TIMESINDONESIA, KALIMANTAN TIMUR – Sepuluh hari menjelang Pilkada serentak 2024, Indonesia berada di ambang momen bersejarah dalam perjalanan demokrasinya. Namun, di tengah euforia politik ini, muncul tantangan baru yang perlu diwaspadai, merebaknya black campaign digital.
Era digital telah mengubah komunikasi politik secara signifikan, membuka peluang bagi penyebaran informasi yang lebih cepat dan luas, namun juga membawa risiko manipulasi dan penyalahgunaan informasi.
Black campaign digital, atau kampanye hitam melalui platform digital, telah menjadi fenomena yang semakin mengkhawatirkan. Berbeda dengan kampanye negatif yang masih dalam batas etis dan legal, black campaign melibatkan penyebaran informasi palsu, fitnah, dan tuduhan tanpa bukti yang bertujuan untuk menjatuhkan lawan politik. Di era digital, praktik ini menjadi lebih mudah dilakukan dan lebih sulit dikendalikan, berpotensi merusak integritas proses demokrasi.
Penggunaan media sosial sebagai sarana utama penyebaran black campaign menambah kompleksitas permasalahan ini. Platform seperti Instagram, Facebook, TikTok, Youtube dan Twitter menjadi medan pertempuran baru dalam politik, di mana informasi dapat menyebar dengan cepat tanpa verifikasi yang memadai. Hal ini menciptakan tantangan besar bagi pemilih dalam membedakan antara informasi yang benar dan yang manipulatif.
Dalam menghadapi ancaman ini, literasi digital menjadi kunci utama. Masyarakat perlu dibekali dengan kemampuan untuk menganalisis, mengevaluasi, dan memverifikasi informasi yang mereka terima di dunia digital. Ini bukan hanya tentang kemampuan menggunakan teknologi, tetapi juga tentang pemahaman kritis terhadap konten yang dikonsumsi.
Pemerintah, lembaga pendidikan, dan organisasi masyarakat sipil memiliki peran penting dalam meningkatkan literasi digital masyarakat. Program-program edukasi yang berfokus pada pemahaman tentang black campaign, cara mengidentifikasi berita palsu, dan pentingnya verifikasi informasi perlu digalakkan secara masif. Selain itu, regulasi yang lebih ketat terhadap penyebaran informasi palsu di media sosial juga diperlukan, tanpa mengorbankan kebebasan berekspresi.
Bagi para calon pemimpin dan tim kampanye, penting untuk menjunjung tinggi etika dalam berkampanye digital. Fokus pada program dan visi misi, bukan pada serangan personal atau penyebaran informasi yang tidak terverifikasi, akan membantu menciptakan iklim politik yang lebih sehat.
Media massa juga memiliki tanggung jawab besar dalam memerangi black campaign digital. Pemberitaan yang berimbang, faktual, dan edukatif dapat membantu masyarakat dalam membuat keputusan yang tepat saat memilih pemimpin.
Menjelang Pilkada 2024, kita semua memiliki peran dalam menjaga integritas proses demokrasi. Dengan meningkatkan literasi digital dan kesadaran akan bahaya black campaign, kita dapat menciptakan lingkungan politik yang lebih sehat dan konstruktif. Pilkada bukan hanya tentang memilih pemimpin, tetapi juga tentang menjaga kualitas demokrasi kita.
Sepuluh hari ke depan adalah waktu yang krusial untuk merefleksikan pentingnya peran kita sebagai warga negara yang kritis dan bertanggung jawab. Dengan berbekal literasi digital yang kuat, kita dapat membantu mencegah dampak negatif dari black campaign dan memastikan bahwa pilihan kita didasarkan pada informasi yang akurat dan pertimbangan yang matang. Mari kita jadikan Pilkada 2024 sebagai momentum untuk membuktikan kedewasaan demokrasi Indonesia di era digital.
***
*) Oleh : Johantan Alfando Wikandana Sucipta, M.I.Kom, Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.