---
Intisari-online.com - Di ufuk timur Nusantara, di mana mentari pertama kali menyapa bumi pertiwi, terbentanglah tanah Papua yang elok.
Hutan zamrud membentang luas, dipagari barisan pegunungan yang menjulang tinggi, serta lautan biru yang menyimpan sejuta pesona.
Di sanalah, di tepi Teluk Humboldt yang kini dikenal sebagai Teluk Yos Sudarso, sejarah mencatat lahirnya sebuah kota yang pernah menyandang nama Hollandia.
Kehidupan mereka berputar pada tradisi leluhur, berburu, bercocok tanam, dan mengarungi lautan dengan perahu-perahu tradisional.
Namun, kedatangan bangsa Eropa di abad ke-19 mengubah jalannya sejarah tanah Papua.
Pada tahun 1910, pemerintah kolonial Belanda menancapkan kukunya di tanah Papua, mendirikan sebuah pos pemerintahan yang kemudian berkembang menjadi kota.
Nama Hollandia dipilih, sebuah nama yang diambil dari negeri kincir angin nun jauh di seberang lautan.
Nama ini seakan menjadi simbol kekuasaan Belanda, menandai dimulainya era baru di tanah Papua.
Hollandia, Kota Kolonial di Tanah Papua
Hollandia tumbuh sebagai pusat administrasi dan perdagangan di bawah pemerintahan Belanda.
Bangunan-bangunan bergaya Eropa mulai bermunculan, jalan-jalan dibangun, dan pelabuhan pun didirikan.
Kapal-kapal dagang berlabuh, membawa berbagai komoditas dari tanah Papua, seperti rempah-rempah, kayu, dan hasil bumi lainnya.
Kehadiran Belanda membawa perubahan signifikan bagi kehidupan masyarakat Papua.
Sistem pemerintahan modern diperkenalkan, pendidikan formal mulai dirintis, dan agama Kristen pun disebarkan.
Di sisi lain, eksploitasi sumber daya alam dan penindasan terhadap penduduk asli juga menjadi bagian kelam dari sejarah kolonialisme di tanah Papua.
Perang Dunia II dan Jejaknya di Hollandia
Pada tahun 1942, Perang Dunia II menghantam Hollandia.
Tentara Jepang menduduki kota ini, mengusir Belanda dan menjadikan Hollandia sebagai pangkalan militer mereka.
Pertempuran sengit antara Jepang dan Sekutu pun tak terelakkan, meninggalkan luka dan duka di tanah Papua.
Hollandia menjadi saksi bisu dari kekejaman perang.
Bom-bom berjatuhan, menghancurkan bangunan dan merenggut nyawa.
Penduduk pribumi terjebak di tengah konflik, dipaksa untuk memilih pihak atau mengungsi ke hutan belantara.
Namun, di tengah kegelapan perang, semangat perlawanan tetap berkobar. Rakyat Papua bahu-membahu dengan pasukan Sekutu untuk mengusir penjajah.
Perjuangan mereka akhirnya membuahkan hasil. Pada tahun 1944, Sekutu berhasil merebut kembali Hollandia dari tangan Jepang.
Dari Hollandia ke Jayapura, Tonggak Sejarah Baru
Setelah Perang Dunia II berakhir, Belanda berusaha untuk kembali menguasai tanah Papua.
Namun, semangat kemerdekaan yang berkobar di Indonesia turut membakar semangat rakyat Papua untuk menentukan nasibnya sendiri.
Pada tahun 1962, melalui Perjanjian New York, Belanda akhirnya menyerahkan Irian Barat (Papua) kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Setahun kemudian, melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), rakyat Papua memilih untuk bergabung dengan Indonesia.
Seiring dengan integrasi Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, nama Hollandia pun diubah menjadi Kota Baru.
Kemudian, pada tahun 1963, Presiden Soekarno mengganti nama Kota Baru menjadi Soekarnopura.
Namun, perubahan nama ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1968, nama kota ini kembali diubah menjadi Jayapura, yang berarti "kota kemenangan".
Nama ini menjadi simbol kemenangan rakyat Papua dalam perjuangan merebut kemerdekaan dan menentukan nasibnya sendiri.
Jayapura, Kota Modern yang Berakar pada Sejarah
Kini, Jayapura telah menjelma menjadi kota modern yang dinamis.
Gedung-gedung pencakar langit menjulang tinggi, jalan-jalan beraspal mulus, dan fasilitas modern pun tersedia.
Jayapura menjadi pusat pemerintahan, pendidikan, dan perdagangan di Provinsi Papua.
Di balik gemerlap modernitasnya, Jayapura tetap menyimpan jejak-jejak sejarah masa lalu.
Benteng-benteng peninggalan Belanda, bangunan-bangunan tua bergaya Eropa, dan museum-museum sejarah menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang kota ini.
Jayapura adalah kota yang kaya akan budaya. Berbagai suku asli Papua hidup berdampingan, melestarikan tradisi dan adat istiadat mereka.
Musik, tarian, dan seni ukir khas Papua menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang berkunjung ke kota ini.
Sejarah panjang Jayapura, dari Hollandia hingga menjadi kota modern seperti sekarang, memberikan banyak pelajaran berharga.
Perjuangan melawan kolonialisme, semangat kemerdekaan, dan keberagaman budaya menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas kota ini.
Kini, Jayapura menatap masa depan dengan optimisme. Pembangunan terus digalakkan, pendidikan ditingkatkan, dan potensi ekonomi pun dikembangkan.
Jayapura bertekad untuk menjadi kota yang maju, mandiri, dan sejahtera, tanpa melupakan akar sejarah dan budayanya.
*
---