Para pemimpin dunia, termasuk Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden, Presiden Cina Xi Jinping dan Perdana Menteri (PM) India Narendra Modi, akan menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kelompok 20 (G20) di Rio de Janeiro, Brasil, pada tanggal 18-19 November mendatang.
G20 adalah kumpulan negara-negara dengan perekonomian besar yang menyumbang sekitar dua pertiga populasi dunia dan 80 persen perdagangan global.
Dibentuk pada 1999 untuk mengatasi krisis keuangan dan gangguan ekonomi, dengan menyatukan ekonomi terbesar dunia, kelompok ini memperoleh perhatian lebih saat terjadinya krisis keuangan global pada 2008, di mana mereka mulai mengadakan pertemuan tahunan.
Sejak saat itu, forum ini berkembang menjadi semacam "PBB mini” yang menangani isu-isu seperti perubahan iklim dan ketegangan geopolitik, meski negara-negara anggotanya tidak selalu sepakat mengenai agenda apa yang harus dibahas.
Brasil mengambil alih presidensi G20 dari India pada Desember lalu, dan sepanjang tahun ini, telah menyelenggarakan dan memimpin beberapa pertemuan G20 tingkat menteri.
Sebagai pemegang presidensi G20, pemerintahan Luiz Inácio Lula da Silva fokus terhadap isu-isu yang menjadi perhatian negara berkembang, termasuk pengurangan ketidaksetaraan, reformasi lembaga-lembaga tata kelola global seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), serta kebutuhan untuk mengatasi perubahan iklim dan mendorong pembangunan ekonomi yang lebih ramah lingkungan.
M. Habib Abiyan Dzakwan, seorang peneliti yang berfokus pada kebijakan ekonomi internasional di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia, sebuah lembaga think tank yang berbasis di Jakarta, mengatakan bahwa Brasil harus memperkuat pendekatan negara-negara G20 terhadap isu-isu krusial seperti perubahan iklim dan tantangan kesehatan global.
"Konsolidasi antara negara-negara berkembang sangatlah penting karena mereka tidak dapat berharap terlalu banyak dari AS, terutama di bawah pemerintahan berikutnya [Donald Trump],” katanya kepada DW. "Hal yang sama juga berlaku untuk Eropa; kita juga tidak bisa terlalu bergantung pada mereka.”
Namun, masih belum pasti apa yang akan dicapai Brasil secara konkret.
KTT ini juga kemungkinan akan menawarkan kesempatan bagi para pemimpin untuk membahas isu-isu yang memecah belah dunia, seperti perang Rusia di Ukraina dan konflik di Timur Tengah.
Melihat KTT G20 dalam dua tahun terakhir, yang diselenggarakan oleh India tahun lalu dan Indonesia pada 2022, Brasil tampaknya akan menghadapi tantangan besar dalam mencapai konsensus pada deklarasi bersama para pemimpin negara.
India berhasil meraih kemenangan diplomatik dengan menegosiasikan konsensus tahun lalu, sebuah deklarasi bersama yang menyinggung persoalan perang Ukraina, meski tidak secara khusus mengecam Rusia.
Deklarasi itu mengkategorikan "penderitaan manusia dan dampak tambahan negatif” dari perang tersebut dalam konteks ekonomi, "sehubungan dengan ketahanan pangan dan energi global, rantai pasokan, stabilitas keuangan makro, inflasi dan pertumbuhan.”
Mantan Diplomat India Ajay Bisaria mengatakan, KTT tersebut menunjukkan "kemampuan India untuk menyeimbangkan kemitraannya yang stabil dengan Rusia seraya memelihara hubungannya dengan negara-negara Barat.”
"Lebih dari sekadar menyeimbangkan hubungan-hubungan utamanya, apa yang India coba lakukan dalam geopolitiknya adalah menjembatani perbedaan. Ini berlaku, baik untuk perpecahan Timur-Barat maupun Utara-Selatan,” tambahnya.
Pada pertemuan tahun lalu, Uni Afrika juga menjadi anggota tetap G20, yang dipandang sebagai cara untuk menyoroti pentingnya memasukkan "Global South” ke dalam forum-forum multilateral.
Para pengamat di India mengatakan bahwa KTT G20 di New Delhi berhasil memperkuat citra negara mereka sebagai kekuatan diplomatik dan ekonomi yang berkembang di panggung global, terutama pada saat dunia sedang menghadapi berbagai krisis geopolitik dan ekonomi.
Selama masa presidensi G20 Indonesia setahun sebelum India, para pemimpin G20 berkumpul di pulau Bali yang indah.
KTT berlangsung di tengah munculnya keraguan terkait efektivitas dan kegunaan kelompok ini, menyusul invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022, yang berhasil menyebabkan perpecahan di tubuh G20.
Ini adalah salah satu periode presidensi G20 yang penuh ketegangan sepanjang sejarah kelompok ini.
Namun, Presiden Indonesia saat itu, Joko Widodo, bertekad menjadikan kepemimpinan G20 itu sebagai puncak pencapaian dalam masa kepresidenannya. Dan pada akhirnya, hasil dari KTT tahun itu sungguh melebihi ekspektasi, dan menandai sebuah keberhasilan diplomatik bagi Jakarta.
Para peserta berhasil mencapai kesepakatan pada sebuah deklarasi final yang disusun dengan hati-hati, yang menyatakan bahwa "sebagian besar anggota dengan tegas mengecam perang di Ukraina dan menekankan bahwa perang tersebut menyebabkan penderitaan manusia yang luar biasa dan memperparah kerentanan yang sudah ada dalam ekonomi global.”
Peneliti CSIS, Dzakwan, mengatakan bahwa setiap presidensi G20 menghadapi tantangan-tantangan yang unik dan semakin kompleks.
Ia mencatat bahwa presidensi Indonesia pada 2022 sangat terbebani oleh perang Rusia-Ukraina, sementara India tahun lalu harus menghadapi ekskalasi ketegangan di Timur Tengah selain konflik di Ukraina.
Dzakwan berpendapat bahwa tantangan-tantangan seperti itu akan terus meningkat, terutama dengan kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih, setelah berhasil meraih kemenangan besar dalam pemilihan presiden (Pilpres) AS 2024.
"Ini tidak akan pernah mudah, terutama sejak kepresidenan pertama Donald Trump. Hal ini menunjukkan bahwa multilateralisme tidak terlalu efektif, melainkan lebih bersifat transaksional,” katanya kepada DW.