GridHEALTH.id – Fenomena childfree, atau keputusan untuk tidak memiliki anak, menjadi topik hangat di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
Ya, tak sedikit pasangan yang memilih tidak memiliki anak secara biologis maupun melalui adopsi.
Berdasarkan Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2022 yang dikutip dari Kompas.com, menunjukkan bahwa persentase perempuanchildfreedi Indonesia terus meningkat dalam empat tahun terakhir.
Disebutkan pula bahwa prevalensinya sempat sedikit tertekan di awal pandemi COVID-19, tapi kemudian kembali menanjak.
Senada dengan itu, menurut kajian Direktorat Analisis dan Pengembangan Statistik Badan Pusat Statistik (BPS) dalam artikel DATAin Edisi 2023 berjudul"Menelusuri Jejak Childfree di Indonesia", sekitar 71.000 perempuan berusia 15-49 tahun yang pernah menikah namun belum memiliki anak, dan tidak menggunakan alat kontrasepsi, memilih untuk hidup tanpa anak.
"Menurut hasil Susenas 2022, persentase perempuanchildfreedi Indonesia saat ini sekitar 8 persen, hampir setara dengan 71.000 orang," demikian bunyi kajian DATAin BPS.
Terkait fenomena tersebut, Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga atauBKKBNakhirnya buka suara.
Mengutip dari Tribunnews, Direktur Bina Keluarga Balita dan Anak Kemendukbangga/BKKBN, dr. Irma Ardiana, MAPS menyayangkan fenomena tersebut.
Pasalnya, kini kondisi angka kelahiran di kota besar juga makin menurun.
Seperti di Yogyakarta, pasangan menikah rata-rata memiliki anak 1-2 orang, begitu juga yang terjadi di Jakarta.
"Kondisi ini jadi alert. Mengapa? Karena keluarga bakal tidak ada yang meneruskan. Kami tetap ingin pembangunan berkelanjutan. Kami tidak mau childfree yang makin masif membuat depopulasi," ujar dr. Irma saat ditemui di Kantor BKKBN Pusat, Jakarta, Rabu (13/11/2024).
Menilik dari negara yang memiliki angka kelahiran dibawah 2,1, dr. Irma menyebut perlu usaha yang luar biasa untuk meningkatkan angka kelahiran.
Jika tidak, maka dikhawatirkan keberlangsungan suatu negara bisa terancam.
Pihaknya menilai, ada paham individualistik yang melatarbelakangi fenomena ini seperti keinginan perempuan memiliki pendidikan tinggi maupun karier yang gemilang.
"Sekarang kita harus berikan pemahaman atau edukasi juga apakah ini adalah pilihan yang responsibel. Pilihan yang pro terhadap pembangunan keberlanjutan, pilihan yang sebenarnya kita memikirkan juga tanggung jawab sosial. Bahwa inichildfreeada kompensasinya, kita punya tanggung jawab sosial dalam bernegara," jelasnya.
dr. Irma menegaskan, ada 8 fungsi keluarga, diantaranya keluarga adalah fungsi reproduksi yang berarti berkelanjutan.
"Kami kampanyekan mereka itu untuk penyiapan kehidupan berkeluarga. Jadi, sudah ada semacam cita-cita pada tahapantertentu mereka di usia tertentu bahwa harus menyiapkan kehidupan berkeluarga karena disitu betul-betul bisa menanamkan berbagai karakter sosial," jelas dr. Irma.
Sebelumnya, BPS merilis laporan terkait fenomenachildfree. BPS melakukan kajian kepada kelompok perempuan usia 15 – 49 tahun. Hasilnya 71 ribu perempuan dalam rentang usia tersebut memilih untuk tidak memiliki anak.
"Perempuan yang menjalani hidup secarachildfreeterindikasi memiliki pendidikan tinggi atau mengalami kesulitan ekonomi. Akan tetapi, gaya hidup homoseksual kemungkinan juga menjadi alasan tersembunyi," demikian laporan BPS.