Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-online.com - Fajar menyingsing di ufuk timur, menandai babak baru bagi negeri yang baru saja merdeka.
Indonesia, dengan semangat juang yang membara, telah mengibarkan sang saka merah putih, mendeklarasikan kemerdekaannya dari belenggu penjajahan.
Namun, perjalanan membangun negara yang berdaulat penuh tantangan.
Di tengah euforia kemerdekaan, muncul pertanyaan krusial: sistem pemerintahan apa yang paling tepat bagi Indonesia?
Namun, sistem ini tak bertahan lama. Desakan dari berbagai pihak, terutama golongan sosialis, menginginkan sistem parlementer yang dianggap lebih demokratis.
Mereka berpendapat bahwa sistem parlementer akan memberikan peran lebih besar kepada rakyat melalui parlemen.
Pada 14 November 1945, sejarah mencatat perubahan penting dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Kabinet Presidensial digantikan oleh Kabinet Parlementer. Sutan Sjahrir, tokoh sosialis yang disegani, diangkat sebagai Perdana Menteri pertama Indonesia.
Perubahan ini bukan tanpa alasan. Beberapa faktor melatarbelakangi peralihan sistem pemerintahan ini:
Keinginan untuk memperkuat peran parlemen: Sistem parlementer dianggap lebih demokratis karena memberikan kekuasaan lebih besar kepada parlemen sebagai representasi rakyat.
Pengaruh kuat golongan sosialis: Golongan sosialis yang berpengaruh di awal kemerdekaan Indonesia menginginkan sistem parlementer yang diyakini lebih sesuai dengan cita-cita keadilan sosial.
Kondisi politik yang tidak stabil: Pasca kemerdekaan, Indonesia menghadapi berbagai tantangan, seperti agresi militer Belanda dan pergolakan politik dalam negeri.
Sistem parlementer diharapkan mampu menciptakan stabilitas politik.
Perubahan sistem pemerintahan ini membawa angin segar bagi Indonesia.
Kabinet Sjahrir, yang dikenal sebagai "Kabinet Parlementer Pertama", fokus pada diplomasi dan konsolidasi kekuatan di dalam negeri.
Sjahrir, dengan kecerdasan dan kemampuan diplomasinya, berhasil mendapatkan pengakuan internasional bagi kemerdekaan Indonesia.
Namun, sistem parlementer juga memiliki kelemahan. Pergantian kabinet yang sering terjadi mengakibatkan ketidakstabilan politik.
Pergolakan politik dan perbedaan ideologi antar partai politik membuat pemerintahan sulit fokus pada pembangunan.
Di tengah dinamika politik yang bergejolak, Indonesia terus mencari bentuk pemerintahan yang ideal.
Pada tahun 1949, Indonesia menganut sistem parlementer semu (quasi-parlementer) dengan berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS).
Sistem ini merupakan perpaduan antara sistem presidensial dan parlementer.
Namun, sistem ini pun tak bertahan lama.
Pada tahun 1950, Indonesia kembali ke sistem parlementer murni dengan berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950.
Perjalanan sistem pemerintahan Indonesia terus berlanjut.
Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang membubarkan Konstituante dan kembali memberlakukan UUD 1945.
Dengan demikian, Indonesia kembali menganut sistem presidensial yang berlaku hingga saat ini.
Perubahan sistem pemerintahan dari presidensial ke parlementer di awal kemerdekaan Indonesia merupakan bagian penting dari sejarah bangsa.
Meskipun hanya berlangsung beberapa tahun, periode ini memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya mencari sistem pemerintahan yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan bangsa.
---