TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Madura, sebagai salah satu wilayah dengan tradisi yang kental, memiliki sejarah politik yang unik dan kompleks. Sejak masa kolonial hingga era reformasi, dinamika politik di Madura tidak pernah lepas dari pengaruh dua figur utama: Kiai dan Blater.
Kiai, yang dikenal sebagai tokoh agama dan penjaga moralitas masyarakat, telah lama menjadi pengarah politik utama bagi umatnya. Sementara itu, blater, yang identik dengan kekuatan dan keberanian, memainkan peran sebagai pelindung komunitas sekaligus pemegang kekuasaan informal.
Selama bertahun-tahun, kedua figur ini menjadi penggerak utama politik lokal, menciptakan pola yang terus berulang di mana loyalitas masyarakat lebih sering diarahkan kepada figur daripada kepada program atau kebijakan. Pola ini semakin kompleks ketika praktik politik uang (money politic) masuk ke dalam ranah politik lokal, memperkuat pola patronase yang telah lama ada.
Kombinasi antara politik identitas, hegemoni tokoh, dan politik uang ini menciptakan situasi yang pelik. Di satu sisi, menjaga stabilitas tradisional, tetapi di sisi lain, menghambat perkembangan politik yang lebih rasional dan progresif.
Penelitian Siddiq (2018) menekankan bahwa hubungan antara agama, tradisi, dan identitas sosial di Madura sangat penting untuk memahami perilaku politik lokal (Suhariyanto, 2024). Konstruksi identitas ini dipengaruhi oleh narasi politik yang lebih luas, di mana identitas sering kali dieksploitasi untuk konsolidasi kekuasaan.
Namun, dengan perubahan zaman dan munculnya generasi muda yang lebih kritis, pertanyaan besar mulai muncul: apakah Madura harus terus terjebak dalam pola politik tradisional ini, atau saatnya beranjak menuju politik yang lebih modern, inklusif, dan berbasis isu?
Di sinilah pentingnya memahami teori-teori dalam komunikasi politik untuk menjawab persoalan tersebut. Pendekatan akademik memberikan kita dasar untuk memahami bagaimana dinamika politik seharusnya berkembang di masyarakat modern, termasuk di Madura.
Beberapa teori utama, seperti Communication Accommodation, Public Sphere, Rational Space, dan Hegemoni dari Jurgen Habermas dan Antonio Gramsci, dapat membantu kita melihat bagaimana pola pengaruh ini membentuk kesadaran politik masyarakat.
Melalui perspektif ini, kita bisa memahami bahwa pengaruh Kiai dan Blater di Madura tak sekadar politik identitas; melainkan merupakan sebuah hegemoni yang membatasi ruang bagi perubahan dan kemajuan politik.
Antara Identitas dan Hegemoni Kiai dan Blater
Menurut teori hegemoni Gramsci, hegemoni terjadi ketika kelompok dominan membentuk nilai-nilai, kepercayaan, atau pandangan dunia yang diterima secara alami oleh masyarakat sebagai sesuatu yang "benar." Di Madura, Kiai dan Blater bukan sekadar tokoh berpengaruh, tetapi juga aktor hegemoni yang membentuk persepsi masyarakat mengenai siapa yang layak dipilih.
Dengan dominasi ini, para kandidat sering kali lebih fokus membangun hubungan baik dengan tokoh-tokoh ini ketimbang menawarkan program konkret untuk kepentingan masyarakat.
Politik identitas di Madura tidak dapat dipisahkan dari konstruksi sosial dan budaya masyarakatnya. Dalam penelitian Hidayaturrahman (2024) bahwa meskipun Presiden Jokowi pada pemilu 2019 meraih kemenangan secara nasional, ia mengalami kekalahan di Madura, yang menunjukkan dinamika politik lokal yang unik di mana identitas lokal memengaruhi pilihan pemilih.
Di Madura, politik identitas menjadi fenomena yang melekat pada kultur masyarakat. Kiai dianggap sebagai figur otoritatif, yang nasihatnya tak hanya berlaku dalam urusan agama, tetapi juga politik. Begitu pula dengan Blater, yang sering kali menjadi simbol kekuatan dan pengaruh lokal.
Figur-figur ini memainkan peran penting dalam menentukan arah suara masyarakat, menjadikan identitas kultural dan religius sebagai fondasi utama keputusan politik.
Dinamika Hubungan Kiai dan Blater
Hubungan antara Kiai dan Blater di Madura dapat digambarkan sebagai hubungan yang saling menguntungkan. Kiai mendapatkan dukungan dari Blater dalam hal mobilisasi suara. Sementara Blater mendapatkan legitimasi dari Kiai untuk memperkuat posisi mereka dalam politik.
Menurut Lubis dan Rohmatillah (2019) komodifikasi otoritas Kiai dalam kontestasi politik menunjukkan bahwa kekuasaan mereka sering kali dimanfaatkan dalam proses politik (Danugroho, 2024). Hal ini menciptakan dinamika di mana Kiai dan Blater berkolaborasi untuk mencapai tujuan politik tertentu.
