Mengapa, dalam Mengatasi Pemberontakan Andi Azis Pemerintah Menggunakan Cara Damai, Namun Akhirnya Mengadakan Operasi Militer Juga?
Afif Khoirul M November 14, 2024 04:34 PM

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-online.com - Angin fajar berbisik lembut di antara rerimbunan daun kelapa, menyapu wajah kota Makassar yang masih terlelap dalam damai.

Namun, di balik keindahan pagi itu, tersembunyi bara api pemberontakan yang siap membakar persatuan Republik Indonesia Serikat yang baru saja lahir.

Kapten Andi Azis, seorang perwira KNIL yang gagah berani namun diliputi kekecewaan, berdiri di garis depan, memimpin pasukannya menentang integrasi dengan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS).

Bayang-bayang Kekecewaan

Andi Azis, putra Sulawesi yang berdarah bangsawan, merasa dikhianati oleh perjanjian yang telah disepakati.

Ia, bersama dengan banyak serdadu KNIL lainnya, merasa terpinggirkan dan tidak dihargai oleh pemerintah pusat.

Janji integrasi yang sejatinya bertujuan untuk menyatukan kekuatan militer, justru terasa seperti penyerapan paksa yang mengancam eksistensi dan identitas mereka.

"Kami telah berjuang membela tanah air ini," seru Andi Azis dengan lantang di hadapan pasukannya, "namun kini kami diperlakukan seperti anak tiri di negeri sendiri!"

Kekecewaan Andi Azis berakar dari rasa ketidakadilan yang dirasakannya.

Ia melihat dominasi tentara Jawa dalam struktur APRIS, sementara para serdadu KNIL, yang juga telah berjasa dalam perjuangan kemerdekaan, justru ditempatkan di posisi marginal.

Ketidakpuasan ini kemudian memicu perlawanan, yang dikenal sebagai Pemberontakan Andi Azis.

Uluran Tangan Perdamaian

Pemerintah Republik Indonesia Serikat, yang dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Hatta, menyadari bahwa kekerasan bukanlah jalan keluar.

Hatta, seorang negarawan yang bijaksana dan arif, memilih jalan damai untuk meredam gejolak di Sulawesi.

Ia memahami bahwa persatuan dan kesatuan bangsa adalah harga mati yang harus dijaga, dan kekerasan hanya akan memperburuk keadaan.

"Kita harus merangkul saudara-saudara kita di Sulawesi," ujar Hatta dengan suara tenang namun tegas, "bukan dengan senjata, melainkan dengan hati yang terbuka dan penuh pengertian."

Hatta menginstruksikan agar dilakukan pendekatan persuasif kepada Andi Azis.

Utusan-utusan pemerintah dikirim ke Makassar, membawa pesan perdamaian dan janji-janji manis untuk menyelesaikan permasalahan secara musyawarah.

Namun, Andi Azis, yang telah terlanjur dibutakan oleh amarah dan kekecewaan, menolak tawaran tersebut.

Ia menuntut pengakuan atas status dan kedudukan pasukannya, serta jaminan bahwa mereka tidak akan disingkirkan dari APRIS.

Operasi Militer: Pilihan Terakhir

Kegagalan upaya damai membuat pemerintah berada di persimpangan jalan.

Di satu sisi, mereka ingin menghindari pertumpahan darah dan menjaga persatuan bangsa.

Namun di sisi lain, mereka juga harus menegakkan kedaulatan negara dan mencegah meluasnya pemberontakan.

Setelah melalui pertimbangan yang matang, Hatta akhirnya mengambil keputusan yang berat: melancarkan operasi militer untuk menumpas Pemberontakan Andi Azis.

"Dengan berat hati, kita harus menggunakan kekuatan militer," ujar Hatta dengan nada getir, "namun ini adalah pilihan terakhir untuk menyelamatkan negara dari perpecahan."

Pada tanggal 26 April 1950, pasukan TNI di bawah komando Kolonel Alex Kawilarang diberangkatkan ke Makassar.

Operasi militer ini bukanlah sebuah aksi balas dendam, melainkan sebuah upaya untuk menegakkan hukum dan memulihkan ketertiban.

Pemerintah tetap membuka pintu dialog, berharap Andi Azis dan pasukannya mau menyerahkan diri dan kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.

Akhir dari Pemberontakan

Operasi militer yang dilancarkan pemerintah berjalan efektif. Pasukan TNI berhasil menguasai Makassar dan menekan pasukan Andi Azis.

Di tengah kepungan pasukan TNI, Andi Azis akhirnya menyadari bahwa perlawanannya sia-sia. Ia memilih untuk menyerahkan diri dan mengakhiri pemberontakan yang telah ia pimpin.

Penangkapan Andi Azis menandai berakhirnya Pemberontakan Andi Azis.

Meskipun harus ditempuh melalui jalan kekerasan, pemerintah tetap memberikan kesempatan kepada Andi Azis untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya di pengadilan.

Ia dijatuhi hukuman penjara, namun kemudian diampuni dan dibebaskan.

Pemberontakan Andi Azis adalah sebuah catatan kelam dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia.

Peristiwa ini menunjukkan bahwa persatuan dan kesatuan bangsa adalah hal yang sangat rapuh, dan mudah sekali terpecah belah oleh kepentingan pribadi dan kelompok.

Namun, di balik tragedi tersebut, terdapat hikmah yang dapat kita petik.

Pertama, pentingnya komunikasi dan dialog dalam menyelesaikan konflik.

Pemerintah telah menunjukkan itikad baik dengan mengupayakan jalan damai, namun kegagalan komunikasi membuat konflik tersebut berujung pada kekerasan.

Kedua, perlunya keadilan dan kesetaraan dalam memperlakukan seluruh warga negara. Kekecewaan Andi Azis dan pasukannya berakar dari rasa ketidakadilan yang mereka rasakan.

Ketiga, pentingnya penegakan hukum dan kedaulatan negara. Pemberontakan, meskipun dilatarbelakangi oleh alasan yang dapat dipahami, tetaplah merupakan tindakan melanggar hukum yang harus ditindak tegas.

---

© Copyright @2024 LIDEA. All Rights Reserved.