan 8 dari 10 orang percaya bahwa tindakan segera diperlukan untuk mencegah bencana lingkungan. Sebagian besar responden merasa bahwa mengurangi perubahan iklim tidak hanya menjadi tanggung jawab individu, dengan 73 persen mengklaim mereka sudah melakukan segala yang mereka bisa untuk lingkungan.
Orang Indonesia memimpin sentimen ini dengan 91%, diikuti oleh Thailand (89%) dan Filipina (87%). Tiga perempat responden percaya bahwa perusahaan gagal menangani masalah lingkungan. Di negara-negara seperti India, Taiwan, Indonesia, dan Thailand, ada pandangan yang meluas bahwa mungkin sudah terlambat untuk mengurangi perubahan iklim.