Alih-alih fokus pada masalah nyata seperti ekonomi, pendidikan, dan kesehatan, banyak masyarakat lebih dipengaruhi oleh siapa yang didukung oleh tokoh-tokoh ini. Akibatnya, politik identitas menjadi bagian dari hegemoni yang membuat masyarakat cenderung memilih berdasarkan kedekatan emosional atau tradisi, bukan kebijakan atau visi konkret.
Namun, efek dari politik identitas ini adalah terbentuknya ikatan emosional yang justru sering mengaburkan kualitas pemimpin yang sebenarnya. Pemilih tidak lagi kritis dalam melihat program kerja dan rekam jejak calon pemimpin. Mereka cenderung memilih berdasarkan ikatan identitas dan kedekatan sosial. Ini berisiko membuat politik menjadi alat transaksi dan menghambat kemajuan masyarakat
Menurut Habermas dalam konsep public sphere, masyarakat modern seharusnya mampu membangun ruang diskusi yang bebas dari pengaruh kekuasaan atau identitas. Dalam konteks Madura, politik identitas yang terlalu kuat justru membatasi ruang publik ini. Karena ikatan dengan figur Kiai atau Blater, warga menjadi kurang bebas dan kritis dalam menilai calon pemimpin berdasarkan kualitas dan kapabilitas.
Praktik Money Politic adalah Perusak Demokrasi
Politik uang di Madura sering kali dianggap sebagai bagian dari budaya sosial yang telah mengakar. Irawan (2024) menjelaskan bahwa praktik ini melibatkan berbagai pihak, termasuk pemilik modal besar dan elit politik, yang berupaya memengaruhi hasil pemilu.
Hal ini diperkuat oleh penelitian Muttakin (2023) yang menunjukkan bahwa politik uang sering kali dianggap sebagai syarat untuk memenangkan pemilihan, baik di tingkat desa maupun daerah. Dalam konteks pemilihan kepala desa, Rozy (2020) mencatat bahwa praktik politik uang sering kali terjadi dan menjadi salah satu bentuk kecurangan yang umum.
Fenomena politik uang semakin memperkuat hegemoni politik identitas. Amplop atau bantuan materi sering kali menjadi alat bagi kandidat untuk mengamankan dukungan Kiai atau Blater, yang kemudian meneruskan pengaruhnya kepada masyarakat. Di sisi lain, masyarakat yang terhimpit kebutuhan ekonomi sering kali menerima politik uang sebagai sesuatu yang wajar.
Namun, politik uang memiliki dampak buruk jangka panjang. Ketika suara dijual, masyarakat secara tidak langsung menggadaikan masa depan mereka kepada kandidat yang mungkin tidak memiliki integritas atau kompetensi. Menurut teori rational choice, keputusan memilih seharusnya didasarkan pada evaluasi rasional terhadap kebijakan dan visi kandidat. Tetapi dalam sistem yang dikuasai oleh politik uang, pilihan rasional ini menjadi sulit dilakukan.
Dampak dari politik uang sangat luas dan merugikan. Munir (2022) menyatakan bahwa praktik ini tidak hanya menciptakan ketidakadilan dalam pemilihan, tetapi juga berpotensi melahirkan kejahatan korupsi di tingkat elit kekuasaan. Hal ini terjadi karena politik uang sering kali diikuti oleh kewajiban bagi kepala daerah yang terpilih untuk mengembalikan "investasi" yang telah dikeluarkan oleh para pemodal. Selain itu, Nail (2019) menekankan bahwa politik uang dapat mengubah cara pandang pemilih, yang lebih mempertimbangkan imbalan finansial daripada kompetensi calon.
Mengapa Madura Harus Lepas dari Bayang-Bayang Ini?
Menurut konsep public sphere dari Jürgen Habermas, masyarakat seharusnya memiliki ruang publik yang bebas dari pengaruh kekuasaan atau identitas, sehingga warga bisa membahas isu secara rasional dan objektif. Namun, di Madura, pengaruh Kiai dan Blater sebagai pengendali opini publik membuat ruang publik menjadi terbatas. Ketika hegemoni politik ini dibiarkan, masyarakat cenderung terjebak dalam pandangan yang homogen dan sulit menerima ide-ide baru yang bisa memajukan daerah.
Kombinasi politik identitas, hegemoni, dan politik uang telah membentuk lingkaran setan yang sulit diputus di Madura. Akibatnya, politik menjadi ajang untuk mempertahankan status quo daripada mendorong perubahan. Menurut konsep public sphere dari Jurgen Habermas, demokrasi yang sehat membutuhkan ruang publik di mana warga bisa berdiskusi secara bebas dan rasional. Namun, ruang publik ini sering kali dikuasai oleh figur-figur dominan, sehingga diskursus rasional tergantikan oleh pengaruh sosial dan transaksi material
Sebagai generasi muda, kita perlu mempertanyakan, apakah kita ingin terus berada di bawah bayang-bayang politik identitas dan hegemoni ini? Kita punya tanggung jawab untuk mulai mendorong politik yang berfokus pada program dan kebijakan yang menjawab kebutuhan nyata masyarakat Madura.
Dengan akses yang luas ke informasi, mereka memiliki peluang untuk menciptakan ruang publik digital yang bebas dari dominasi hegemoni politik identitas dan politik uang. Media sosial dapat menjadi alat yang efektif untuk mendidik masyarakat tentang pentingnya memilih berdasarkan program kerja dan visi, bukan hanya atas dasar loyalitas tradisional atau iming-iming materi.
Sudah Saatnya Madura lepas dari bayang-bayang politik identitas yang terus mengandalkan figur Kiai atau Blater sebagai kunci utama perolehan suara. Tentu kita menghargai peran dan pengaruh tokoh-tokoh ini dalam menjaga stabilitas sosial, tetapi untuk mencapai perubahan yang lebih besar, generasi muda harus berani menuntut lebih. Kita perlu menggerakkan politik Madura ke arah yang lebih substantif dan rasional, di mana isu-isu yang benar-benar menyentuh kebutuhan masyarakat menjadi fokus utama.
Arah Baru dan Peran Generasi Muda dalam Politik Madura
Generasi muda Madura punya kesempatan besar untuk mendobrak pola lama ini. Dengan akses yang luas ke informasi, mereka memiliki peluang untuk menciptakan ruang publik digital yang bebas dari dominasi hegemoni politik identitas dan politik uang. Media sosial dapat menjadi alat yang efektif untuk mendidik masyarakat tentang pentingnya memilih berdasarkan program kerja dan visi, bukan hanya atas dasar loyalitas tradisional atau iming-iming materi.
Menurut teori Communication Accommodation, komunikasi politik harus diadaptasi agar sesuai dengan audiensnya. Untuk mengajak anak muda Madura berpikir kritis, kita bisa mengemas pendidikan politik dengan cara yang relevan dan menarik. Kampanye politik yang transparan dan berbasis data dapat membantu membentuk opini yang lebih objektif dan rasional di kalangan pemilih muda.
Generasi muda perlu menjadi penggerak edukasi politik yang mengedepankan rasionalitas. Kampanye kreatif, seperti melalui media sosial atau diskusi publik, dapat membantu masyarakat memahami pentingnya memilih berdasarkan program kerja. Kandidat politik perlu didorong untuk lebih terbuka tentang visi, misi, dan program kerja mereka. Transparansi ini akan memudahkan masyarakat menilai kualitas calon pemimpin.
Suara masyarakat adalah hak yang tidak boleh diperjualbelikan. Generasi muda dapat memimpin gerakan anti-politik uang dengan mengedukasi masyarakat bahwa uang yang diterima hari ini tidak akan sebanding dengan kerugian yang akan dirasakan di masa depan. Platform digital harus dimanfaatkan untuk mendorong diskusi yang sehat dan berbasis isu, sehingga masyarakat bisa melihat kandidat dari sisi programatik, bukan sekadar siapa yang mereka wakili.
Menuju Politik Madura yang Progresif dan Berbasis Isu
Sudah saatnya Madura bergerak maju, sudah saatnya Madura lepas dari hegemoni politik yang mengandalkan identitas sebagai dasar dukungan. Tentu kita harus tetap menghargai dan menghormati peran Kiai dan Blater dalam menjaga stabilitas, tetapi peran mereka tidak boleh membatasi kebebasan masyarakat untuk berpikir dan memilih secara mandiri. Generasi muda memiliki tanggung jawab untuk menciptakan perubahan, mendobrak hegemoni, dan membangun politik yang lebih progresif.
Mari kita tinggalkan politik identitas yang hanya mengandalkan loyalitas emosional. Mari kita lawan politik uang yang merusak nilai demokrasi. Mari kita dorong Madura untuk melangkah menuju politik yang rasional, berbasis isu, dan benar-benar berorientasi pada kepentingan masyarakat. Dengan begitu, Madura dapat menjadi contoh bagi daerah lain tentang bagaimana tradisi dan modernitas dapat berjalan beriringan menuju kemajuan.
Mari mulai bicara tentang solusi nyata untuk pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan lingkungan. Mari fokus pada program kerja dan kebijakan, bukan sekadar ikatan emosional atau tradisi. Dengan begitu, politik Madura bisa menjadi jembatan menuju masa depan yang lebih progresif dan berintegritas.
Jadi, generasi muda Madura, inilah saatnya! Jangan hanya jadi penonton dalam proses politik, tapi jadilah bagian dari perubahan. Jangan lagi hanya melihat siapa yang didukung Kiai atau Blater, tapi lihatlah siapa yang membawa visi dan solusi untuk kemajuan Madura. Dengan begitu, kita bisa membentuk politik Madura yang lebih progresif dan sesuai dengan tuntutan zaman.
***
*) Oleh : Fatlurrahman, Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Founder Madura Bestari Peneliti Academic & Social Studies (ACCESS).
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.